SOLOPOS.COM - Firda Imah Suryani (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pekerja  rumah tangga (PRT) salah satu jenis pekerjaan tertua di dunia. Pekerja rumah tangga memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan ekonomi langsung dan tidak langsung rumah tangga.

Dalam struktur masyarakat patriarki, jenis pekerjaan ini dianggap sebagai bagian dari tugas alamiah perempuan yang bersifat pelengkap dan karenanya tidak bernilai ekonomis.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Pada perkembangannya, seiring dengan kebutuhan dan permintaan tenaga kerja perempuan di ruang publik, terjadi pergeseran pekerjaan rumah tangga menjadi bagian dari pekerjaan sektor jasa yang berbayar.

Pergeseran ini tidak serta-merta mengubah persepsi tentang pekerjaan ini, apalagi terkait standar kerja layak dan perlindungan bagi pekerjanya. PRT di Indonesia masih rentan menjadi korban kekerasan akibat ketimpangan kuasa, kerentanan ekonomi, hingga impunitas kekerasan oleh pemberi kerja.

Menurut data Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), sepanjang 2017-2024, PRT di Indonesia menjadi korban dalam setidaknya 2.031 kasus kekerasan fisik dan psikis serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.

PRT memiliki kerentanan yang lebih besar untuk mengalami penyiksaan dan kekerasan. Hal ini disebabkan mereka bekerja di ranah privat atau pribadi, dalam hal ini di rumah yang menjadi tempat kerja.

Lingkup tempat kerja yang privat membuat tindak kekerasan atau penyiksaan lebih mudah dilakukan karena lebih mudah ditutupi. Hal ini termasuk kerentanan untuk menjadi korban perbudakan modern. Artinya setiap hari ada PRT yang berpeluang mengalami kekerasan.

Timbul pertanyaan mengapa PRT berpotensi mengalami kekerasan, bahkan dipinggirkan? Banyak kasus kekerasan terhadap PRT di Indonesia mengindikasikan beberapa hal.

Pertama, perlu ada instrumen yuridis, dalam hal ini pengaturan hukum yang jelas, untuk  mencegah berulangnya dan  berlanjutnya kekerasan terhadap PRT.

Peraturan hukum yang berlaku saat  ini yang diharapkan mampu mencegah dan  menghentikan kekerasan terhadap PRT ternyata tidak efektif. Kedua, perlindungan hukum terhadap PRT di tempat kerja sangatlah rentan dan tidak memberikan  jaminan yang pasti.

Seruan dan desakan agar DPR dan pemerintah merampungkan pembahasan dan segera mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) menjadi undang-undang terus disuarakan di tengah korban yang terus berjatuhan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum melindungi kepentingan manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, hak asasi manusia adalah hak asasi yang melekat dan harus dihormati oleh setiap orang.

Pelindungan hak asasi manusia dapat memberikan kekuatan moral untuk melindungi dan menjamin martabat manusia. Hukum yang berlaku saat ini, yang mengandung aspek mengatur pelindungan PRT, terpisah-pisah sehingga tidak efektif.

Undang-undang itu adalah UUD 1945, KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Aneka macam peraturan tersebutr belum mengatur secara langsung perlindungan PRT. Ini menjadi mimpi buruk dan menjadi keyataan pahit pagi PRT di Indonesia selama bertahun-tahun.

UUD 1945 secara tertulis mengatur bahwa setiap orang berhak diakui serta mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang sama di mata hukum., namun kenyataan menunjukkan kehidupan layak bagi PRT masih belum tercapai mengingat hak-hak mereka belum terpenuhi.

Di sisi lain banyak hal yang merugikan PRT seperti gaji tidak dibayar, upah rendah, upah tidak sesuai dengan beban pekerjaan, tidak ada masa istirahat cukup, kekerasan fisik dan nonfisik, dan bentuk eksploitasi lain terhadap PRT.

Potensi kerentanan terhadap diskriminasi dan kekerasan di kalangan PRT juga berpangkal dari realitas mereka tidak memiliki jaminan kesehatan maupun jaminan ketenagakerjaan serta terabaikan dari skema bantuan nasional, tidak memiliki akses ke pendidikan, ditambah lagi lapis kerentanan PRT bertambah ancaman kehilangan pekerjaan tanpa gaji dan pesangon yang membuat PRT semakin sengsara.

PRT tidak mampu melarikan diri dari berbagai tindak kekerasan karena posisi mereka yang rentan, tidak terlindungi hukum secara penuh, dihantui rasa malu atau takut, tidak memiliki uang, dan tidak mengenali lingkungan tempat kerja sehingga mereka tidak mendapatkan kebebasan dan terpinggirkan.

Dengan menciptakan kondisi kerja yang bebas dari diskriminasi berbasis gender, bebas dari kekerasan seksual, dan menciptakan pelindungan yang lebih baik bagi pekerja di sektor informal adalah langkah penting mengatasi realitas kerenataan PRT.

Oleh karena itu, salah satu bentuk penghormatan terhadap sesama manusia adalah dengan menghormati hak-hak mereka. Begitu pula dengan menghormati PRT berarti memberikan perlindungan kepada mereka. Perlindungan tersebut harus dituangkan dalam aturan yang jelas.

Prihatin dan begitu mengerikan bangsa ini jika sampai sekarang pekerjaan sebagai PRT masih dipandang sebelah mata, padahal sudah selayaknya mereka diakui sebagai pekerja yang harus dilindungi oleh pemerintah.

Patut disayangkan sikap wakil rakyat—anggota DPR—yang lamban dan tak mengacuhkan para PRT yang menginginkan perlindungan hukum terhadap profesi/pekerjaan dan diri mereka. Payung hukum menjadi pengakuan yang sangat berarti bagi eksistensi PRT.

Perlindungan hukum di Indonesia bagi PRT sejauh ini menggunakan peraturan Menteri Ketenagakerjaan, tetapi perumusan dan penerapannya masih salah kaprah dengan tidak berdasar pada undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan.



Substansi peraturan ini hanya berfokus pada ketentuan tentang lembaga penyalur PRT dibandingkan kepentingan hak PRT. Sanksi yang diberikan juga belum memberikan kepastian hukum karena tidak ada sanksi pidana, melainkan hanya sebatas sanksi administratif.

Memang tidak mudah memperjuangkan payung hukum untuk melindungi PRT dalam proses legislasi demi mendapatkan jawaban terhadap kesejahteraan PRT yang didominasi kaum perempuan.

Oleh sebab itulah,  untuk  mengatasi  kerentanan dan ketidakjelasan hukum bagi pelinudngan PRT perlu pengesahan segara RUU tentang Perlindungan PRT menjadi undang-undang serta  melakukan penambahan penambahan materi dalam RUU itu dengan meratifikasi konvensi atau rumusan-rumusan International Labour Organization (ILO).

Mimpi indah para PRT saat ini yang didukung para pegiat hak asasi manusia di Indonesia di tengah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dialami oleh PRT adalah mendapatkan sistem perlindungan dan pemenuhan hak yang dijamin undang-undang.

Ini seharusnya menjadi pemicu semangat DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU tentang Perlindungan PRT menjadi undang-undang. Sudah lebih dari 20 tahun RUU tentang Perlindungan PRT diajukan ke DPR dan dibahas, namun belum juga disahkan.

Apa yang menjadi kendala DPR dan pemerintah sehingga tampak begitu sulit dan lama mengambil langkah yang cepat dan tanggap membahas dan selekasnya mengesahkan RUU tentang Perlindungan PRT? Fakta dan berita yang mengemuka menunjukkan terjadi banyak ketidakadilan yang dialami PRT.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Juni 2024. Penulis adalah mahasiswa Magiter Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada dan peminat isu perempuan dan hukum Islam)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya