SOLOPOS.COM - Dosen FSRD UNS Solo Andi Setiawan mengatakan vandalisme butuh penanganan serius dari pemerintah ( Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Hari  Buruh Internasional 1 Mei 2023 diramaikan dengan hadirnya wacana di tengah publik dari kalangan dosen yang menyatakan bahwa diri mereka adalah buruh. Pernyataan tersebut diikuti ajakan agar kalangan dosen berserikat.

Tentu saja pernyatan tersebut menarik untuk dibahas mengingat dalam masyarakat Indonesia secara umum dosen dicitrakan bukan sebagai buruh. Mereka adalah pekerja kelas atas yang menggunakan kecerdasann, bukan buruh yang sering dicitrakan menggunakan tenaga kasar.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Benarkah dosen bukan buruh dan dengan demikian tidak selayaknya berserikat? Tulisan ini berusaha menjelakan dua hal tersebut, pertama, bahwa dosen adalah buruh, kedua, dan oleh sebab itu, perlu berserikat.

Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia mengikuti logika kapitalisme yang memprioritaskan kepentingan pasar atau market driven. Dalam konteks ini, pengelolaan perguruan tinggi bertujuan menghasilkan output yang dapat memenuhi permintaan pasar, yaitu lulusan dan inovasi.

Lulusan maupun inovasi harus diproduksi sesuai kebutuhan pasar. Lulusan perguruan tinggi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan  tenaga kerja industri, sedangkan inovasi diarahkan agar dapat diadopsi oleh industri.

Dalam situasi ini, segala visi keilmuan dan agenda besar universitas sebagai produsen pengetahuan terpinggirkan, digantikan oleh kebutuhan pemenuhan pasar. Akhirnya pada titik itulah kampus menjadi tak ubahnya pabrik.

Jajaran struktural pimpinan universitas tak ubahnya manajer bisnis yang bekerja secara hierarkis dari atas ke bawah. Rantai perintah terpusat, tunduk kepada kebijakan yang diambil pimpinan universitas. Lantas dalam pabrik tersebut, siapa yang menjadi buruhnya? Tidak lain adalah dosen, tenaga kependidikan, dan pekerja kampus lainnnya.

Buruh-buruh tersebut bekerja untuk memproduksi lulusan dan temuan inovasi untuk dijual ke pasar. Begitulah pada akhirnya dosen teralienasi dari sosoknya sebagai individu academia yang mempunyai agensi dan berubah menjadi sekumpulan komponen produksi.

Maka dari situlah kita menemukan identitas dosen sebagai buruh. Sedangkan jika kita melihat dari aspek legal, definisi buruh dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh juncto Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan siapa pun yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, maka ia adalah seorang buruh.

Dari pengertian tersebut dosen jelas masuk dalam kategori buruh karena mereka bekerja menjual pikiran dan jasa dan diberi imbalan atas kerja-kerja tersebut. Menjadi buruh tentu bukan status yang hina dan dosen tidak perlu malu apalagi marah saat diidentifikasikan sebagai buruh.

Sama seperti pekerjaan dan profesi yang lain, buruh punya kontribusi dalam membangun negara. Lantas apa konsekuensi-konsekuensi terhadap kondisi kerja dosen saat relasi hubungan kerja di universitas menjadi semakin industrial?

Sebelum membahas hal tersebut, kita perlu memahami bahwa dosen di Indonesia bukanlah kelompok yang  homogen. Dosen sangat bervariasi  dilihat dari, misalnya, status kepegawaian, di institusi apa dia mengajar,  berapa lama dia sudah mengajar, dan lain sebagainaya.

Faktor-faktor tersebut sangat memengaruhi bagaimana kondisi kerja (fasilitas, dukungan institusi, dan lain-lain)  dan upah yang diterima masing-masing dosen. Bahwa ada dosen yang merasa sudah cukup sejahtera bukan berarti itu merepresentasikan kondisi kerja dosen lainnya.

Secara umum terdapat beberapa hal yang menjadi gambaran umum beban kerja dosen yang memberatkan. Pertama, dampak dari kapitalisme pendidikan, universitas akhirnya berusaha memperbesar jumlah mahasiswa yang diterima. Student body yang besar ini merupakan pendapatan utama kampus hari ini.

Dampaknya beban mengajar dosen menjadi berlipat ganda, baik itu jumlah jam mengajar maupun jumlah mahasiswa dalam satu kelas. Kedua, dosen juga dibebani pekerjaan-pekerjaan administratif  yang berkaitan dengan aktivitas tridarma perguruan tinggi (mengajar, penelitian, pengabdian kepada mayarakat) dan pelaporan kinerja personal  yang semuanya itu cukup kompleks dan memakan waktu.

Kondisi tersebut masih ditambah dengan, misalnya, sulitnya dosen mendapatkan sumber-sumber pendanaan riset yang layak, padahal dosen wajib melakukan penelitian setiap semester jika status kerjanya ingin tetap aman.  Akhirnya banyak dosen melakukan penelitian berdana mandiri yang tentu saja skalanya sangat terbatas.

Ketika mendapatkan hibah dana riset, skema dan jadwal pelaksanaannya sangat singkat. Dampaknya riset dosen tidak bisa maksimal  dan mayoritas waktu dihabiskan untuk melakukan administrasi pelaporan hasil. Riset-riset tersebut juga didesain untuk lebih memprioritaskan publikasi dibanding bagaimana menyelesaikan problem nyata yang dibidik.

Masalah lain yang kerap menimpa dosen adalah absennya jaminan kebebasan akademik. Kebebasan akademik merupakan konsep ketika akademisi berhak melakukan aktivitas riset, pembelajaran, dan penyampaian gagasan-gasasan hasil riset tanpa rasa takut mendapatkan ancaman, intimidasi, tekanan, pemenjaraan, atau bahkan penghilangan.

Disparitas

Yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini kita sering menemui dosen yang akhirnya dikriminalisasi karena gagasannya, baik oleh pimpinan universitas maupun pihak-pihak lain yang merasa tersinggung. Situasi ini menambah fakta betapa rentan posisi dosen, bahkan saat bekerja sesuai tanggung jawabnya di kampus.

Demikianlah, setiap dosen dituntut berkinerja unggul dengan tolok ukur yang sama demi mengejar ketercapaian angka-angka kinerja universitas, namun dosen tidak pernah diajak berdiskusi untuk menentukan parameter penilaian dan beban kerja tersebut.

Dosen semakin dituntut meningkatkan kinerja dan melaporkan setiap hasil kerja  dengan dalih akuntabilitas agar upah mereka dibayarkan. Semua regulasi tersebut diputuskan secara sepihak oleh penentu kebijakan pendidikan tinggi.

Hal tersebut semakin tidak adil karena kondisi di masing-masing institusi tidaklah sama. Kondisi di perguruan tinggi negeri tentu saja berbeda antara yang berstatus satuan kerja, badan layanan umum, dan perguruan tinggi negeri berbadan hukum, apalagi membandingkan dengan perguruan tinggi swasta.

Kondisi paling terlihat disparitasnya tentu saja menyangkut upah yang diterima. Jadi jangan membayangkan kesejahteraan semua dosen itu sudah layak. Perbincangan tentang beban kerja dan kesejahteraan dosen tersebut sudah jamak dilakukan dalam keseharian para dosen.

Saling berbagi keluhan selalu muncul saat para dosen bertemu. Sebagian akhirnya hanya berakhir menjadi bahan candaan karena tidak tahu langkah apa yang harus dilakukan. Lantas apa yang bisa dilakukan? Tentu saja harus ada upaya mengubah situasi tersebut. Keluhan harus diubah menjadi tuntutan.



Penentu kebijakan di perguruan tinggi tidak akan berbaik hati memberikan ”hadiah” perbaikan kondisi kerja. Sudah bukan waktunya keluhan tersebut dibalas dengan kata-kata klise semacam: mendidik itu pengabdian, kampus ini adalah keluargamu yang harus kamu rawat, dan lain sebagainya.

Hubungan kerja dosen dan lembaga perguruan tinggi adalah hubungan profesional, bukan hubungan keluarga. Keluhan atas kondisi kerja harus diselesaikan secara profesional pula. Perubahan harus diperjuangkan, bukan menunggu belas kasihan.

Jika tuntutan dilakukan secara sporadis dan terpisah, akan dengan mudah dipatahkan. Tindakan mulai dari pemberian surat peringatan sampai ancaman pemecatan adalah hal lazim yang diterima dosen jika berani menuntuk perubahan kondisi kerja.

Oleh karena itu, para dosen harus mengambil jalan lain, yaitu berserikat. Serikat merupakan bentuk perjuangan yang lazim digunakan oleh kelas pekerja. Dengan berserikat buruh mempunyai posisi tawar yang kuat di hadapan pengusaha.  Apakah dosen boleh berserikat? Tentu saja boleh dan legal.

Pasal 28 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara  untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya. Jadi kehendak dosen untuk berserikat tidak bisa dihalang-halangi karena hal tersebut dijamin oleh konstitusi negara.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa serikat perlu dan penting untuk dosen? Pertama, serikat merupakan pilihan paling strategis untuk berjuang menuntut perbaikan kondisi kerja secara kolektif. Berbagai agenda, mulai dari kampanye, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, advokasi, hingga mogok kerja bisa dilakukan dengan lebih terarah dengan berserikat.

Kedua, serikat juga menjadi wadah untuk saling bersolidaritas antardosen lintas institusi. Dosen akan saling memahami kondisi kerja dan kesejahteraan dosen lain. Dari situ akan muncul semangat kolektif untuk berjuang bersama-sama.

Agenda tuntutan dan strategi bisa didiskusikan bersama, termasuk advokasi legal yang dilakukan jika dosen mengalami sengketa kerja dengan manajemen kampus. Ketiga, serikat dosen juga bisa memetakan mana masalah atau konflik di level universitas dan mana yang merupakan masalah bersama di level nasional.

Pilihan strategi dan taktik dalam menghadapi dua masalah tersebut akan lebih maksimal jika dilakukan melalui serikat. Bagaimana memulai membangun serikat? Pilihan strategi pembentukan serikat bisa beragam.

Serikat bisa dibangun di level masing-masing kampus, kemudian bergabung menjadi federasi di tingkat kota dan menjadi konfederasi di tingkat nasional atau membangun dulu serikat di level nasional dan kemudian turun hingga ke bawah.

Satu hal lagi yang penting untuk dilakukan, serikat perlu memperluas keanggotaan mencakup para tenaga kependidikan dan pekerja kampus lainnya. Sama dengan dosen, kondisi kerja dan kesejahteraan mereka juga perlu diperjuangkan. Persatuan dosen dan pekerja kampus lainnya dalam sebuah serikat akan semakin menguatkan posisi tawar mereka.

Pada akhirnya, sebagaimana pekerjaan dan profesi lainnya, dosen dan pekerja kampus juga membutuhkan jaminan keamanan dan kesejahteraan dalam bekerja. Sudah saatnya dosen berserikat. Upaya dalam bentuk apa pun untuk membangun serikat perlu mendapat dukungan. Kepada seluruh dosen, bergabunglah saat ajakan berserikat itu datang!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Mei 2023. Penulis adalah dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya