SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini WD (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Penyanyi dangdut Lesti Kejora diberitakan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pelaku suaminya sendiri, Rizky Billar. Pada Rabu (28/9/2022) malam, ditemani kuasa hukumnya, pelantun lagu Kejora itu melaporkan dugaan KDRT yang menimpa dirinya kepada polisi.

Lesti Kejora juga menjalani visum untuk memperkuat laporannya. Hingga saat ini ibu satu anak itu belum memberikan pernyataan apa pun terhadap publik. Langkah yang dia lakukan setelah mengalami KDRT adalah tepat. Dia berani melaporkan tindak kekerasan itu kepada polisi.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Sebenarnya Indonesia memiliki payung hukum untuk penghapusan KDRT yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2024 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun kasus demikian masih saja terjadi, bahkan cenderung meningkat tiap tahun.

Peningkatan bisa saja terjadi lantaran semakin banyak korban yang berani melapor, bukan mencerminkan banyak sedikitnya kasus yang terjadi. KDRT seperti fenomena gunung es. Angka-angka yang selama ini muncul di permukaan bisa jadi tidak mencerminkan kondisi senyatanya.

Berdasarkan data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari 8.243 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani komisi ini, yang paling menonjol adalah kekerasan di ranah personal atau KDRT, yaitu 79% atau 6.480 kasus.

Kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama, yaitu 50% atau 3.221 kasus, kemudian kekerasan dalam pacaran sebanyak 20% atau 1.309 kasus. Kekerasan ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah. Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 mendefenisikan KDRT sebagai perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Menurut Pasal 5 undang-undang ini, jenis atau ragam KDRT ada empat, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. Dalam kasus Lesti Kejora, polisi menyatakan telah memenuhi unsur kekerasan fisik.

Sayangnya tidak semua perempuan atau istri yang menjadi korban KDRT berani melapor kepada polisi seperti yang dilakukan Lesti Kejora. Dikutip dari tribratanews.kepri.polri.go.id, ada beberapa penyebab korban KDRT enggan melapor kepada polisi, antara lain pelaku terlihat seperti pasangan yang baik dan bertanggung jawab di depan orang lain, ada ketergantungan finansial pada pelaku, berharap pelaku bisa berubah, mendapatkan teror, merasa belum separah itu, hingga malu.

Dalam budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia, perempuanlah yang selalu dipojokkan, termasuk ketika perempuan menjadi korban KDRT. Masyarakat akan menuding sebagai istri yang tidak becus mengurus suami atau stigma-stigma lainnya. Tidak mengherankan, korban memilih diam meski tersiksa terus-menerus.

Relasi Setara

Ingatan saya lalu melayang ke seorang perempuan yang saya temui di salah satu rumah sakit swasta di Kota Solo. Kala itu, saya mengantar ibu saya mengontrolkan mata setelah menjalani operasi katarak. Saya bertemu perempuan muda dengan mata diperban, sama seperti ibu saya.

Saking seringnya bertemu dan mengobrol akhirnya saya tahu perempuan tersebut menjalani operasi mata lantaran matanya menjadi sasaran tinju suaminya. Saya bertanya mengapa tidak melapor kepada polisi. Saya yakin dengan kondisi seperti itu bisa jadi bukti kuat dan dokter pasti mau mengeluarkan surat keterangan visum.

Kasihan anak-anak saya, masih kecil,” kata perempuan itu. Saya cuma bisa menghela napas. Ingin sekali rasanya berkata,”Kalau Mbak kasihan kepada anak-anak, seharusnya Mbak lebih berani mengambil sikap untuk menyelamatkan masa depan mereka dan masa depan Mbak sendiri.”

Yang perlu disadari bahwa diam tidak selalu emas. Korban KDRT harus berani mengambil sikap tegas. Jika korban tidak mengambil tindakan tegas, ada sejumlah rentetan dampak KDRT terhadap korban maupun anak-anak. Dampak KDRT yang dilakukan suami terhadap istri atau korban secara umum adalah mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stres pascatrauma, mengalami depresi, keinginan untuk bunuh diri, hingga menyebabkan kematian.

Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga dengan KDRT juga merasakan dampak buruk berupa kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.

Memutus lingkaran setan KDRT memang tidak mudah. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut perlu sejumlah langkah. Pertama, bangun support system yang kuat baik dari pemerintah, penyidik atau polisi, keluarga, hingga masyarakat agar korban KDRT memiliki keberanian melapor kepada polisi.

Kedua, setiap individu wajib menyadari konsep kesetaraan dalam keluarga adalah kunci dalam menghentikan tindak KDRT. Perlu komitmen kuat yang terbangun dalam pribadi laki-laki maupun perempuan untuk mengemban semua konsekuensi yang hadir ketika formasi keluarga telah terbentuk.

Komitmen yang telah terbentuk itu diharapkan mampu membangun komunikasi dua arah di antara suami dan istri yang berimplikasi pada keutuhan keluarga sehingga kasus KDRT dapat tereliminasi. Ketiga, perlu ditanamkan kepada setiap individu yang hendak menikah bahwa hubungan suami istri bukanlah hubungan atasan dengan bawahan atau majikan dengan buruh.

Relasi suami dan istri adalah hubungan setara dari pribadi-pribadi yang demokratis, pribadi-pribadi yang menyatu dalam satu wadah perkawinan yang dilandasi rasa saling membutuhkan, saling melindungi, saling melengkapi, dan saling menyayangi satu dengan yang lain.

(Esai ini terbit di Harian Solopo edisi 3 Oktober 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya