SOLOPOS.COM - Suasana peluncuran maskot dan jingle Pilkada Boyolali 2024 di Alun-alun Kidul Boyolali, Minggu (25/5/2024). (Solopos/Ni’matul Faizah)

Tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 di kawasan Soloraya–bisa dipastikan juga di daerah-daerah lain—memunculkan banyak kandidat.

Mereka disebut kandidat kepala daerah atau kandidat wakil kepala daerah karena disebut oleh partai politik, disebut oleh organiaasi kemasyarakatan, disebut oleh organisasi-organisasi baru berbasis kesukarelawanan, atau secara mandiri menyatakan siap menjadi kandidat kepala daerah atau kandidat wakil kepala daerah.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Mereka berlatar belakang beragam. Ada yang merupakan kader partai politik, ada yang berstatus pengusaha, ada yang berstatus profesional muda, ada yang dikenal sebagai selebritas, ada yang lebih dikenal sebagai seniman-budayawan, ada pula yang berstatus birokrat, ada pula akademikus, bahkan youtuber.

Kemunculan—atau sengaja dimunculkan—banyak orang dengan aneka latar belakang dengan atribusi siap menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah secara langsung mendesakralisasi pilkada.

Pilkada bukan lagi hanya wilayah elite. Pilkada bukan untuk memilih raja kecil. Demokrasi elektoral yang dulu dianggap sangat sakral, yaitu ketika pemilihan umum atau pemilu dipahami dan diaktualisasikan sebagai sebuah kewajiban—artinya yang tidak datang ke tempat pemungutan suara dianggap subversif—kini telah berubah total.

Pemilu—tentu di dalamnya termasuk pilkada—oleh masyarakat kini dianggap dan dirasakan sebagai hal yang biasa saja. Pemilu dan pilkada adalah bagian dari rutinitas sehari-hari.

Desakralisasi pilkada ini penting mengingat ujungnya adalah kualitas demokrasi, yaitu ketika orang-orang menganggap kontestasi pemilihan pemimpin daerah bisa diikuti siapa saja dan mendatangi bilik-bilik pemungutan suara dengan kesadaran penuh untuk menunaikan hak, bukan karena ancaman atau intimidasi.

Demokrasi elektoral, seperti pilkada yang berlaku beberapa masa belakangan, memang berisiko menjadi “menyenangkan” atau “menyebalkan”. Ini adalah risiko dari dimensi kompetisi dalam politik.

Menyebalkan ketika praksis kontestasi menggunakan cara-cara kotor: menebar fitnah, memproduksi ujaran kebencian, memanipulasi undang-undang, menyalahgunakan kekuasaan, menggunakan politik uang.

Menyenangkan ketika praksis kontestasi dalam pilkada memungkinkan siapa saja yang merasa mampu bisa berpartisipasi menjadi kontestan. Proses sirkulasi kepemimpinan berjalan secara wajar dan biasa saja, bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, besar, dan elitis.

Pilkada lima tahunan menjadi sirkulasi elite yang membuka kesempatan luas bagi wajah-wajah baru—bagi siapa saja—yang merasa mampu dan merasa layak dipilih. Tentu mereka akan bersaing dengan wajah-wajah yang lama berkiprah dalam politik formal.

Kemunculan banyak wajah baru cukup menyenangkan, namun juga menyimpan potensi menyebalkan kala mereka tak jauh lebih baik ketimbang pemimpin sebelumnya.

Partai politik kini mau tak mau harus memperhatikan semua orang yang mendaftar menjadi kandidat kepala daerah atau kandiat wakil kepala daerah. Ini menjadikan pilkada makin egaliter, bukan lagi hanya milik elite politik.

Kader partai politik harus bersaing dengan siapa saja. Tentu tugas partai politik tetap harus mengusung kandidat yang terbaik lewat mekanisme seleksi yang demokratis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya