SOLOPOS.COM - Petugas KPU membawa logistik surat suara pemilu saat simulasi penyortiran, pelipatan, dan pengepakan logistik di Kantor KPU, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7/2023). Simulasi yang digelar oleh KPU pusat itu untuk persiapan Pemilu 2024 agar berjalan dengan baik di seluruh tahapan. (Antara/Yulius Satria Wijaya)

Suhu politik semakin panas menjelang masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pemilu 2024. Wacana yang dikembangkan elite politik hanya berkutat pada dukung-mendukung kandidat presiden, perubahan peta politik, elektabilitas kandidat, dan calon wakil presiden yang akan diusung.

Partai Amanat Nasional dan Partai Golongan Karya yang telah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu bersama Partai Persatuan Pembangunan menyeberang ke koalisi Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Kebangkitan Bangsa untuk mendukung kandidat presidenPrabowo Subianto.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Tokoh di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Budiman Sujatmiko mendukung Prabowo sebagai calon presiden. Sejauh ini semakin banyak ”drama politik” yang ditampilkan para elite politik kepada publik.

Sayangnya proses pencarian kandidat pemimpin Indonesia itu hanya menegaskan bahwa partai politik semakin jauh dari kepentingan publik. Drama-drama yang dimunculkan tetap miskin wacana yang bertujuan mencerdaskan rakyat menuju Pemilu 2024.

Partai politik dalam negara yang menganut sistem demokrasi adalah lembaga yang memiliki peranan sangat penting. Manuver-manuver politik yang terjadi belakangan ini menunjukkan partai politik hanya mengerahkan daya dan upaya untuk membangun koalisi antarpartai dengan simpul utama kandidat presiden.

Kuasa yang diemban partai politik itu juga hanya mengerucut pada pemilihan kandidat wakil presiden. Gejala di akar rumput juga menunjukkan hal yang belum menggemberikan dalam konteks mengonsolidasikan demokrasi di negeri ini.

Hal itu terlihat dalam survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting yang menunjukkan ada penguatan dukungan akar rumput terhadap otoritarianisme. Fenomena ini menjadi gejala yang berlawanan dengan keniscayaan mengonsolidasikan demokrasi Indonesia yang belum juga mencapai tahap demokrasi substansial, melainkan hanya demokrasi prosedural.

Melihat berbagai drama yang ditunjukkan itu, tampaknya politik di Indonesia belum beranjak dari kredo “siapa mendapat apa, siapa mendapat berapa, dan kapan mendapatkannya”. Idealnya elite-elite politik yang merupakan personifikasi partai politik yang tengah membangun koalisi untuk menuju suksesi kepemimpinan itu memikirkan gagasan agar kekuasaan atau potensi kekuasaan yang akan mereka pegang bisa bermanfaat dan melayani kepentingan rakyat.

Kini masih banyak permasalahan dalam konteks multidimensi yang perlu dipecahkan oleh para elite pemegang kuasa. Seharusnya partai politik dan elite partai politik saat ini secara bersungguh-sungguh merumuskan gagasan untuk membersihkan negara ini dari korupsi yang kian masif, korupsi yang kian menyengsarakan rakyat, dan berujung kesenjangan sosial.

Sampai saat ini masih minim gagasan dari para kandidat presiden dan partai politik mendukung yang berbicara mengenai permasalahan publik dan solusi mengatasinya. Gagasan cemerlang itu yang akan menarik simpati publik dan pada ujungnya berdampak pada peningkatan elektabilitas.

Tampaknya wacana yang berbasis kepentingan publik memang bukan menjadi prioritas para elite partai politik maupun para kandidat presiden. Saat ini yang muncul ke publik hanya kehendak untuk menguasai rakyat, bukan kehendak untuk melayani rakyat. Politik masih sekadar alat berburu kuasa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya