SOLOPOS.COM - Habib Iman Nurdin Sholeh. (Istimewa/dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Di tengah tensi politik yang memanas akhir-akhir ini, terdapat diskursus penting yang akan dikenang dalam sejarah demokrasi kita, yakni diskursus etika. Diskursus etika menyeruak menjadi perhatian dan sorotan publik di tengah konstelasi elektoral.

Pelanggaran etika dalam berbagai agenda politik membuka mata dan memantik nalar publik bahwa pada praktiknya agenda demokrasi prosedural itu masih dipandu budaya transaksional daripada nilai-nilai etika dan moral

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Diskursus etika dalam politik menjadi penting karena memberikan dasar moral. Artinya, menghilangkan etika dari kehidupan politik berimplikasi pada praktik politik Machiavellistis, yakni politik sebagai alat untuk menaklukkan segala sesuatu, baik atau buruk, benar atau salah, patut atau tidak tanpa mengindahkan kesusilaan, norma, dan bebas nilai.

Pada sisi yang lain diskursus etika menjadi keruh karena selalu diresonansikan pihak tertentu untuk mendapatkan kepentingan elektoral. Etika menjadi keperihatinan para pengabdi ilmu pengetahuan akhir-akhir ini ketika menjadi bahan olok-olok yang disandingkan dengan kata-kata umpatan.

Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjadi penguat bukti pelanggaran etik oleh Mahkamah Konstitusi dalam urusan pengubahan batas usia minimal calon presiden-calon wakil presiden.

Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan ketua Komisi Pemilihan Umum  (KPU) dan enam anggota KPU pusat melanggar kode etik penyelenggaraan pemilu.

Resonansi etika semakin bergelora setelah berkali-kali disinggung dalam debat calon presiden-calon wakil presiden dan setiap agenda politik seremonial.

Diskursus etika juga mengemuka dalamp embagian bantuan sosial yang diduga kuat melibatkan sumber daya negara untuk membantu elektabilitas kontestan pemilu tertentu.

Kepala negara menyampaikan pandangan bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye juga memancing perdebatan tentang etika.

Representasi civil society yang memiliki kewarasan nalar intelektual terpanggil untuk menyampaikan pandangan kebangsaan atas terjadinya erosi demokrasi yang disebabkan moralitas, etika, dan nilai-nilai luhur bangsa luruh dan memperingatkan untuk kembali pada rel konstitusi.

Franz Magnis Suseno (1988) berpandangan etika menjadi relevan dan akan senantiasa relevan untuk diperbincangkan karena kehidupan manusia terus-menerus ditandai peperangan antara kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil) yang tak pernah berhenti.

Etika mendasarkan diri pada rasio untuk menentukan kualitas moral kebajikan. Diskursus etika diangkat ke ruang publik agar pertentangan kepentingan-kepentingan tidak hanya mungkin untuk didamaikan, tetapi proses perdamaian itu mampu memenuhi cita rasa norma-norma keadilan dan kemanusiaan.

Diskursus etika pada level makro maupun mikro membimbing manusia bersama ilmu (science) dan estetika (seni) agar dapat mencapai tujuan bersama sebagaimana diungkapkan Aristoteles sebagai eudemoni (kebahagiaan).

Dalam konteks kepemimpinan negara, semua modus kekuasaan harus menghasilkan kebahagiaan (the pursuit of happiness). Ini senada dengan ungkapan Abu Nasr al-Farabi dalam Madinah al-Fadhilah, bahwa negara yang baik berbuah kebahagiaan.

Salah satu variabel penting parameter kualitas demokrasi adalah pemilu yang demokratis. Aspek penyenggaraan pemilu dalam konteks ini menjadi penting untuk dikawal dan ditelaah kritis karena bisa menutupi kemunduran demokrasi di Indonesia.

Pemilu yang demokratis bukan satu-satunya penentu indeks demokrasi. Tentu ada faktor-faktor lain seperti kebebasan bereskpresi, meningkatnya sensor pemerintah terhadap media, dan tindakan represif terhadap masyarakat sipil sebagaimana dilaporkan oleh Varietes of Democracy dalam Democracy Report 2023.

Etika penting mewarnai dan memandu pemilu. Problem etik dalam penyelenggaraan pemilu kali ini menjadi preseden buruk yang akan menjadi memori kolektif bangsa.

Krisis keteladanan pemimpin negara, kerapuhan pengawasan, integritas para wasit pemilu yang lemah, hingga politik transaksional adalah problem krusial demokrasi elektoral saat ini.

Keteladanan elite negara aspek penting dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Keteladanan pemimpin negara itu setidaknya bersikap netral terhadap semua proses penyelenggaraan pemilu.

Ekspektasi publik agar elite negara netral, tidak cawe-cawe, menjadi harapan semu saat konsistensi terhadap inkonsistensi setiap pernyataan elite negara dilafalkan dan kebijakan negara diluncurkan.

Indikasi kecurangan dan mobilisasi aparatur negara oleh para pemimpin semakin gencar dan vulgar. Dalam kondisi seperti ini, lahirlah public distrust terhadap elite pemimpin negara.

Publik hanya melihat politik akhir-akhir ini mengamalkan yang pernah dikemukakan Maxwell (1936), yakni who gets what, when, and how. Publik yang fakir kuasa hanya bisa menyimak percapakapan elite tentang drama orkestrasi elektoral sembari berimajinasi lahir para negarawan dari rahim politik.

Kerisauan saat ini barangkali relevan dengan yang pernah dikumandangkan Buya Ahmad Syafi’i Maarif, bahwa bangsa ini surplus politikus, tapi defisit negarawan.

James Freeman Clarke (1810-1888), seorang teolog Amerika Serikat, menyajikan perbedaan antara politisi dan negarawan.



The difference between a politician and a statesman is that a politician thinks about the next election while statesman thinks about the next generation.

Berbasis cerita pewayangan, kita berharap saat ini ada sosok elite negara seperti Abiyasa yang dikenal sebagai pemimpin yang rancakaprawa (bijaksana) dan sutiknaprawa (empati terhadap penderitaan rakyatnya), serta bergelar Dewayana (seperti dewa).

Seorang raja yang tidak terlena oleh kekuasaan. Ketika tugas selesai, jabatan diserahkan kepada Pandu sebagai penerus tahta Kerajaan Astina.

Abiyasa memilih bertapa di Wukir Retawu dan bergelar Begawan Abiysa, hingga suatu ketika mencapai level ngerti sadurunge winarah.

Kelompok kritis civil society tetap akan mengemukakan seruan dan gerakan moral—walaupun dituduh sebagai gerakan partisan—untuk mengingatkan pentingnya komitmen etik serta keteladanan elite negara.

Pemilu sebagai kanalisasi demokrasi adalah ikhtiar memberikan hak dan kesempatan kepada setiap warga agar bisa memilih wakil dan pemimpin yang sejalan dengan kewarasan akal sehat dan nurani.

Meminjam istilah Rama Franz Magnis Suseno, pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi menengah yang terburuk berkuasa. Semoga etika, moral, dan nilai-nilai bangsa bisa direnungi dan menghiasi setiap gerak langkah para pemimpin yang hendak berkuasa.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Februari 2024. Penulis adalah dosen UIN Salatiga dan anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya