SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Ingatan atas tokoh mengundang serpihan-serpihan sejarah. Sultan Hamengku Buwono IX (12 April 1912-12 April 2012) jadi pusat ingatan atas narasi kekuasaan Jawa, semaian demokrasi, politik Indonesia, sintesis Timur-Barat. Konon, kelahiran tokoh moncer ini mengandung pesan-pesan besar.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Ia memiliki nama saat masih kecil: Dorodjatun. Nalar dan imajinasi Jawa mengartikan Dorodjatun adalah harapan agar si bocah kelak sanggup memiliki derajat tinggi, cakap mengemban pangkat, berbudi luhur (Kustiniyati Mochtar, 1982). Nama ini mengarah ke ramalan kekuasaan dan makna ketokohan.

Tokoh itu pun menapaki jalan kekuasaan. Penobatan sebagai raja membuktikan ada titah atas nama rakyat. Kita bisa mengutip sepenggal pidato Sultan Hamengku Buwono IX kala 18 Maret 1940: ”Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut soal mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya.”

Pidato itu menjelaskan biografi diri, makna keraton-keraton di Jawa dan realitas kolonialisme.  Penjelasan pelik itu memiliki alur panjang dalam narasi kekuasaan Jawa. Kita bisa membuka kembali halaman-halaman tentang sengketa gagasan antara  Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soetatmo Soerjokoesoemo (1918).

Tjipto lantang memberi seruan nasionalisme Hindia. Gagasan ini mengacu nasib negeri terjajah. Reaksi perlawanan mesti digerakkan dengan cakupan geopolitik dan nalar kultural modern di Hindia Belanda. Tjipto memang sadar atas kejawaan tapi menghendaki resistensi politik di rel nasionalisme ala Indische Partij atau Sarekat Islam. Soetatmo justru memilih nasionalisme Jawa dengan argumentasi bahwa basis kultural Jawa mendefinisikan identitas dan kosmologi politik modern.

Takashi Shiraishi (1986) mengibaratkan sengketa gagasan itu merujuk ke tamsil politik: ”satria” dan “pandita”. Politik ala ”satria” identik keberanian, siasat, kelincahan. Pertaruhan satria adalah harga diri atau martabat. Tjipto memberi aksentuasi bahwa progresivitas bergantung keberanian orang Jawa untuk menjelma sebagai manusia Hindia. Modal transformasi diri adalah intelektualitas, bahasa, moral (modern). Seruan Tjipto diembuskan dengan sentuhan-sentuhan pembaratan.

Soetatmo menganjurkan perubahan nasib ditentukan oleh anutan atas tipikal pandita. Pendidikan budi pekerti dan praksis etis menjadi sumber amalan politik. Model ini mengesankan keluruhan ke jagat Jawa tanpa sangsi. Pijakan kejawaan menentukan politik berjalan dalam kebijaksanaan, keluhuran, kepatutan, kesakralan.

Soetatmo memang tampak mengusung gagasan tradisionalis di saat pergerakan kebangsaan mulai memendarkan gagasan-gagasan modern. Pendaran ditentukan oleh kemunculan elite modern dengan bingkai pendidikan Barat. Soetatmo mirip catatan pinggir di arus modernisasi dan semaian nasionalisme di Jawa.

 

Adaptif

Perdebatan sengit itu berlangsung saat Dorodjatun menjalani masa pendidikan modern dan hidup di keluarga-keluarga Eropa. Sultan Hamengku Buwono XVIII sengaja mengajarkan kemodernan bagi para penerus agar mengerti zaman baru alias zaman ”kemadjoean”. Titah itu tak berarti mereka menanggalkan identitas Jawa.

Sekolah modern dan pengasuhan di keluarga Eropa adalah siasat mempertemukan ruh Barat dan Timur demi menghasilkan osmose kultural-intelektual-spiritual. Dorodjatun pun menjalani hidup dalam naungan Timur-Barat tanpa sesalan. Model itu justru merupakan jejak produktif saat mengemban kekuasaan sebagai raja.

Sultan Hamengku Buwono IX eksplisit menjelaskan bahwa selama sekolah di Jawa dan Belanda tak bisa mengikis kejawaan. Sistem pendidikan modern memberi suluh mengartikan arus perubahan tanpa alpa kejawaan. Sultan Hamengku Buwono IX seolah memberi pesan: Jawa tak menampik modernisasi. Jawa memang lentur dan terus bergerak adaptif. Nalar dikotomik tak menjebak Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat mengemban titah kekuasaan.

Sultan Hamengku Buwono IX adalah sang demokrat. Semaian ide-ide demokrasi ada di keraton. Pilihan bergabung dengan Republik Indonesia menunjukkan ada kesadaran politik modern dan demokratis tanpa abai sejarah. Mekanisme politik ini menampilkan sosok  Sultan Hamengku Buwono IX sebagai penerjemah kekuasaan Jawa di zaman demokrasi. Kita bisa menemukan alur sejarah melalui gerakan restorasi Jawa di buku Sabdo Pandito Ratoe (1919) susunan Soetatmo Soerjokoesoemo.

Kunci demokrasi adalah wicaksana atau kebijaksanaan (Tsuchiya, Demokrasi dan Kepimpinan, 1992). Sultan Hamengku Buwono IX pun seolah menerjemahkan rumusan nasionalisme di kalangan penggerak Jawa awal abad XX bahwa ”keindahan mengendalikan kekuasaan; kekuasaan memiliki keindahan; kebijaksanaan membawa keadilan”.

Soemarsaid Moertono (1968) mengartikan wicaksana atau kawicaksanan adalah bukti idealitas raja. Kekuasaan tak bisa dijalankan sekadar dengan nalar duniawi. Raja memerlukan kekuatan adikodrati dan laku spiritual. Semua ini bakal mengonstruksi raja sanggup mengemban misi kekuasaan dalam semaian kawicaksanan.

Sultan Hamengku Buwono IX mafhum atas lakon kekuasaan Jawa itu tanpa meminggirkan konsep politik modern. Anutan atas wisik atau afirmasi atas kuasa adikodrati dijelmakan bersama dengan penetrasi nalar demokrasi. Sultan Hamengku Buwono IX mengolah itu dengan luwes dan konstruktif.

Kesanggupan membuat adonan Timur-Barat dalam politik telah membuat sosok Sultan Hamengku Buwono IX jadi ikon raja modern dan tercerahkan. Makna diri dipersembahkan untuk Kasultanan Ngayogyakarta dan Indonesia. Sangkaan dualisme lebur oleh watak demokrat dan kerakyatan. Sultan Hamengku Buwono IX menghadirkan diri dalam kawicaksanan.

Sosok ini membuktikan bahwa demokrasi bisa merembes ke nalar imajinasi politik Jawa secara harmonis di masa Orde Lama dan Orde Baru.      Makna  politik-kultural Sultan Hamengku Buwono IX tampak saat upacara pemakaman di Imogiri.

Buku Sri Sultan: Hari-hari  Hamengku Buwono IX (1988) susunan para wartawan Tempo memberi narasi impresif bahwa Sultan Hamengku Buwono IX adalah pepundhen, sesembahan, junjungan bagi rakyat. Kerumunan orang memberi penghormatan. Penduduk di sepanjang jalan ke Imogiri malah menyediakan kelapa muda, buah-buahan, teh, air putih. Semua gratis bagi para pelayat. Relitas ini menunjukkan selebrasi kerakyatan. Sultan Hamengku Buwono IX diakui sebagai ikon demokrasi-kerakyatan.

Kita mengenang 100 tahun Sultan Hamengku Buwono IX saat Indonesia sedang menanggung aib demokrasi. Kaum politisi alpa nalar-imajinasi tradisional. Partai politik rajin mendustai rakyat. Kekuasaan identik korupsi. Demokrasi mengalami inflasi ke arah luka dan lupa. Demokrasi menjadi binal tanpa rujukan kawicaksanan. Para penguasa terus menumpuk dosa dan kita pun merana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya