SOLOPOS.COM - Danang Nur Ihsan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Sebulan  lebih BRT Transjateng resmi beroperasi di rute Solo—Wonogiri. Trayek Solo—Wonogiri ini menambah komplet layanan BRT Transjateng di Soloraya. Sebelum itu sudah ada BRT Transjateng di rute Solo-Sangiran.

Salah satu hal yang menarik dari BRT Transjateng Solo—Wonogiri selama sebulan beroperasi adalah tingkat keterisian penumpang saat akhir pekan atau weekend jauh lebih tinggi dibandingkan dengan saat hari kerja.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Saat hari kerja tingkat keterisian adalah 70%-80%, sedangkan saat weekend tingkat keterisian bisa mencapai 100%.  Balai Transportasi Jawa Tengah pada saat peluncuran BRT Transjateng Solo-Wonogiri menilai mobilitas warga di tiga daerah, yaitu Kota Solo, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Wonogiri, cukup tinggi.

Mereka yang selama ini naik kendaraan pribadi diharapkan beralih ke moda transportasi umum, termasuk BRT Transjateng. Pengoperasian BRT Transjateng diniatkan untuk menjawab mobilitas warga di kawasan Solo—Sukoharjo—Wonogiri yang tinggi.

Realitas karakteristik penumpang BRT Transjateng yang lebih ramai saat akhir pekan menarik untuk diulas. Karakteristik penumpang ini nyaris sama dengan moda transportasi kereta api Batara Kresna yang lebih dahulu melayani rute Solo—Wonogiri.

Awalnya rute Solo—Wonogiri dilayani kereta api feeder atau pengumpan untuk mengakomodasi penumpang kereta api dari wilayah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri yang akan bepergian dengan kereta api atau beraktivitas di Kota Solo.

Kereta api Batara Kresna kemudian hadir menggantikan kereta pengumpan itu. Selama beroperasi jumlah penumpang Batara Kresna sering ramai saat akhir pekan dibandingkan hari-hari biasa.

Pola yang sama juga terlihat dari layanan kereta rel listrik atau KRL Solo—Jogja yang menggantikan Prameks beberapa tahun lalu. Di Indonesia baru ada dua layanan KRL, yaitu KRL Jakarta—Bogor—Depok—Tangerang—Bekasi atau Jabodetabek dan KRL Solo—Jogja.

Penumpang KRL Jabodetabek sangat ramai saat hari kerja karena dipenuhi orang dari berbagai wilayah Bodetabek untuk beraktivitas di Jakarta. KRL Jabodetabek cenderung lebih sepi saat weekend.

Penumpang KRL Solo—Jogja sangat padat saat weekend atau hari libur bila dibandingkan dengan hari kerja.  Sejak beroperasi pada 2021, KRL Solo—Jogja mengangkut lebih dari 6 juta penumpang dan puncak penumpang selalu terjadi saat musim libur, weekend, atau hari libur.

Niat awal pengoperasian tiga moda transportasi umum, yaitu KRL Solo—Jogja, BRT Transjateng, dan KA Batara Kresna, untuk mengajak warga yang naik kendaraan pribadi beralih ke kendaraan umum.

Seiring berjalannya waktu karakteristik penumpang terbentuk dan moda-moda transportasi itu cenderung menjadi alat transportasi untuk healing atau berwisata saat libur atau akhir pekan.

Tentu ada juga penumpang hasil peralihan dari kendaraan pribadi ke moda transportasi umum. Kondisi ini mungkin tidak sepenuhnya ideal, namun yang layak menjadi perhatian adalah bagaimana menangkap peluang dari karakteristik penumpang moda transportasi “wisata” ini.

Laras, 32, warga Kecamatan Jebres, Kota Solo, pernah naik BRT Transjateng beberapa waktu lalu. Begitu sampai di terminal tipe C Kabupaten Wonogiri yang menjadi pemberhentian BRT Transjateng Solo-Wonogiri di Kabupaten Wonogiri, perempuan yang ingin berwisata di Kabupaten Wonogiri itu bingung.

Tidak ada alternatif moda transportasi umum dari terminal itu menuju lokasi wisata. Dia hanya berwisata kuliner di pasar dekat terminal. Pengalaman Laras sangat mungkin dialami banyak orang lain yang naik BRT Transjateng atau KA Batara Kresna.

Mereka sesungguhnya hanya ingin healing saat weekend, namun ketika sampai di lokasi tujuan bingung karena tidak ada infrastruktur atau layanan pendukung transportasi berikutnya.

Karakteristik penumpang moda transportasi umum seperti BRT Transjateng, KA Batara Kresna, dan KRL Solo—Jogja yang cenderung naik moda transportasi umum untuk healing seharusnya ditangkap sebagai peluang yang menarik untuk mengembangkan sektor pariwisata.

Pemerintah daerah seharusnya jeli dan mulai berpikir cara mengintegrasikan moda transportasi umum itu dengan lokasi wisata andalan mereka. Pelaku industri wisata juga harus tanggap menangkap peluang ini.

Salah satu masalah klasik sektor pariwisata di negeri ini adalah aksesibilitas. Potensi objek wisata banyak dan menarik, namun akses menuju ke sana kerap terhambat karena ketiadaan sarana transportasi umum menuju lokasi wisata itu.

Penumpang moda transportasi umum yang cenderung ingin healing saat akhir pekan ini apabila dikelola dengan baik akan menghadirkan efek domino yang panjang. Banyak pihak yang akan terdampak positif bila ini tergarap optimal.

Pelaku sektor transportasi; usaha mikro, kecil, dan menengah; warung atau tempat kuliner; objek wisata; dan penginapan atau hotel bisa panen rezeki saat penumpang tipe healing ini berdatangan.

Itu semua pada akhirnya akan berimplikasi pada percepatan pergerakan ekonomi daerah khususnya di sektor pariwisata. Teramat sangat disayangkan bila beroperasinya moda transportasi umum tidak menghasilkan efek domino bagi daerah yang dilintasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 September 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya