SOLOPOS.COM - Nurul Yaqin (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dewasa ini konten kreator menjadi bagian penting perkembangan ekonomi digital di negeri ini. Data Youtube mengungkapkan pada Desember 2022 lebih dari 600.000 kreator meraup pendapatan dan lebih dari 6.000 kanal di Indonesia mendapatkan uang dari produk monetisasi alternatif.

Lebih dari 400.000 kreator dan partner mempekerjakan orang lain untuk kanal Youtube mereka. Begitulah algoritma media sosial menjelma menjadi dunia baru dan berhasil mencuri perhatian banyak pihak, tak terkecuali pemangku pendidikan alias guru.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Saat ini keterlibatan guru di jagat media sosial tidak dapat dipandang sebelah mata. Mereka bukan lagi penikmat, tetapi telah menjadi pencipta (creator). Kondisi ini selaras dengan ungkapan Marc Jacobs bahwa semua orang ingin menjadi selebritas, itulah sebabnya kita memiliki fenomena media sosial, tempat tidak ada yang ingin menjadi pribadi. Kita semua ingin “dilihat.

Konten guru yang ditampilkan di media sosial sangat beragam, mulai dari materi ajar, metode pembelajaran, ice-breaking, keseruan bersama murid, tarian, nyanyian, bahkan banyak pula yang menampilkan kelebihan paras, yakni kecantikan dan ketampanan.

Ini indikasi bawah guru saat ini kreatif dan inovatif sehingga mampu beradaptasi dengan laju perkembangan zaman. Sudah seharusnya seorang guru memiliki sikap adaptif di tengah karakter murid yang heterogen, apalagi pada zaman digital tuntutan guru menyajikan pembelajaran yang menyenangkan adalah keniscayaan.

Keterlibatan guru menjadi kreator konten menjadi salah satu solusi dari pembelajaran yang selama ini terkesan kaku dan teacher sentries. Dengan tampilan di media sosial, materi ajar dapat disajikan lebih unik dan beragam, pembelajaran dapat didesain dengan asyik dan menyenangkan.

Konten yang ditayangkan di media sosial dapat meningkatkan kompetensi guru dan mendobrak pembelajaran. Guru dipaksa memunculkan ide-ide baru untuk membuat video yang kreatif, inovatif, dan menarik.

Butuh kreativitas tinggi agar konten yang disajikan untuk mencerdaskan anak didik seperti metode pembelajaran, materi ajar, ice-breaking, game edukatif, dan lain-lain mencapai tujuan. Guru kreator konten dapat menjadi alternatif pembelajaran di tengah karakter peserta didik zaman digital yang cenderung cepat bosan ketika hanya dicekoki dengan pembelajaran konvensional.

Peserta didik dapat menerima informasi dan pengetahuan dengan efektif dan tepat sasaran. Kira-kira begitu kondisi idealnya. Apakah konten yang disajikan dengan apik di media sosial selaras dengan kenyataan? Apakah praktik sebagus ketika di depan layar?

Kondisi seperti ini penting dikaji. Desain media sosial adalah ruang penuh pengondisian dan persiapan agar terlihat lebih menawan. Segala bentuk kemahiran editing dikerahkan untuk memperoleh hasil yang maksimal.

Salah satu contoh, ketika seorang guru menampilkan video pembelajaran yang seru, kemudian viral, tentu ini pencapaian yang membanggakan. Apakah video itu sesuai kenyataan atau memang sudah dikondisikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan konten menakjubkan yang mampu menarik hati para warganet?

Ketika seorang guru akan melakukan supervisi pembelajaran, tentu segala keperluan akan dipersiapkan secara matang mulai dari materi, metode, alat peraga dan lain-lain. Intinya, kelas dikondisikan dengan baik agar tercapai hasil pembelajaran maksimal.

Apakah hal-hal tersebut tetap menjadi pertimbangan manakala tidak ada supervisi? Begitu juga dengan konten yang disajikan oleh guru. Ketika guru menyajikan video pembelajaran yang unik, tetapi pada kenyataaan pembelajaran di kelas biasa saja atau bahkan kurang menarik maka ini menjadi masalah.

Kondisi ini dalam konteks interaksi sosial menurut Erving Goffman disebut dramaturgi, yaitu desain adegan manipulatif yang ditampilkan untuk memikat hati banyak penonton. Dalam konteks ini, konten guru di media sosial berbanding balik dengan dunia nyata.

Maksudnya, konten yang disajikan guru sangat menarik di media sosial, tetapi dalam praktik nyata pendidikan bertolak belakang, maka ini terkesan seperti adegan drama yang dipersipkan dan dikondisikan sedemikian rupa. Mengapa konten guru bisa terjebak pada dramaturgi?

Kondisi ini setidaknya dilatarbelakangi beberapa godaan. Pertama, star syndorme. Fenomena star syndrome telah mendarah daging dalam arus kehidupan manusia masa kini. Media sosial yang tidak hanya menjadikan manusia sebagai penikmat—juga pencipta—telah memantik semua insan untuk menjadi tenar dengan jalan pintas.

Guru berlomba-lomba menunjukkan kreativitas dengan menampilkan konten yang bagus meskipun tidak selaras dengan yang diaplikasikan dalam pembelajaran keseharian. Kedua, privilese. Keberhasilan sebagian guru menjadi konten kreator juga memicu hasrat guru lain untuk melakukan hal serupa.

Banyak guru konten kreator yang berhasil diundang ke stasiun televisi dan acara-acara besar seperti peringatan Hari Guru Nasional. Privilese seperti ini memantik hasrat para guru untuk menjadi kreator konten.

Privilese lain muncul dari para guru, orang tua murid, dan bahkan murid itu sendiri. Dengan privilese itu guru merasa lebih percaya diri dan memiliki citra diri yang baik di mata orang banyak.

Ketiga, uang. Ketika guru konten kreator telah diundang ke berbagai event otomatis uang dengan sendirinya datang. Konten yang viral dipastikan dapat menambah pundi-pundi uang atau pendapatan. Selain undangan ke stasiun televisi atau aneka event, uang didapat dari  endorse, viewers, dan followers.

Guru kreator  konten tidak sepatutnya menjadikan tiga kondisi itu sebagai patokan utama menyajikan konten. Konten yang disajikan harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan peserta didik dan kemajuan pendidikan.

Ini esensi utama seorang guru kreator konten. Menjadi bintang, memperoleh privilese, dan uang hanyalah bonus dari kreativitas dan kegigihan tanpa apatis dengan tujuan yang utama.

Skeptisisme yang wajar penting untuk dimunculkan sebagai bentuk kewaspadaan dan kehati-hatian dari sikap manipulatif demi mengejar branding dan keuntungan pribadi.

Bagaimanapun guru kreator konten adalah prestasi gemilang selama mereka tetap menjaga muruah, memperhatikan kode etik, mengandung nilai edukasi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran sehingga “berbagi praktik baik” yang ditampilkan di media sosial tetap related dengan kondisi di kehidupan nyata.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Januari 2024. Penulis adalah guru SMPIT Annur, Cikarang Timur, Bekasi dan alumnus Pascasarjana Unsika Karawang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya