SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Sewaktu kecil, saya kira tulisan atau tanda larangan masuk hanya ada di tempat-tempat tertentu: di ruang kerja legislator tempat mereka memikirkan urusan rakyat; di kantor pemerintahan tempat para pejabat mengelola negara, di toko-toko atau restoran elite; di ruang pertemuan hotel berbintang, serta di beberapa tempat lain.

Beranjak dewasa barulah saya menyadari tulisan larangan masuk tersebut jumlahnya lebih banyak dari yang saya kira – jauh lebih banyak – sementara kota menjadi ruang gabungan dari kesemuanya itu, sebuah tempat besar dengan banyak tulisan larangan masuk yang selalu membuat saya merasa terpinggirkan, tidak masuk bagian, sedih, dan merasa begitu kecil.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Tembok-tembok dan pagar yang semakin tinggi kini menjadi sama efektifnya dengan simbol garis horisontal putih berlatar belakang merah. Satpam yang terkantuk-kantuk di posnya di sebuah cluster perumahan juga menyuarakan aturan senada.

Lain waktu bentuknya bisa berupa portal perumahan atau gerbang tinggi tempat wisata yang dipenuhi lusinan bahkan puluhan mobil yang tertata rapi. Tidak tersedia tempat parkir untuk sepeda motor di tempat tersebut. Jadi bukankah itu sama dengan tanda larangan masuk untuk sebagian besar orang Indonesia yang mengandalkan kendaraan roda dua untuk mobilitas mereka?

Celetukan seorang teman seniman menambah daftar panjang ruang pandang saya perihal teks larangan masuk ini.

“Itu kan seperti konser orkestra Dewa 19 atau Deep Purple. Berapa banyak sih orang yang boleh masuk? Sedikit sekali kan? Dan yang jelas acara itu bukan untuk saya, bukan untuk tetangga saya yang pekerjaannya menjaga angkringan, bakul latengan [masakan matang], juga bukan untuk pengelola hotel melati,” kata dia terkekeh.

“Jadi kalau para ahli bilang ekonomi kita ini berjalan karena banyak event, itu ekonominya siapa? Pengunjung angkringan tetap saja orang-orang itu. Yang datang di hotel melati ya mereka-mereka saja. Coba pikir, mana mau penonton Deep Purple nginep di hotel short time,” lanjut dia.

Saya tertegun mendengar celetukannya, menyadari begitu banyak kebenaran di dalam keresahannya. Sesuatu yang tidak pernah benar-benar saya pikirkan meski sebenarnya saya mengetahuinya samar-samar. Lalu apakah acara seperti itu sebaiknya digratiskan atau tidak diadakan sama sekali untuk sebuah prinsip keadilan?

Jawabannya tentu saja tidak. Dalam diskusi random pagi itu, kami sepakat bahwa kami tetap membutuhkan Ian Gillan atau Ello atau Ari Lasso bernyanyi sepuas mereka di pusat Kota Solo. Bagaimana pun kota ini tetap membutuhkan mereka untuk pemasukan pajak hiburan, retribusi kota, atau intinya untuk membiayai kebutuhan operasional kota yang semakin canggih dan semakin tak murah ini.

Namun kami pikir, pemerintah di sisi lain, juga harus lebih banyak dan lebih serius memfasilitasi panggung untuk rakyat – sebuah event pergelaran yang sifatnya bottom up di mana masyarakat benar-benar terlibat: tempat uang bisa menetes di angkringan, penjual balon, penjual latengan, atau bahkan pengemis yang berkeliaran di kota. Bukan sebaliknya, seluruh uang itu diangkut hotel berbintang, resto cepat saji, atau EO besar ke Ibu Kota, sementara warga di kota ini menjadi penonton saja.

Tentu saya paham bahwa di balik tiket mahal sebuah konser, tiket tempat wisata yang makin tak terjangkau, tembok tinggi di perumahan elite, hingga patroli keamanan di pusat perbelanjaan, ada jaminan sepadan untuk tuntutan kenyamanan, keamanan, serta aksi pencegahan gangguan lain.

Baca Juga: Lebay

Dengan uang yang telah orang-orang kaya bayar, pemerintah telah ikut memastikan tidak akan ada gelandangan, pengemis, maupun kasus kriminalitas berkeliaran di sekitar mereka. Apabila masih kecolongan juga, jangan khawatir, negara akan langsung hadir. Hidup mereka dijamin selalu baik-baik saja, setara dengan harga yang sudah mereka bayarkan.

Lalu persoalan pun muncul.

Saat pemerintah menyerahkan budaya publik dikelola elite swasta, pastilah ada konsekuensi yang harus dihadapi. Saya sepakat dengan pandangan Zukin (seorang sosiolog) bahwa landasan kepentingan elite swasta tidak akan pernah jauh-jauh dari urusan perputaran modal dan keuntungan setinggi-tingginya. Tak ada urusan dengan kepentingan sosial atau kesehatan ruang publik.

Kondisi ini bisa dengan mudah kita lihat dari ketimpangan pembangunan yang memprioritaskan tempat-tempat menguntungkan demi mengerek kenaikan harga properti maupun bisnis eceran. Selanjutnya agar bisnis berjalan lancar, kontrol ruang publik di bawah otoritas keamanan juga mutlak diperlukan.

Sekali lagi pertanyaannya, bagaimana lantas nasib mereka yang tidak sanggup membayar tingginya biaya kenyamanan hidup di kota? Orang-orang yang setiap hari harus jungkir balik demi bertahan hidup – yang disuguhi problem jarak, biaya transportasi mahal, kemacetan, kriminalitas, hingga polusi? Orang-orang yang setiap hari memutari sudut-sudut kota dengan sepeda motor mereka yang tak sanggup menggaransi cuaca panas dan hujan? Orang-orang yang telat ke kantor karena laju angkuta yang bersaing dengan jalannya siput? Atau orang-orang yang senantiasa waswas saat anak mereka bermain bola di jalanan karena lapangan yang terkunci rapat?

Tahukah Anda, bermain dengan imaji identitas adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Itulah sebabnya mal, bioskop, tempat wisata, atau konser setiap akhir pekan selalu dipenuhi orang-orang kaya di kota atau pinggiran kota. Nah, kalau mereka saja masih butuh bermimpi, di mana lantas tempat berkhayal deretan orang-orang yang tak seberuntung mereka? Di mana mereka bisa melarikan diri supaya tidak beringas atau justru depresi dalam kehidupan ini?

Kota dengan segala kelebihan dan kekurangannya tentu saja saya harap tetap menjadi taman bermain identitas untuk semuanya. Jadi jika ada bioskop dengan tiket mahalnya, maka saya harap ada juga layar tancap gratis yang memutar film-film lokal untuk warga. Jika Ari Lasso bisa bernyanyi kencang di panggung orkestra, maka beri kesempatan lagi Jason Ranti bernyanyi di konser gratis Pamedan Mangkunegaran seperti beberapa waktu lalu. Atau jika SIPA tetap terselenggara, beri pula pendampingan setiap kelurahan untuk membuat acara yang berkualitas agar uang yang berputar di kampung juga semakin kencang.

Tulisan larangan masuk biarlah tetap terpasang di tempat-tempat tertentu. Yang seperti itu juga perlu. Namun, saya berharap tanda itu tak lantas bereplikasi lebih banyak, menjadikan wajah kota seperti penjara besar bagi sebagian besar orang yang tinggal di dalamnya.

 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Mei 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya