SOLOPOS.COM - Pedagang menunggu pembeli di salah satu kios sembako di Pasar Wedi Klaten, Jumat (23/2/2024). (Solopos/Taufiq Sidik Prakoso)

Pemerintah Kabupaten Karanganyar bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Kabupaten Karanganyar menggelar program unggulan Kenyang Tanpa Nasi 2024. Program ini untuk mengendalikan inflasi yang dipicu tingkat konsumsi dan harga beras yang tinggi belakangan ini.

Dalam perspektif TPID Kabupaten Karanganyar, program unggulan Kenyang Tanpa Nasi 2024 dilandasi kenyataan banyak faktor yang memengaruhi angka inflasi suatu daerah, antara lain, harga bahan pokok seperti beras, cabai, dan bawang putih yang bertahan tinggi.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Harga barang-barang kebutuhan pokok tersebut naik turun, padahal masyarakat makan sehari biasa tiga kali. Program Kenyang Tanpa Nasi dirumuskan dan diluncurkan agar tingkat konsumsi beras masyarakat di Kabupaten Karanganyar menurun dan kelebihan produksi di Kabupaten Karanganyar dapat dijual ke daerah lain.

Program Kenyang Tanpa Nasi dirumuskan dan diluncurkan untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan dan harga beras belakangan ini. Saat ini harga beras mencapai Rp15.000 per kilogram hingga Rp17.000 per kilogram. Harga tersebut bisa saja terus naik atau kembali ke harga normal ketika produksi sudah melebihi kebutuhan.

Program serupa telah diluncurkan di Kabupaten Klaten beberapa waktu lalu dengan tujuan utama mengampanyekan diversifikasi pangan pokok selain beras. Di kabupaten/kota lain di Indonesia program ini juga telah dikenal, dirumuskan, dan diluncurkan.

Sejauh ini program-program yang berbasis diversifikasi pangan lokal nonberas itu belum menunjukkan pengaruh signifikan untuk mengurangi konsumsi beras dan membangun ketahanan pangan lokal.

Persoalan mendasarnya adalah program ini jamak hanya berhenti pada program, tidak berhasil mengakar dan memanifestasi menjadi budaya. Butuh desain baru sosialisasi agar program ini terealisasi menjadi basis ketahanan pangan lokal.

Pemerintah daerah juga harus jeli memetakan lahan-lahan produktif untuk mendukung program tersebut. Diversifikasi pangan lokal nonberas ditentukan ketersediaan lahan yang memadai sehingga program tersebut bisa berkelanjutan.

Produksi pangan nonberas harus mampu mencukupi kebutuhan warga sehingga benar-benar bisa menjadi alternatif bagi masyarakat. Perlu dipikirkan juga tentang sumber daya manusia yang akan mengelola.

Penganekaragaman pangan lokal nonberas tidak cukup hanya dengan membuat atau memproduksi alternatif makanan pokok. Diversifikasi juga harus memikirkan cara memasyarakatkan atau membiasakan masyarakat mengonsumsi sehingga bahan makanan pokok tidak melulu beras.

Alternatif makanan pokok selain beras juga harus mempertimbangkan nilai gizi maupun bentuk olahannya. Mengubah kebiasaan masyarakat mengonsumsi beras atau nasi menjadi nonberas atau bukan nasi bukan perkara mudah.

Harus dipastikan bahan makanan pokok alternatif ini mudah didapatkan, rasanya nikmat, dan harganya relatif murah. Perlu ada gerakan masif dan kontinu untuk membudayakan konsumsi makanan nonberas yang melibatkan masyarakat. Biasanya program semacam ini terhenti karena sebatas program yang tidak berkelanjutan.

Biasanya kampanye diversifikasi pangan hanya dalam bentuk beragam lomba dan tidak ada tindak lanjut. Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait serta masyarakat harus bergerak bersama sehingga mendapatkan pengganti makanan pokok beras serta mewujudkan ketahanan pangan lokal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya