SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini WD (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Masih lekat dalam memori ini, ketika masih kanak-kanak, ibu atau simbah putri acap kali menyuruh saya untuk menghabiskan seluruh makanan di piring. Hal ini disertai ancaman klasik,”Yen ora entek, pitike mati loh.” Kalau makan tidak habis nanti ayam peliharaanmu mati. Demikian selalu ancaman yang menyertai.

Meski kurang paham dengan ancaman tersebut, saya pikir-pikir apa coba hubungannya nasi di piring tidak habis dengan ayam peliharaan mati. Kenyataannya ancaman itu cukup ampuh untuk membuat saya menghabiskan seluruh makanan di piring.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Mungkin bukan hanya saya yang pernah mendapatkan ancaman klasik tersebut. Sampai sekarang saya juga masih bertanya-tanya kenapa selalu ayam, padahal belum tentu setiap keluarga punya peliharaan ayam. pasti banyak anak di luar sana  juga mendapatkan ancaman klasik seperti itu.

Setelah dewasa, barulah saya menyadari sebenarnya ada local wisdom, kearifan local, di balik ancaman tersebut. Jangan sampai membuang makanan. Membuang makanan bukan hanya berarti tidak mensyukuri nikmat masih bisa menyantap makanan, melainkan ada ancaman lain yang lebih nyata berupa sampah makanan!

Masalah sampah makanan ini sudah menjadi perhatian serius negara-negara di dunia. Sejumlah negara menjadi penghasil sampah makanan atau food loss and waste (FLW) terbesar di dunia. Indonesia salah satunya.

Pada 2021, berdasarkan data The Economist Intelligence Unit, Indonesia merupakan penghasil sampah makanan (food loss and waste/FLW) terbesar kedua di dunia. Peringkat pertama adalah Arab Saudi dan peringkat ketiga adalah Amerika Serikat.

Berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) ke-12 poin ke-3, negara-negara di dunia diharapkan dapat mengurangi 50% limbah makanan per kapita di tingkat ritel dan konsumen pada tahun 2030. Limbah yang dihasilkan dari sisa-sisa makanan tanpa disadari memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan dan menciptakan kerugian ekonomi.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Arifin Rudiyanto, menyebut berdasarkan studi The Economist Intelligence Unit, Indonesia menghasilkan hampir 300 kilogram sampah makanan per orang per hari setiap tahun.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan 44% timbulan sampah Indonesia pada 2018 adalah sampah makanan. Dari sisi lingkungan, kajian FLW di Indonesia pada 2000-2019 menunjukkan timbulan FLW mencapai 23 juta ton hingga 48 juta per tahun atau setara 115 kilogram hingga 184 kilogram per kapita per tahun.

Hal tersebut berdampak pada emisi total gas rumah kaca yang mencapai 1.702,9 mega ton CO2-ek. Kehilangan nilai ekonomi mencapai Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun atau setara 4% hingga 5% produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Sedangkan dari sisi sosial berupa kehilangan kandungan energi yang setara dengan porsi makan 61 juta orang hingga 125 juta orang atau 29% hingga 47% populasi Indonesia. Timbulan sampah tersebut berasal dari lima tahap rantai pasok pangan dengan timbulan terbesar pada tahap konsumsi sebanyak 31,80%.

Berdasarkan jenis pangan timbulan sampah di sektor tanaman pangan kategori padi-padian mencapai 62,8%. Kepala Perwakilan FAO Wilayah Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal, menerangkan sistem pertanian pangan berkontribusi terhadap perubahan iklim dan benar-benar merasakan akibat pemanasan global.

Di beberapa bagian dunia, perubahan iklim menyebabkan hasil panen dan produktivitas ternak lebih rendah, penurunan hasil perikanan, kehutanan, dan perubahan komposisi kandungan gizi pada bahan makanan pokok dengan adanya penurunan protein, mineral, dan vitamin.

Ironis! pada saat jutaan orang kelaparan, sejumlah besar makanan terbuang setiap hari. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Kita bisa melihat perilaku tamu resepsi dengan sajian prasmanan yang mengambil makanan sebanyak mungkin dan tidak dihabiskan, sementara di sejumlah daerah masih banyak keluarga berjuang dengan masalah stunting.

Kontribusi Individu

Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4% atau 5,33 juta anak balita. Prevalensi stunting ini telah menurun daripada tahun-tahun sebelumnya. Presiden Joko Widodo menargetkan angka stunting turun menjadi 14% pada 2024.

Laman kemenkopmk.go.id menginformasikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengatakan untuk mencapai target 14% maka setiap tahun perlu terjadi penurunan sekitar 3%.

Apa penyebab tingginya produksi sampah makanan di Indonesia?  Hasil penelitian Food Loss and Waste Study Waste4Change mengungkapkan penyebab  FWL di Indonesia adalah penanganan proses produksi yang kurang baik dan perilaku konsumsi masyarakat.

Menurut FAO, makanan yang terbuang paling banyak adalah tanaman, terutama sereal. Sektor pangan yang paling tidak efisien karena banyak terbuang (menyusut) dalam rantai pangan adalah buah dan sayur.

Di tengah ancaman krisis pangan global,  Indonesia sebagai negara agraris masih menjadi negara penghasil sampah makanan terbanyak kedua di dunia. Ini tentu perlu jadi perhatian bersama. Bukan hanya tugas pemerintah meminimalkan sampah makanan ini.

Kita juga harus berkontribusi. Praktisi yoga Dylan Werner pernah menyarankan untuk hidup dengan penuh kesadaran. Hidup berkesadaran adalah kunci untuk memiliki tubuh sehat  sekaligus memberikan impact positif bagi lingkungan sekitar, termasuk Bumi.

Menurutnya, kita hidup di Bumi ini saling terkoneksi dan berdampak terhadap makhluk lainnya. Apa yang kita lakukan, entah besar atau kecil, pasti akan berdampak terhadap lingkungan dan Bumi yang kita tinggali.

Hal ini selaras dengan apa yang diucapkan  Kepala Perwakilan FAO untuk Wilayah Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal. Menurut dia, setiap orang harus memahami bahwa perlakuan mereka terhadap makanan memengaruhi sistem pangan.

Transformasi global hanya bisa terjadi jika dimulai dari individu. Cara kita memilih, memproduksi, mengonsumsi, dan membuang makanan memengaruhi orang lain. Kita perlu bertindak, dan itu harus terjadi sekarang.

Jadi, mari kita mulai dari diri sendiri dan keluarga kita untuk  makan dengan penuh kesadaran demi mengurangi sampah makanan. Pertama, makan secukupnya. Ambil makanan seperlunya. Kedua, saat berbelanja bahan pangan penting mengetahui apa yang dibutuhkan.



Bikin catatan bahan pangan yang kita butuhkan. Hal ini berguna mencegah keinginan konsumtif yang berujung membuang makanan. Ketiga, mengolah limbah makanan menjadi kompos. Dengan demikian sampah makanan bisa memberikan manfaat positif untuk Planet Bumi.

Keempat, ketika makan bersama di restoran bersama keluarga atau teman sebaiknya berbagi makanan untuk menghindari makanan yang tidak habis di piring terbuang. Kelima, tanamkan kesadaran pada anak-anak untuk mengambil makanan seperlunya dan habiskan isi piring!

Intinya mari bersama-sama meminimalkan sampah makanan! Semoga dengan langkah kecil ini, kita bisa berkontribusi mengurangi sampah makanan di Indonesia dan di dunia. Semoga.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 November 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya