SOLOPOS.COM - Kaled Hasby Ashshidiqy. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Jagat  politik negeri ini menghangat setelah partai politik pemenang pemilihan umum (pemilu) pada 2014 dan 2019, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menetapkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang mereka usung pada Pemilu 2024

Ada rumor Ganjar bukanlah pilihan sebenarnya para elite partai politik itu, seperti halnya Joko Widodo pada 2014. Ada orang kuat lain di internal yang lebih dipilih sebagai calon presiden, namun partai tak bisa melawan “kehendak publik” yang tercermin pada hasil survei.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Saya menulis “kehendak publik” karena saya tak terlalu yakin dengan objektivitas lembaga yang melakukan survei tersebut. Lebih dari dua lembaga survei yang menyajikan data yang nyaris serupa ihwal tingkat elektabilitas calon presiden. Itu membuat keraguan saya berkurang meski tetap tak yakin-yakin amat.

Saya sekadar penyuka isu politik. Saya melihat politik dan demokrasi dalam perspektif yang lebih umum. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Demokrasi tiap negara berbeda-beda.

Indonesia telah berganti-ganti sistem demokrasi. Demokrasi terpimpin hingga demokrasi Pancasila seperti sekarang. Demokrasi berbasis suara rakyat. Vox populi vox dei. Suara rakyat suara Tuhan. Dengan sistem demokrasi kita sekarang, pemimpin negara ditentukan oleh pilihan rakyat melalui pemilu.

Rakyat secara konstitusional memiliki kewenangan penuh menentukan siapa yang akan menjadi presiden Indonesia, terlepas dalam praktik ada kecurangan dan politik uang yang mewarnai. Artinya, pemimpin atau presiden adalah representasi rakyat. Presiden adalah wajah rakyat.

Ini yang sering kita lupa. Kita sering mencela pemimpin kita tanpa sadar bahwa dia merupakan representasi kita, warga bangsa Indonesia yang memilihnya. Anda boleh saja bilang,”Saya tidak memilih A saat pemilihan presiden lalu, jadi saya merasa tak bertanggung jawab dan bukan bagian dari rakyat yang direpresentasikan oleh presiden A.”

Dalam sistem demokrasi, suara terbanyaklah yang menang. Kelompok yang kalah harus secara konsekuen mengakui kekalahan dan mengikuti aturan pemenang. Bagaimana pun yang kalah juga  bagian dari sistem demokrasi itu.

Ketika suara mayoritas datang dari para cendekiawan, pemimpin yang terpilih memiliki ideologi dan karakter tak jauh dari pemilihnya. Begitu pula ketika suara mayoritas datang dari kalangan pekerja, karakter pemimpin seperti pekerja.

Ketika suara mayoritas datang dari kalangan pencuri atau maling, mau mengharapkan pemimpin yang berani memberantas maling? Rasanya sulit. Itulah konsekuensi demokrasi. Kita harus mengaitkan demokrasi  dengan korupsi yang tak kunjung berhenti di negeri ini.

Sejak era reformasi 1998, rasanya pemberantasan korupsi kian lama kian sulit dilakukan. Korupsi justru rasanya kian subur meski banyak pejabat dan kepala daerah ditangkapi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

Pantaskah kita menyalahkan presiden? Pantas banget. Presiden yang tidak becus memberantas korupsi tidak usah dipilih lagi. Teorinya demikian. Kenyataannya, sudah berapa kali kita ganti presiden? Rasanya korupsi tidak juga habis, malah beranak pinak.

Jadi salah siapa? Salah presiden atau salah kita yang memilih presiden? Ingat, suara rakyat penentu pemimpin terpilih. Rakyat sepertinya kurang banyak berkaca. Melihat kesalahan orang lain memang lebih mudah dan lebih mengasyikkan ketimbang mengoreksi diri.

Saya pesimistis korupsi bisa dibabat habis jika rakyat hanya mengharapkan hadirnya presiden bersih dan berani memberantasnya tanpa mau mengusahakannya. Bagaimana mengusahakannya? Ya, dimulai dari diri kita masing-masing dulu.

Presiden itu lahir dari rahim rakyat. Kalau mau memilih presiden bersih, rakyatnya harus bersih dulu. Kalau mau punya presiden antikorupsi, rakyatnya harus antikorupsi dulu! Bukankah rakyat sudah antikorupsi?

Siapa yang memiliki surat izin mengemudi atau SIM dengan memilih ”menembak” ketimbang latihan keras melintasi trek angka delapan biar lolos ujian praktik? Siapa yang suka jalur belakang karena tidak mau lama menunggu antrean?

Siapa yang lebih suka jalur instan ketimbang prosedural yang kadang lama dan berbelit-belit? Mari kita sama-sama jujur. Kita kadang-kadang hipokrit alias munafik. Ingin pemimpin kita baik sementara kita sendiri tidak mau memperbaiki diri.

Kita mau pemimpin bersih, tapi kita masih mau menerima amplop serangan fajar pada hari pencoblosan. Ada yang sok suci dengan mengatakan,”Terima saja amplopnya, tapi pilihan terserah kita.”

Itu ide buruk. Itu justru menunjukkan betapa jelasnya hipokrisi kita. Beda antara lisan dan tindakan. Tak punya komitmen dan integritas. Tingginya biaya pemilu dan pemilihan kepala daerah akibat money politic membuat bangsa ini sulit terbebas dari korupsi.

Kenapa money politic masih saja ada meski kampanye anti-money  politic sudah lama dilakukan? Ya, karena masyarakat masih menghendakinya. Seorang politikus yang pernah dipenjara karena kasus korupsi dalam dalam sebuah perbincangan politik mengatakan semua kepala daerah melakukan money politic.

Ia menyatakan semua kepala daerah pasti korupsi. Tertangkap KPK atau tidak, itu hanya persoalan nasib. Relevankah kita mengharapkan Pemilu 2024 menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang bersih dan antikorupsi? Tanyakan jawabannya pada nurani Anda masing-masing…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Juni 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya