SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Terminologi demokrasi, belakangan ini, hampir setiap hari dirasani. Dirasani tidak hanya di forum akademis, bahkan hingga di-bully dalam obrolan warung kopi. Mulai dari yang benar-benar serius, hingga yang hanya dibuat selengekan. Rame karena musim hajatan politik. Gara-gara pemilihan presiden 2024.

Ya wajar saja. Pilpres tinggal dua pekan lagi. Nasib bangsa akan ditentukan di bilik suara pada 14 Februari mendatang. Pilpres langsung kali ini adalah yang kelima sejak pertama kali digelar tahun 2004 silam. Sejalan dengan  pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati dan wali kota. Bahkan sejak 2019, pelaksanaan Pilpres dibarengkan dengan pemilihan anggota legislatif, sehingga kampanye pemilu berlangsung secara masif di seluruh Indonesia.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Barangkali Indonesia termasuk sedikit negara yang mempraktikkan model politik (untuk membedakan dengan model bisnis) dengan menerapkan pemilihan langsung di semua level pemerintahan sejak dua dekade terakhir ini.

Dua dekade lebih model politik ini menjadi landasan ketatanegaraan di Indonesia, dengan segala konsekuensi dan implikasinya. Termasuk implikasi sosial-ekonomi dalam realitas kehidupan sehari-hari. Banyak yang bilang, gara-gara Pilpres langsung dan pemilihan kepala daerah secara langsung – disertai pileg di parlemen daerah hingga DPR serta DPD – telah melahirkan ekosistem politik yang korup di Indonesia, karena keterpilihan identik dengan modal kapital yang disiapkan untuk menang.

Tapi di sisi lain, banyak yang bilang pula, model politik dan model demokrasi liberal hari-hari ini memberi peluang siapa pun untuk menjadi pemegang mandat kekuasaan di semua level pemerintahan dan institusi demokrasi. Tak peduli latar belakang politiknya. Tak peduli punya darah biru politik atau dari rakyat jelata.

Jelas, semua ada plus minusnya. Namun satu hal yang kita semua terlewat menyoroti, apakah esensi dari model politik berbasis demokrasi liberal ini telah benar-benar merupakan jalan final bagi tujuan mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi bangsa Indonesia?

Wacana elitis selalu mengedepankan bahwa demokrasi (liberal) adalah pilihan final dan tak bisa lagi ditawar-tawar atau dinegosiasikan kembali. Kita sering lupa, bahwa model demokrasi hanyalah salah satu alat dalam mencapai tujuan, yang diterapkan dengan cara berbeda-beda di banyak negara. Lain di Barat, lain di Timur dan di banyak belahan dunia.

China adalah salah satu contoh negara, di mana pilihan model politik yang tidak mendasarkan kepada demokrasi liberal ala Barat, justru hari ini jauh lebih maju dan sejahtera dan membuat ketar-ketir Amerika. Begitu pula Vietnam, dan skala yang lebih kecil tetangga kita, Singapura.

Kesadaran soal model politik ini tampaknya belakangan mulai muncul atas dasar evidence di banyak negara. Beberapa waktu lalu sempat muncul wacana amandemen kembali UUD 1945 ke UUD 1945 asli sebelum diamandemen pada reformasi 1998. Apabila ini terjadi, kita akan kembali menuju era “managed democracy”, mengoreksi demokrasi liberal seperti hari ini. Belakangan, wacana ini redup kembali.

Namun, fenomena hari-hari ini, sejalan dengan disrupsi teknologi yang intensif menggerogoti hampir semua sendi kehidupan sosial ekonomi kita, bukan tidak mungkin, pelan tapi pasti, bakal mendisrupsi pula tatanan demokrasi di negeri ini.

Saya coba tengok kamus, disrupsi bermakna kurang lebih, “sebuah kejadian yang mengakibatkan pergantian (perubahan) atau diskontinuitas”, “tindakan yang menyebabkan gangguan”, atau “tindakan atau penyingkiran, atau keadaan terpecah”.

Yang jelas, disrupsi telah merambah ke mana-mana. Ini bukan semata industri keuangan yang waswas dengan fintech, atau mal yang tergerus toko online, atau media konvensional yang bubar karena kehadiran media digital. Bahkan bergeser ke perubahan sosial politik.

Tentu saya tidak berpretensi sebagai ahli politik. Sebagai praktisi komunikasi, saya melihat begitu cepatnya disrupsi mengubah perilaku komunikasi yang masif: dalam cara-cara pembentukan opini, penggalangan gagasan, dan mobilisasi “massa”.

Cara berpolitik praktis pun berubah. Seperti halnya media yang berubah selaras dengan perubahan perilaku konsumen, politik praktis juga menjelma menjadi “industri politik”, agar tetap relevan dengan massa pemilih.

Maka, menjelaskan perubahan industri politik, mirip dengan perubahan industri media. Di media, perubahan juga terjadi pada cara mengoleksi konten, termasuk perkembangan praktik agregasi konten, yang kini “memangsa” banyak media konvensional, bahkan membajak konten media lain tanpa etika.

Di era disrupsi ini, selaras dengan perkembangan jurnalisme warga, konten-konten yang diproduksi melalui proses produksi yang standar, profesional dan akuntabel itu begitu mudah berpindah medium karena praktik agregasi konten di media berbasis Internet.

Kalau dulu media harus berlangganan kepada kantor berita seperti Antara, Reuters, atau Bloomberg, kini banyak media daring merasa tak perlu berlangganan berita dari sumber konten, tetapi memiliki konten yang kaya karena “comot sana-sini”.

***

Fenomena disrupsi demokrasi sepertinya tak dapat terhindarkan. Partai-partai politik kini tak lagi punya cengkeraman yang kuat terhadap massa pengikutnya. Kini banyak parpol “lemas terkulai” oleh pengaruh “massa teknologi”, yang jauh lebih mudah dimobilisasi melalui Internet. Media sosial, terutama Instagram dan TikTok telah menjadi alat mobilisasi massa (dan gagasan) yang cepat, dan efektif.

Tergantung kekuatan visual, kata-kata, dan narasi. Dinamika dan perubahan pun begitu cepat. Bahkan platform Twitter (kini X) yang kira-kira lima tahun lalu masih superpower dan mampu “memenangkan” Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat, kini sudah lunglai. Relevansinya makin berkurang. Begitu pula Facebook.

Dengan media sosial, mobilisasi massa dan gagasan berlangsung cepat, efektif, dan masif. Begitu mudah dan cepatnya mobilisasi massa, yang digerakkan oleh kekuatan visual dan narasi. Dan disebarkan secara masif melalui media sosial dan aplikasi pesan seperti WhatsApp.

Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, begitu pula Pilpres 2014 dan 2019, dan kini Pilpres 2024, pengaruh disrupsi teknologi ini tampak begitu nyata. Dan terus bergeser.

Bisa jadi, disrupsi demokrasi takkan terelakkan. Jangan -jangan ke depan nanti, model politik, bahkan model demokrasi bisa cepat berubah, yang memaksa perubahan regulasi, karena kekuatan teknologi dan digitalisasi.

Saya pernah menulis, liberalisasi digital yang terjadi dalam lebih dari satu dekade terakhir ini – kebetulan membuntuti usia reformasi politik di Indonesia – sebenarnya berkah atau bencana?



Dari sisi bisnis, banyak berkah bagi yang menikmati kue ekonominya. Banyak sekali startup yang kini menjadi perusahaan-perusahaan besar akibat disrupsi, yang menggoyang bahkan membunuh perusahaan lama, atau korporasi konvensional yang tak mampu beradaptasi. Disrupsi bisnis telah melemparkan perusahaan “lama” yang gagal bertransformasi ke luar gelanggang.  Dan melahirkan ekosistem bisnis baru, berbasis model bisnis baru, yang lebih relevan hari ini.

Izinkan sedikit melihat fenomena di Indonesia belakangan ini. Keseimbangan praktik politik gaya lama mulai terganggu. Pandangan, gagasan, maupun perspektif kaum elitis terhadap praktik demokrasi  pun terdisrupsi.

Perkembangan ini, saya amati, berjalan kian intensif, dengan “fasilitator” kemajuan teknologi sosial media, yang telah melahirkan keahlian komunikasi publik baru, yang jauh lebih efektif. Bahkan lebih terstruktur, sistematis dan masif.

Jangan -jangan, cara pandang terhadap praktik demokrasi lama pun akan menjadi “usang dan tidak relevan”, karena ekosistem demokrasi yang terdisrupsi. Teori politik lama, sudah tidak pas lagi, bahkan tidak fit lagi, sebagaimana halnya Nokia yang mati karena terlambat mengantisipasi Blackberry. Bahkan, Blackberry pun tak berumur lama karena ganasnya disrupsi.

Tak ubahnya dengan disrupsi bisnis dan ekonomi, jangan-jangan disrupsi politik pun akan lebih sulit menangkalnya dengan cara-cara biasa. Bisa jadi, perlu ditangkal dengan cara-cara yang “disruptive” pula. Bukan dengan cara kekuasaan tradisional, atau langkah politik seperti sedia kala.

Maka, jangan-jangan pula, apa yang kita saksikan hari-hari ini dalam kehidupan politik kita, adalah bagian dari cara-cara yang tidak biasa itu. Untuk menemukan, bahkan membangun, model politik yang baru di Indonesia.

Nah, bagaimana menurut Anda?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya