SOLOPOS.COM - Nadia Shafiana Rahma(Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Saya menyebut presiden Joko Widodo adalah pahlawan bagi dunia pesantren dan umat Islam di Indonesia. Dalam dua periode kepemimpinan ia membuat kebijakan terpenting dalam sejarah pesantren di Indonesia.

Pertama, Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri. Kedua, penetapan  Undang-undang Nomor Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Ketiga, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Inilah wujud komitmen dan keberpihakan tegas Presiden Joko Widodo dalam  memajukan pesantren.  Inilah legasi Presiden Joko Widodo yang akan diingat sepanjang masa. Tiga paket kebijakan tersebut tentu saja karena khidmah dan pengabdian dunia pesantren kepada nusa, bangsa, dan negara yang nyata dan teruji.

Teruji dalam perjalanan zaman hingga saat sekarang, dalam hampir seluruh aspek kehidupan, mencakup keagamaan, sosial, budaya, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta diplomasi.

Fatwa resolusi jihad, yakni kewajiban berjihad demi mempertahankan kemerdekaan lndonesia dari K.H. Hasyim Asy’ari, sampai pergolakan pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya, yang menjadi latar penetapan Hari Santri, hanyalah salah satu momentum krusial dari berbagai wujud khidmah dunia pesantren kepada bangsa.

Mengapa khidmah dunia pesantren kepada bangsa  selalu menyala? Karena dunia pesantren mengajarkan santri berkewajiban menegakkan tujuan syariat  (maqashid al-syari’ah), yaitu terwujudnya  kehidupan yang adil (al-’adalah), setara (al-musawah), manusiawi (al-basyariyah), menjunjung tinggi  lokalitas (al-‘adah), kebinekaan (at-ta’addudiyyah), dan keharmonisan (mu’asarah bi al-ma’ruf) di Indonesia  yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Inilah keutamaan doktrin kesantrian, ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah,  yang membuat santri selalu dapat hidup damai dengan siapa dan di mana saja. Keluasan wawasan tersebut karena dunia pesantren memegang teguh  ajaran  al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Santri menempuh pendidikan lintas negara merupakan salah satu ciri khas sejak zaman dulu.   Mengejar guru untuk mendapatkan otoritas sanad keilmuan dan keberkahan adalah motif mendasar. Peta keguruan dan keilmuan santri jaringan  internasional berpusat di Timur Tengah, seperti Mekkah, Madinah, Kairo, Hadramaut, Maroko, Yaman, Iraq, Iran,  dan sekitarnya.

Santri juga memiliki jaringan keilmuan-keguruan di level yang lebih dekat, misalnya di negara-negara Asia Tenggara. Inilah yang menyebabkan kitab-kitab yang dikaji di pesantren berbagai kawasan memiliki kesamaan, mulai dari level paling rendah sampai pada kajian kitab rujukan otoritatif yang tebal dan berjilid-jilid.

Ribuan santri Indonesia bermukim, menuntut ilmu, mengajar, dan berkarya menulis kitab dan menerbitkannya di luar negeri. Banyak ulama dari Indonesia yang memiliki reputasi dunia, seperti Nurudin Ar-Raniri, Abdul Rauf As-Singkili, Muhammad Yusuf Al-Makassari.

Kemudian, Syaikh Imam Nawawi al-Bantani, Syaikh Yasin al-Fandani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Mahfudz At-Termasi, K.H. Sholeh Darat, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Abdurrahman Wahid, K.H. Ahmad Musthofa Bisri, dan kini terus diikuti generasi muda  usia 40 tahun, 30 tahun, 20 tahun, bahkan belasan tahun.

Diaspora santri Indonesia secara geografis dan keilmuan sekarang terus mengglobal. Dari segi jangkauan kawasan, santri hari ini menuntut ilmu hampir di semua kawasan dan benua, Asia, Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia di ratusan negara.

Hari ini banyak santri yang menyandang maqam selain  kiai dan syaikh, yaitu sarjana, master, doktor, dan profesor. Dari segi kajian keilmuan, jika dulu terbatas pada ilmu keislaman, hari-hari ini ada ribuan santri diaspora yang menekuni ratusan jenis keilmuan, baik ilmu agama, sosial, humaniora, kealaman, sains, dan teknologi mutakhir.

Jaringan

Dari sisi koneksitas, dengan kemajuan teknologi komunikasi yang canggih, seluruh santri di seluruh dunia terkoneksi dengan mudah. Pengalaman saya saat baru sehari tiba di Washington, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu, jaringan santri internasional/dunia telah terhubung.

Saya mendapatkan berbagai agenda acara yang dilaksanakan santri diaspora, mulai dari acara rutin tahlilan, dibaan (membaca al-Barzanji), sampai kajian keilmuan lintas benua yang serius. Para santri diaspora bukan hanya berstatus pelajar, mahasiswa, tetapi banyak yang berkarier di berbagai universitas, lembaga penelitian bergengsi di berbagai negara maju.

Sama seperti para ulama pendahulu, kini karya-karya para diaspora Indonesia hampir tak lagi terhitung jumlahnya, saking banyaknya. Para diaspora Indonesia ini, meskipun berada di negeri yang jauh, kecintaan kepada bangsa dan negara sangat luar biasa.  Saya menyebut para diaspora ini duta bangsa.

Merekalah yang setiap saat mengenalkan Indonesia di berbagai forum dan komunitas  akademis maupun kehidupan sehari-hari masyarakat global. Di Amerika Serikat saya mendapatkan banyak kesempatan menjadi pembicara di forum internasional, seperti international education week (IEW) atau pekan pendidikan internasional.

Ini adalah program bersama Departemen Luar Negeri dan Departemen Pendidikan Amerika Serikat untuk merayakan manfaat pendidikan dan pertukaran pelajar internasional di seluruh dunia. Pekan pendidikan internasional mempromosikan program mempersiapkan warga negara Amerika Serikat untuk hidup di dunia global dan menarik para pemimpin masa depan dari luar negeri untuk belajar dan bertukar pengalaman.

Kegiatan pekan pendidikan internasional melibatkan partisipasi individu dan lembaga yang tertarik pada pendidikan internasional dan kegiatan pertukaran pendidikan, baik siswa sekolah, perguruan tinggi, universitas, kedutaan besar, organisasi internasional, lembaga bisnis, asosiasi, dan organisasi masyarakat di seluruh dunia.

Tidak berlebihan bila pekan pendidikan internasional sebagai event pendidikan terbesar di dunia.  Di forum ini  saya tiga kali presentasi tentang moderasi beragama di Indonesia. Ini kesempatan sangat berharga karena diikuti oleh banyak peserta dari berbagai negara di seluruh benua di dunia.

Saya juga bisa belajar dari ratusan negara lain, misalnya ketika mengikuti konferensi besar yang diikuti peserta dari hampir seluruh dunia bernama Better Understanding for a Better World atau BUBW. Ini adalah konferensi pemuda internasional yang menekankan kesamaan antarsesama manusia, menjunjung tinggi kemanusiaan untuk kehidupan yang plural dan damai.

Tema-tema dalam konferensi ini terasa sangat bertenaga, seperti humans and the universe (manusia dan alam semesta),   respect for diversity (menghargai keragaman),  appreciation for other civilizations (apresiasi pada peradaban lain),  religious diversity/ interfaith (keanekaragaman agama/antar iman), dan leadership (kepemimpinan). Berbagi dari dekat  dalam forum internasional untuk kehidupan yang damai bagi semua manusia, sungguh menguras rasa.

Capaian santri di Indonesia maupun diaspora menunjukkan bahwa pendidikan pesantren saat ini berada pada tren dan transformasi yang positif  dalam konteks menjawab  tantangan kehidupan di tingkat lokal, nasional, dan global.

Tentu perlu dihitung secara statistik dan matematis, apakah  telah memadai bila dibandingkan dengan jumlah santri dan pesantren secara keseluruhan di Indonesia saat ini.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Oktober 2022. Penulis adalah Duta Perdamaian dan Persahabatan Indonesia-Amerika Serikat tahun 2020-2021 dan anggota Indonesian YES Alumni Association)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya