SOLOPOS.COM - Salah satu bisnis digital printing di Ngawi, Jawa Timur, memproduksi alat peraga kampanye pada Selasa (28/11/2023). (Solopos.com/Yoga Adhitama)

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat dan enam anggota KPU pusat melanggar kode etik penyelenggaraan pemilu.

Pelanggaran kode etik itu terkait tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden peserta Pemilu 2024. Lebih khusus lagi, itu adalah tentang syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Putusan DKPP itu tidak mengubah fakta formal, fakta hukum, bahwa tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden telah ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2024. Putusan DKPP tidak berdampak menganulir keputusan hukum, keputusan formal, tentang tiga pasang calon presiden-calon wakil presiden.

Realitas inilah yang makin menjelaskan praktik hukum dan politik kita yang nir-etika. Pelanggaran etika oleh penyelenggara pemilu mau tidak mau akan berdampak pada kepercayaan publik dan legitimasi hasil  pemilu.

Tampak jelas bahwa etika dan regulasi atau etika dan hukum tidak dijalankan seiring sejalan. Putusan tersebut hampir sama dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK pada November 2023.

Anwar secara moral dan politik berkepentingan memupuk kekuasaan dan mencederai martabat MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan DKPP dan MKMK sama-sama menunjukkan masalah etika tidak memengaruhi legalitas praktik-praktik hukum dan politik.

Selama tidak ada norma hukum positif yang melarang seolah-olah sah meski menabrak etika. Etika dipinggirkan, seolah-olah menjadi hal yang sia-sia dan tidak berguna. Realitas terburuk  adalah peminggiran etika dilakukan seseorang yang sedang berkuasa atau berkontestasi dalam pemilu.

Socrates pernah mengingatkan bahwa kebenaran tidak melulu diukur berdasarkan hukum alam, melainkan “hukum” perilaku manusia. Inilah konsep etika untuk menilai mana yang benar dan yang baik.

Yang benar menurut hukum semestinya juga baik dalam sudut pandang etis. Masalahnya, realitas di negara ini jauh dari idealisme itu. Seruan dari kampus yang susul-menyusul beberapa hari terakhir titik beratnya juga menyoroti praktik politik di negeri ini dalam konteks Pemilu 2024 yang secara gamblang meminggirkan etika dengan dalih tidak melanggar hukum.

Seharusnya, dalam kehidupan bangsa yang berperadaban tinggi, etika dan hukum seiring sejalan. Pemisahan etika dan hukum ini juga tergambar pada sikap Presiden Joko Widodo belum lama ini yang menyebut presiden dan menteri boleh memihak atau berkampanye dalam pemilu.

Presiden Jokowi menunjukkan isi Pasal 281 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara tidak utuh demi membuat pembenaran atas pernyataannya yang dikritik oleh publik.

Praktik penyelenggaraan pemilu, penyelenggaraan negara, dan praktik berpolitik yang secara sengaja memisahkan etika dan hukum jelas akan membawa bangsa ini menuju peradaban yang jauh lebih rendah, menjauh dari cita-cita menjadi bangsa yang besar.

Tidak melanggar hukum, namun tak beretika jelas bukan tanda bangsa beradab. Meninggikan etika niscaya akan menghormati hukum. Hukum adalah produk dari etika dan moralitas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya