SOLOPOS.COM - Ika Yuniati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sekitar  dua bulan lalu, dalam acara mentoring jurnalisme warga di Yogyakarta, rekan saya asal Maluku beberapa kali ke kamar mandi. Dia mengeluh diare selama hampir dua hari.

Penyebabnya tak cocok mengonsumsi nasi beserta lauk yang disediakan di hotel lokasi acara. Sampai akhirnya dia harus memesan menu khusus. Usut punya usut, dia memang tak terbiasa makan nasi.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Sagu dan papeda jadi makanan dia dan keluarganya sehari-hari, meski sekarang ini lumayan susah dicari karena banyak hutan sagu dibabat untuk lahan industri. Kalaupun ada, harganya cukup mahal.

Adaptasi makanan selama tiga hari di Yogyakarta itu sempat membuat kawan saya itu stres. Saya jadi berpikir, kalau dua hari saja bisa stres, bagaimana dengan masyarakat adat di luar Jawa yang “dipaksa” makan nasi secara masif oleh program pemerintah?

Tren kenaikan harga beras kelas medium hingga premium yang ugal-ugalan belakangan ini membuat saya ingat pada beberapa ambisi pemerintah yang ingin menjadi lumbung pangan dunia.

Muncul kemudian program membangun food estate di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Food estate adalah konsep budi daya tanaman pangan yang dilakukan secara terintegrasi yang mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan.

Kementerian Pertanian bersama Pemerintah Kabupaten Merauke memberdayakan lahan-lahan yang belum digarap, lahan-lahan yang penuh potensi, untuk dijadikan lahan produksi tanaman pangan.

Dampaknya apa? Di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, terjadi perubahan skala besar dari konsumsi sagu sebagai makanan pokok menjadi beras dan mi instan. Tak mengagetkan kalau beberapa kali saya melihat konten anak-anak Papua antusias saat diberi mi instan.

Kondisi ini tentu berdampak pada aspek sosial budaya hingga perekonomian masyarakat Papua. Mengutip peneliti sekaligus aktivis Craig Santos Perez, penjajahan pangan itu disebut dengan gastro colonialism.

Penjajahan pangan memaksa masyarakat tergantung pada jenis makanan tertentu hingga mereka kehilangan kedaulatan pangan. Sedikit menilik sejarah, keseragaman pangan di Indonesia tak lepas dari politik swasembada pangan dalam program revolusi hijau saat Orde Baru.

Rezim Soeharto membuat kebijakan yang akhirnya menggerus diversifikasi pangan. Petani ditekan menanam beras dengan berbagai alasan. Sampai hari ini, budi daya padi untuk menghasilkan beras seolah-olah menjadi sesuatu yang sangat dekat dan saling mengikat.

Kalau enggak beras, enggak makan. Sampai akhirnya beberapa waktu terakhir muncul tren kenaikan harga beras di pasaran. Harga beras bantuan pemerintah dalam program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) yang tadinya Rp9.500 per kilogram naik hingga Rp10.900 per kilogram.

Tak mengherankan kalau akhirnya masyarakat khawatir mengingat pemerintah pun tak bisa menjamin dan melindungi mereka dalam memperoleh bahan makanan yang terjangkau. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi beras Indonesia memang terus meningkat.

Sepanjang Januari-September 2023, proyeksi konsumsi beras nasional bisa mencapai 22,89 juta ton, sementara pada periode yang sama tahun lalu konsumsinya 22,62 juta ton.  Di tengah konsumsi masyarakat atas beras yang terlalu tinggi, produksi beras di kalangan petani justru menurun.

Produksi beras Indonesia sepanjang Januari-September 2023 diperkirakan 530.000 ton lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Opsi mengimpor beras dilirik oleh pemerintah. Salah satu kebijakan adalah mengimpor beras dari Kamboja sebanyak 250.000 ton.

Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, impor beras juga dilakukan karena pemerintah menilai petani belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional. Masyarakat harus manut dengan alur yang menurut saya kurang masuk akal tersebut.

Dampaknya, harga beras impor jelas makin tinggi. Bisa ditebak, penikmat keuntungannya bukan petani. Kebijakan yang kontradiktif dengan upaya mewujudkan kemandirian pangan ini jelas jadi pertanyaan besar. Pemerintah sering dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia berkelimpahan pangan.

Di Soloraya, misalnya, lumbung pangannya tersebar di beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Sragen. Saya sepakat salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah kampanye diversifikasi pangan.

Sudah saatnya mengembalikan kedaulatan pangan masing-masing wilayah. Layaknya Bhinneka Tunggal Ika, dalam urusan pangan pun harus siap menerima perbedaan. Jangan justru menyeragamkan pangan hingga membuat masyarakat kebingungan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 September 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya