SOLOPOS.COM - Sri Haldoko (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dongeng The Emperor’s New Clothes atau Baju Baru Sang Kaisar yang digubah Hans Christian Andersen pada abada ke-18 menceritakan komplotan penenun palsu yang membual mampu membuat baju ajaib untuk kaisar yang suka berdandan.

Baju tersebut diklaim tidak akan mampu dilihat oleh orang-orang bodoh atau pengkhianat kerajaan. Dengan demikian dapat berfungsi sebagai  indikator loyalitas seseorang terhadap kaisar. Sang Kaisar ternyata tidak bisa melihat baju yang memang tidak pernah ada itu.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Takut dianggap bodoh, Sang Kaisar dan warga istana menarasikannya sebagai baju yang sangat bagus dan megah. Dari sanalah kebohongan diviralkan. Semua seperti buta melihat ketelanjangan Sang Kaisar sampai  kemudian muncul seorang anak berteriak bahwa kaisar telanjang saat berparade di jalanan kota.

Kamus Longman menjelaskan frasa ”Emperor’s New Clothes” digunakan untuk menyebut orang yang takut mengoreksi sesuatu yang salah atau fiktif karena semua orang mengatakan hal tersebut adalah benar atau nyata.

Frasa tersebut mempunyai similaritas dengan istilah post-truth atau pasca-kebenaran, yaitu suatu keadaan ketika fakta objektif kurang berpengaruh  dalam membentuk opini publik daripada pertimbangan emosional dan keyakinan personal.

Steve Tesics memunculkan istilah post-truth pada 1992, tapi gambaran post-truth dapat dilihat dalam dongeng tersebut. Bahwa amplifikasi informasi yang terus-menerus menjadikan orang tidak mampu melihat keadaan Sang Kaisar yang sebenarnya.

Semua secara berulang menarasikan yang hal yang sama, baju Sang Kaisar sangat indah dan megah! Pertimbangan emosi, keyakinan, atau keberpihakan personal lebih dominan dibanding fakta dalam proses penyimpulan masalah.

Kemunculan post-truth ditandai misinformation dan disinformation atau fake news/berita palsu. Calon pemimpin yang gagal  beradu gagasan adalah pasar bagi para penenun ”baju megah”.

Mereka memantik turbulensi yang melahirkan kaisar atau calon kaisar pesolek (pseudo statesmen) yang lebih suka tampilan permukaan dan abai dengan substansi kekuasaan yang diemban.

Ini juga memicu menjamurnya para pejabat dan intelektual ”asal kaisar senang”. Dampak yang paling kentara yaitu bersemainya hyper political imaging atau pencitraan. Sebagian  membeli gelar dari para penenun agar dicitrakan mempunyai baju kecendekiawanan.

Baju menjadi makin beragam seiring makin kreatifnya para penenun. Ada yang memakai baju merakyat, baju polos bermanik-manik kejujuran, atau baju kesalehan. Musibah terbesar adalah ketika mereka sendiri tidak lagi mampu mengenali berpakaian atau telanjang karena semuanya adalah fiktif.

Pemimpin yang lahir dari manipulasi memunculkan kediktatoran dan antikritik. Ketika masyarakat semakin menyimpang dari kebenaran, semakin kita menumbuhkan pemerintahan totaliter.

Kita bisa melihat analogi dengan politik ketika pemimpin atau calon pemimpin menciptakan citra atau narasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Pemilih atau masyarakat menjadi seperti “rakyat” dalam dongeng tersebut.

Mereka diharapkan memercayai atau mendukung sesuatu tanpa mempertimbangkan fakta atau kebenaran. Pada tingkat yang lebih luas, dua situasi ini mencerminkan ketidakpercayaan terhadap otoritas atau kecenderungan memercayai yang terlihat atau didengar tanpa pertimbangan kritis.

Ini menggarisbawahi pentingnya masyarakat waspada terhadap manipulasi informasi dan memiliki kemampuan menilai kebenaran di balik narasi politik atau media.

Dongeng Baju Baru Sang Kaisar dan pemilihan umum yang baru berlalu mewakili konteks yang berbeda, tetapi kita dapat melihat keparalelan di antara keduanya dalam konteks ketidakpercayaan, manipulasi, dan kebijakan politik yang memanfaatkan ketidaktahuan atau ketidakwaspadaan masyarakat.

Di sinilah pentingnya nalar kritis. Bagaimana membentuk nalar kritis? Karakter anak kritis dalam dongeng tersebut mengekspose kebohongan dan kepalsuan orang dewasa di sekitarnya. Dia adalah potret anak dengan tingkat nalar kritis mumpuni.

Dia lahir dari ekosistem yang mengantarkan pada pencapaian literasi yang tinggi. Bernalar kritis lahir dari literasi yang tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi adalah kemampuan menulis dan membaca, atau pengetahuan serta keterampilan maupun kemampuan seseorang dalam mengolah informasi serta pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Literasi bukan sekadar kegiatan membaca dan berhitung, tetapi juga kemampuan mencerna informasi untuk peningkatan kadar kritisisme dan kadar kualitas hidup pada masa depan. Nalar yang kritis dan literasi yang tinggi adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin terpisahkan.

Keduanya vaksin bagi pandemi (calon) pemimpin pesolek yang ribut dengan pencitraan. Menurut hasil survei Program for International Student Assessment atau PISA pada 2022, pelajar Indonesia memperoleh skor kemampuan literasi 359 poin, jauh di bawah skor rata-rata negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development yang sebesar 472—480 poin.

Itu artinya dengan tingkat literasi kita yang rendah maka rentan terhadap berita palsu dan hoaks. Cara terbaik menciptakan ekosistem sehat dalam memerangi pandemi tersebut adalah melalui pendidikan. Para pelajar diberdayakan bernalar kritis dan dijamin kemerdekaannya untuk berbeda pendapat.

Menyemai nalar kritis di sekolah-sekolah dan kampus-kampus adalah keharusan. Pengajar harus melibatkan para pelajar dalam diskusi dan percakapan kelas yang memberi para pelajar kesempatan memeriksa dunia di sekitar mereka secara kritis.

Tanamkan pada para pelajar bahwa tidak ada pertanyaan yang salah. Dengan mengambil studi kasus Baju Baru Sang Kaisar, para pelajar dibekali kemampuan nalar kritis agar dapat memperoleh informasi yang akurat dan terpercaya dan terhindar dari salah mengambil keputusan dan kesimpulan.

Para pengajar harus mendorong para pelajar menyumbangkan sudut pandang dan gagasan mereka atas suatu isu dengan menyediakan ruang yang mendukung. Ini akan mengubah mereka menjadi pembelajar aktif dan menghargai sudut pandang orang lain.



Memaksakan pendapat yang seragam akan membunuh nalar kritis dan berujung pada kurang terjaganya moral berpikir masyarakat. Melalui pendekatan holistik yang mencakup aspek-aspek di atas, para pengajar dapat membantu menciptakan pelajar yang tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga kemampuan berpikir kritis yang kuat seperti anak dalam dongeng Baju Baru Sang Kaisar.

Sekolah-sekolah seharusnya lebih sering mengundang tamu dari kalangan pemikir atau penulis, sesering mereka mengundang biduan pada acara akhir tahun pelajaran. Dengan begitu, para pelajar terlatih berdiskusi atas suatu isu dan berperan menawarkan solusi dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Bersikaplah kritis. Pertanyakan setiap informasi. Bernalar kritis adalah satu-satunya jalan menghadapi penyalahgunaan dan pemanfaatan informasi yang akan menggiring negeri kita menjadi negeri Sang Kaisar atau dipimpin Sang Kaisar.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Maret 2024. Penulis adalah guru Bahasa dan Sastra Inggris di SMAN 2 Brebes, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya