SOLOPOS.COM - Rumongso, Guru Sekolah Dasar Djama’atul Ichwan Solo

Rumongso, Guru Sekolah Dasar Djama’atul Ichwan Solo

Mohon maaf jika saya memakai judul di atas. Saya tahu Anda akan berasosiasi dan ingat kepada salah satu novel termasyhur karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang terkenal dengan sapana Hamka yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah. Bukan maksud saya untuk memelesetkan judul novel tersebut.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Saat mengajak anak didik saya mengadakan outing class ke pasar tradisonal ada perasaan gembira dalam diri mereka. Mau tahu sebabnya? Ternyata mereka nyaris tidak pernah ke pasar tradisional yang pengap dan becek. Saya merasakan sendiri bahwa sebenarnya anak–anak rindu dengan masa kecil orangtua mereka yang akrab dengan pasar tradisional.

Rasa rindu itu dapat saya rasakan dari tatapan mata mereka yang merajuk dan bertanya kapan ke pasar lagi? Waktu dua jam tidak cukup bagi mereka. Mereka minta uang bekal atau sangu lebih banyak dari uang sangu hari biasa.

Selama ini banyak orangtua menjauhkan anak dari kehidupan   nyata di pasar. Padahal pasar adalah salah satu entitas sejarah dan penanda peradaban. Saat ini, meminjam istilah Pujangga Jawa Ronggowarsito, pasar ilang kumandhange, pasar sudah kehilangan daya tarik atau pamor. Pasar sepi menjelang tengah hari.

Pada zaman dahulu, jika ada anak yang sakit, orang tua ada yang punya nazar atau kaul jika nanti si anak sembuh maka akan diajak jajan ke pasar. Si anak akan senang dan termotivasi untuk cepat sembuh, sebab pasar pagi anak adalah salah satu objek yang sangat menarik untuk dikunjungi, dan jajan di pasar adalah salah satu aktivitas untuk merasakan yang lain dari yang selama ini mereka rasakan.

Sebelum sampai ke ritual jajan, orangtua akan membeli kembang boreh yang dioleskan di kepala sebagai wujud bahwa kaul sudah diluwari atau dilaksanakan dan orangtua tidak punya utang.  Jangan bayangkan yang dibeli di pasar adalah makanan mewah. Yang dibeli hanya sebungkus getuk atau segelas dawet, namun membuat anak gembira bukan kepalang.

Pasar menjelma menjadi tempat yang sakral. Pasar memberi aura magis sebab pergi ke pasar ibarat melakukan ziarah. Pasar menjadi penopang religiusitas warga. Simbok bakul yang rasa bersyukurnya mampu meruntuhkan langit saat ada orang selesai membeli dagangannya dan disertai doa agar mempunyai rezeki yang banyak supaya bisa belanja lagi adalah wujud dari sikap religius masyarakat agraris.

Jika mereka mampu meraih untung sedikit dari hasil berdagang, semua anak-cucu ikut merasakan sebab di dunia ini tidak ada yang lebih membahagiakan seseorang selain bisa berbagi dengan orang lain. Sosiolog Soetjipto Wirosardjono yang mantan Wakil Kepala Biro Pusat Statistik menantang para Indonesianis agar jangan mengambil kesimpulan apa pun tentang Indonesia sebelum mereka mengunjungi pasar tradisional.

Kehidupan nyata ada di pasar. Sangat egaliter. Jika udara panas dan pengap orang boleh membuka baju sambil berkipas–kipas tanpa diusik atau mengusik orang lain. Pengunjung boleh mamakai celana kolor atau daster dan sandal jepit. Proses tawar-menawar dagangan menjadi katarsis kehidupan yang keras menjadi bersahabat, sebab ada penghormatan antara mereka yang terlibat. Memberi bonus barang kepada langganan tanpa memperhitungkan untung rugi mampu melenyapkan ego pribadi bahwa keuntungan yang banyak adalah tujuan utama berniaga.

 

Antitesis Kehidupan

Mari sekarang Anda saya ajak masuk ke dalam mal.  Mal yang terus tumbuh sampai di kota–kota kecil sudah menjadi kiblat bagi keluarga–keluarga Indonesia dari berbagai kalangan dan lapisan sosial ekonomi. Mal dibangun seiring dengan pergeseran peradaban dari masyarakat agraris yang religius menuju masyarakat kosmopolitan yang cenderung dangkal pemahaman mereka akan nilai–nilai religius. Mal menjadi penanda sebuah kota. Sebuah kota tanpa mal ibarat belum mendapat predikat sebuah kota.

Keluarga–keluarga muda mengajak anak ke mal tanpa tujuan. Berkunjung ke mal, kata Goenawan Mohammad hanya kluyuran. Kluyuran itu pergi tanpa tujuan. Mereka tidak sedang berbelanja namun hanya sebatas  beli untuk cangkingan agar saat keluar tidak dipelototi satpam. Berbelanja artinya butuh, sedangkan membeli artinya menutupi rasa malu.

Mal memang menyediakan segalanya. Yang tidak mampu disediakan oleh mal adalah orisionalitas. Pegawai mal tersenyum kepada pengunjung, namun senyuman artifisial, bukan senyuman tulus. Mereka dilatih terlebih dahulu untuk tersenyum kepada pelanggan yang mereka artikan raja. Senyum mereka berbeda dengan senyum simbok bakul di pasar dengan susur yang terselip di sudut mulut.

Hanya di mal kita bisa melihat dan dilihat. Jangan heran jika pakaian yang kita kenakan saat ke mal adalah pakaian paling bagus yang kita miliki. Ada mal yang mengharuskan pengunjung memakai pakaian standar yang artinya bagus dan keren. Sandal jepit bukan standar mal, maka siap–siaplah untuk ditolak jika nekat bersandal jepit. Memakai topi laken atau kopiah bisa–bisa Anda akan menjadi bahan cekikikan orang lain. Mengapa? Ini terjadi karena relasi melihat dan dilihat sebagai kultur mal tadi. Pendek kata mal adalah bentuk baru dari penjajahan atas diri kita.

Kapankah orang–orang akan berhenti mengunjungi mal? Pada saat orang tidak mampu memperoleh dan menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat kehidupan, maka mereka akan lari. Jadi suatu saat mal akan ditinggalkan orang dan nasibnya akan seperti pasar tradisional. Mal ilang kumandhange. Penyebabnya eksistensi mal bukan kultur kita. Kultur kita adalah kultur pasar yang penuh rasa guyub-rukun.

Di pasar ada celotehan, gojek kere, guyon parikena, antara penjual dengan pembeli. Mal adalah kultur asing yang dicoba untuk diadopsi oleh pemilik modal untuk ditawarkan kepada kita. Berbicara tentang modal artinya ada aspek untung rugi. Mal yang sedang mengadakan obral besar–besaran adalah ibarat sedang memberikan napas buatan agar tidak mati.

Di mal yang ramai kita merasa sepi sebab kita ibarat mahkluk asing di tengah keramaian orang banyak. Kemanusiaan kita terusik sebab kita tidak dimanusiakan saat berada di dalamnya. Harga yang dicetak dalam bentuk barcode dan label harga menjauhkan jarak antara ”kita” sebagai pembeli dan ”mereka” sebagai penjual. Pramuniaga yang menjaga dagangan bukan pemilik hak untuk mengubah harga sehingga mereka tidak bisa diajak tawar-menawar. Jadi kekuasaan yang dimiliki kalah dengan simbok bakul di pasar yang memiliki otoritas untuk mengubah harga.

Di tengah udara dingin dalam mal kita seperti kepanasan. Ada amarah di hati sebab semua menjadi sangat berjarak. Di gerai di dalam mal kita akan disambut senyum manis pramuniaga, namun saat kita tidak membeli maka wajah masam yang tersaji. Senyum di bibir mereka itu mirip bayonet tentara untuk menaklukkan musuh.

Saat semua menjadi berjarak, sinisme muncul. Pramuniaga akan ngedumel,”Kalau tidak punya uang jangan masuk!” Sementara si pengujung akan berguman,”Ah sama–sama orang susah saja sombong!”  Mal telah menghilangkan identitas dan menggerus nilai diri. Aaat anak Anda sakit, Anda tidak akan bernazar seperti orangtua kita dulu untuk jajan ke mal dengan membawa kembang boreh untuk ngluwari. Kalau dilakukan jangan–jangan yang ”sakit” justru  Anda sendiri.

 

 

 



 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya