SOLOPOS.COM - Suwarmin Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Suwarmin
Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Kita pernah mengenal beberapa istilah demokrasi. Pada awal berdirinya republik ini, kita mengenal demokrasi Parlementer (1945-1959). Pada saat itu, bisa dikatakan kehidupan politik dan pemerintahan tidak berjalan stabil. Akibatnya, program kabinet penyelenggara negara tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Korupsi juga nyaris tidak ada, karena memang tidak ada yang bisa dikorup.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Masih di era Bung Karno, kita juga pernah mengenal demokrasi terpimpin. Saat itu, partai adalah kumpulan orang-orang dengan pandangan ideologi sama dan seragam. Tak heran jika loyalitas kepada partai juga luar biasa, tak peduli harta habis untuk membiayai partai. Saat itu praktik korupsi belum terdengar. Kata orang tua yang hidup di zaman itu, saat itu masih banyak tokoh politik naik bus umum atau naik kereta api berdesakan dengan rakyat jelata. Jangan tanya fasilitas mobil dinas, kemana-mana naik pesawat apa lagi mobil sekelas harrier.

Kita juga pernah mengenal demokrasi Pancasila di era Pak Harto. Masyarakat pada saat itu secara umum dikenal adem ayem, tak peduli ada banyak pengingkaran kebenaran atau pembungkaman suara-suara yang tak seragam dengan pemerintah. Para penguasa saat itu sering kali berpesan hidup jangan neka-neka, yang penting sandang pangan tercukupi, titik. Rakyat tak perlu memikirkan urusan politik, karena semua sudah ada yang memikirkan. Partai politik hanya tiga, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemilu lancar digelar lima tahun sekali dengan pemenang sudah ditentukan jauh sebelum coblosan dilakukan.

Semua elite parpol saat itu adalah ”sahabat” pemerintah, tapi eloknya di kalangan bawah ada saja rakyat pemilih yang fanatik. Ada saja anak muda yang mendukung PPP atau PDI, tak peduli orangtuanya dipanggil pak lurah atau pak camat.

Korupsi di zaman itu sudah mulai menggejala, namun belum seberapa. Korupsi dianggap sebagai bagian dari sunah alam, pemberian upeti biasa dilakukan kalangan bawah atau pihak yang membutuhkan bantuan dari pejabat atau penguasa. Orang Jawa menyebutnya besel. Saking biasanya, banyak orang menganggap hal ini lumrah dan jangan-jangan malaikat sendiri sudah tidak menganggapnya sebagai kejahatan. Bukankah falsafah Jawa menyebutkan, jer basuki mawa bea, kehidupan yang lebih baik itu selalu ada harganya. Korupsi model begini pada zaman sekarang juga masih ada, bahkan makin banyak. Satu dekade lebih setelah Demokrasi Pancasila dianggap berakhir, praktik korupsi bermakna upeti itu masih banyak terjadi di jalan-jalan, di kantor-kantor pelayanan masyarakat, di kantor-kantor penegak hukum.

Bagaimanapun, elite penguasa di zaman itu belum secerdik sekarang. Zaman itu, belum ada kasus Hambalang atau Century, meski di zaman itu sudah ada penguasa yang punya banyak simpanan dan istri.

 

Era Harapan

 

Lalu hadirlah era harapan yang disebut sebagai era reformasi setelah Orde Baru (Orba) berakhir digantikan tatanan baru yang serba berusaha ditata ulang, disusun ulang, namun hasilnya sebagian sampai sekarang belum tertata sama sekali.

Demokrasi dikembalikan kepada ruhnya, yaitu kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, juga penegakan dan penghormatan atas hak asasi manusia. Sebuah cita-cita yang indah dan mulia. Namun siapa nyana, tumbuhnya demokrasi seiring sejalan dengan peningkatan perilaku korup. Sayangnya, demokrasi melaju kencang, bahkan banyak pihak menyebut sudah kebablasan, namun tidak diimbangi penegakan hukum. Maka yang terjadi adalah hukum rimba. Uang, kapital dan oligarki politik oleh sekelompok elite menelikung demokrasi, menyandera demokrasi sehingga tak ada ruang bagi mereka yang tak menguasai kapital untuk menduduki jabatan eksekutif, legislatif atau yudikatif sekalipun.

Sayangnya lagi, mereka yang memegang kapital sebagai sangu bertarung di ajang demokrasi masa kini, sering kali memperolehnya dengan jalan kriminal. Ekonom senior Dr Rizal Ramli, beberapa tahun terakhir santer menyebut ini sebagai fenomena demokrasi kriminal.

”Indonesia saat ini melakukan apa yang disebut sebagai demokrasi kriminal, politik dijalankan dengan modal uang yang besar. Uang didapat dari nyolong, setelah dibelanjakan, nyolong lagi. Akhirnya berjalan melingkar lingkar dari satu kriminal ke kriminal berikutnya,” kata Rizal saat berkunjung ke Griya Solopos, beberapa waktu lalu.

Orang merasakan bau menyengat tentang demokrasi kriminal ini. Ada lingkaran tidak fair, tidak sportif dan korup yang tak putus, sambung-menyambung menjadi satu. Partai mencuri duit rakyat untuk memenangkan Pemilu. Duit itu sebagian digunakan untuk menyogok rakyat, membayar pemain politik di segala tingkatan, baik berlevel preman, pengamat, lembaga survey atau pemain lain yang diperlukan, sesuai kebutuhan. Ketika kelak berkuasa, apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang sudah berdarah-darah membelajankan uang pribadi atau uang curian ini. Maka yang muncul kebanyakan adalah strategi golek balen, manipulasi dan korupsi, bukan kepemimpinan yang amanah.

Di era demokrasi seperti sekarang ini, orang pindah partai sangat mudah, tidak penting apa warna idiologinya, yang penting berapa fulus yang bisa dibawa. Sampai-sampai orang bercanda, hari gini, lebih banyak orang fanatik kepada klub sepakbola daripada fanatik kepada partai.

Celakanya, tak sedikit dari kita yang senang-senang saja makan duit sogokan dari calon pemimpin itu. Bahkan ada yang minta aspal, minta mushala, minta gedung pertemuan, minta televisi di gerdu kampung dan sebagainya. Ujung-ujungnya, si calon pemimpin akan mengkalkulasi, berapa yang kelak harus diambil kembali dari uang negara atau uang rakyat.

Jangan-jangan seperti kata Rizal Ramli, lebih baik jika bangsa ini sedikit otoriter seperti Singapura, namun mempunyai sistem penegakan hukum yang lebih kuat. Entahlah….

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya