SOLOPOS.COM - R. Bambang Aris Sasangka (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Belakangan ini suara untuk “membubarkan” pemerintahan kembali terdengar. Ada sekelompok orang menyuarakan pemakzulan presiden. Kemudian menyusul seruan agar para menteri kabinet mengundurkan diri dengan alasan “tanggung jawab nurani.”

Ada yang bicara soal masa lalu, memberi ilustrasi betapa dulu para menteri kabinet ramai-ramai mengundurkan diri pada masa Presiden Soeharto yang kemudian menjadi salah satu pemicu lengsernya penguasa Orde Baru itu.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Buat saya lucu melihat orang pada masa sekarang ini masih berbicara soal moralitas dan hati nurani terkait politik. Bukan berarti politik itu memang harus tanpa moral dan tanpa nurani. Atau menganggap upaya untuk membangun politik yang bermoral dan bernurani adalah sesuatu yang ngayawara.

Kita harus tetap berjuang mewujudkan moralitas dan nurani itu dalam perpolitikan. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa dunia politik Indonesia adalah dunia yang sangat pragmatis. Tidak ada garis ideologis yang tegas di dalam partai-partai, yang membuat mereka bakalan stand the ground atau mempertahankan prinsip habis-habisan.

Pragmatisme politik Indonesia ini terlihat dari betapa mudahnya orang menyeberang ke sana kemari di antara partai politik. Biasanya yang begini dulu disebut “loncat pagar.” Tapi, toh apa benar pagar itu masih ada? Yang ada mungkin hanya patok atau papan nama yang menyebut “partai ini” atau “partai itu.”

Pagar ideologisnya tak ada sama sekali. Politikus berseberangan karena masalah kepentingan dan keuntungan dan berada di meja yang sama juga karena masalah kepentingan dan keuntungan.

Hal ini seperti disinggung Johnny Lyons, pengajar Department of Political Science, Trinity College Dublin, Irlandia, dalam tulisannya di jurnal European Journal of Phylosophy  dengan judul Morality, Politics, and Contingency (2022).

Dia mengutip tulisan filsuf Hannah Arendt, Truth and Politics, yang antara lain menyebut no one has ever doubted that truth and politics are on rather bad terms with each other, and no one, as far as I know, has ever counted truthfulness among the political virtues.

Lies have always been regarded as necessary and justifiable tools not only of the politician’s and demagogue’s but also of the statesman’s trade. Why is this so? And what does it mean to for the nature and dignity of the political realm, on the one side, and for the nature of truth and truthfulness, on the other? Is it the very essence of truth to be impotent and of the very essence of power to be deceitful?

Menurut Arendt, tiada yang meragukan bahwa kebenaran dan politik biasanya saling bertolak belakang. Dan tidak seorang pun sejauh saya tahu yang menganggap ada kebenaran [kejujuran] di dalam ide-ide politik.

Kebohongan selalu dianggap berperan penting dan menjadi alat yang bisa dibenarkan, tak hanya bagi kaum politikus namun juga bagi para pejabat negara. Kenapa begitu? Dan apa artinya bagi sifat dan martabat alam perpolitikan di satu sisi dan bagi kebenaran dan kejujuran di sisi lain? Haruskah kebenaran selalu lemah dan kekuasaan selalu begitu tak jujur?]

Sayangnya pertanyaan ini sulit – atau mungkin justru mudah – dijawab di Indonesia. Kita melihat dengan begitu nyata akrobat-akrobat dan drama-drama politik dimainkan dari waktu ke waktu, apalagi pada masa menjelang pemilu saat ini.

Sulit bagi kita untuk menentukan siapa yang berhak bicara soal kebenaran. Makin susah lagi menentukan apakah “kebenaran itu memang benar” ataukah kebenaran itu adalah tafsir bagi sekelompok orang atau golongan saja sesuai kepentingan mereka.

Menurut saya, gerakan apa pun yang dilontarkan dengan mengusung “hati nurani” dan “moralitas” saat  ini cenderung menjadi bagian dari drama dan akrobat politik. Jangan salah, saya bukan tidak percaya bahwa masih ada orang-orang jujur dan cendekiawan berhati dan pikiran bersih yang bisa dipercaya di negeri ini.

Jika melihat pernyataan-pernyataan soal pemakzulan dan seruan soal pengunduran diri para anggota kabinet, ini justru bukan gerakan moral dan nurani. Ini adalah gerakan bermotif politik yang bertujuan memicu chaos atau kekacauan, memicu kebingungan, dan menyulut kerusuhan.

Dalam pandangan saya, kita tidak boleh mengabaikan konsekuensi dari seruan-seruan itu. Seruan pemakzulan presiden dan seruan agar para anggota kabinet mundur akan memicu spekulasi-spekulasi soal pelemahan pemerintah.

Spekulasi ini bisa memicu kekhawatiran banyak pihak yang berkepentingan tentang kestabilan. Yang paling riil berkepentingan soal ini tentu sektor bisnis dan keuangan. Dunia bisnis terus-menerus menghadapi tantangan situasi global yang sangat dinamis.

Meski ada keyakinan bahwa perekonomian masih punya ruang untuk berkembang, perekonomian sangat sensitif terhadap isu kestabilan. Pelemahan pemerintahan adalah hal terakhir yang diharapkan terjadi oleh kalangan bisnis.

Jangan lupa, dunia bisnis ini punya mata rantai dengan lapisan penyokongnya yang sangat luas seperti para mitra pemasok dan pekerja. Karena itu, kita mesti hati-hati menyikapi seruan-seruan yang mengarah pada pelemahan pemerintahan itu.

Jika alasannya adalah kekhawatiran bahwa pemerintahan ini bakal dimanfaatkan untuk memengaruhi hasil pemilu, masih ada jalur-jalur legal yang bisa ditempuh. Laporkan, perkarakan, atau viralkan. Inilah yang layak dilakukan jika ide dasarnya adalah memelihara moralitas.

Namun, jika misi di balik semua seruan itu adalah memicu ketidakpercayaan dan kekacauan, yang menanggung konsekuensi terbesarnya adalah rakyat. Para penyeru dan aktor drama hanya akan menangguk keuntungan.

Rakyat yang terdampak oleh guncangan stabilitas yang memengaruhi kepercayaan di sektor ekonomi dan kekacauan yang mungkin terjadi akan kembali menderita. Hati-hati…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Januari 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya