SOLOPOS.COM - Haryono Wahyudiyanto (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sepak bola Belanda menjadi salah satu yang terkuat di dunia. Belanda telah lama dikenal sebagai produsen bibit-bibit pemain sepak bola berkualitas dengan level internasional.

Namun, di balik reputasi gemilang itu, Belanda juga dikenal sebagai “raksasa tanpa mahkota”, tim yang mempertontonkan permainan apik akan tetapi sering gagal mengkonversi penampilan total football mereka menjadi trofi juara.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Sejauh ini De Oranje hanya mampu meraih satu gelar juara turnamen besar, yaitu Piala Eropa 1988. Momen manis itu terjadi di Stadion Olympia, Muenchen, Jerman, ketika Ruud Gullit dan Marco van Basten berbagi gol tanpa balas ke gawang Uni Soviet.

Jauh sebelum itu, pada 1974 Belanda nyaris menjuarai Piala Dunia. Unggul terlebih dulu, ambisi Belanda digagalkan tuan rumah Jerman Barat, tim bertabur Bintang yang melahirkan legenda seperti Gerd Muller dan Franz Beckenbauer, dengan skor 2-1. Pertandingan ini pun dilabeli sebagai “kematian total football”.

Selepas dua momen itu, tim Oranye  selalu gagal menjadi juara, baik di ajang Piala Dunia maupun di pentas Piala Eropa. Kegagalan demi kegagalan ini seolah menjadi tradisi yang tak terpisahkan dari perjalanan tim sepak bola Negeri Kincir Angin.

Di Piala Dunia, Belanda pernah menembus babak 16 besar pada 1990, semifinalis 1998, bahkan finalis pada 2010. Kekalahan di final Piala Dunia 2010 melawan Spanyol mungkin menjadi yang paling menyakitkan.

Ini karena Belanda saat itu dianggap memiliki generasi emas dengan pemain-pemain top seperti Wesley Sneijder, Arjen Robben, dan Robin van Persie.

Sedangkan di kancah Eropa, De Oranje menjadi semifinalis pada 1992, 2000, dan terakhir yang baru saja dialami, Euro 2024. Pada ajang di Jerman kali ini, tim besutan Ronald Koeman diunggulkan sebagai salah satu kandidat kuat juara.

Harapan itu sepertinya hampir terwujud ketika Virgil van Dijk dan kawan-kawan melangkah ke semifinal. Namun, harapan itu harus pupus di kaki tim Tiga Singa, Inggris, dengan skor 1-2.

Memimpin laga dengan cepat lewat gol spektakuler Xavi Simons pada menit ketujuh, Belanda dibalas melalui tendangan penalti Harry Kane pada menit ke-18 dan gol mematikan pemain pengganti Ollie Watkins di pengujung laga. Kegagalan ini menambah daftar panjang “hampir menang” yang menjadi ciri khas tim nasional Belanda.

Selalu gagal menjadi juara, bahkan sering harus tersingkir di babak-babak akhir, tentu menimbulkan frustrasi bagi para pendukungnya, termasuk suporter di Indonesia. Kegagalan Belanda ini seringkali dikaitkan dengan filosofi total football.

Filosofi ini menekankan pada penguasaan bola, pressing, dan pergerakan pemain yang dinamis. Meskipun efektif dalam membuat lawan kesulitan, filosofi ini juga memiliki kelemahan, di mana tim Belanda sering kehilangan fokus dan keseimbangan saat menyerang.

Pengalaman final di Piala Dunia 1974 saat ditaklukkan Jerman Barat membuktikan hal itu hingga laga dilabeli dengan matinya total football.

Performa Belanda ini menjadi bukti penampilan gemilang pemain di klub-klub sering kali tidak bisa diterjemahkan ke dalam tim nasional. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari perbedaan filosofi, tekanan, hingga masalah internal dalam skuad.

Kegagalan Belanda juga tak lepas dari tekanan ekspektasi tinggi dari fans dan media. Tekanan ini terkadang menjadi beban mental yang berat bagi para pemain, terutama di saat-saat krusial.

Ada anggapan bahwa tim Belanda sering kali “terlalu baik untuk kalah, tetapi tidak cukup baik untuk menang”. Ini mungkin mencerminkan kelemahan mental dalam mengatasi tekanan di pertandingan-pertandingan penentu.

Belanda dari dulu dinilai tidak pernah berubah karena terlalu idealis menerapkan filosofi total football yang menjadi ciri khas mereka. Idialisme itu sering menjadi bumerang. Ketika berhadapan dengan tim yang lebih pragmatis dan defensif, gaya permainan indah Belanda tidak selalu efektif.

Oleh sebab itu, julukan “juara tanpa mahkota” yang disematkan pada tim nasional Belanda mencerminkan paradoksal. Di satu sisi, Belanda diakui sebagai salah satu tim terbaik dan paling berpengaruh dalam sejarah sepak bola.

Mereka telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan taktik dan gaya permainan modern, terutama melalui konsep total football yang diperkenalkan oleh Rinus Michels dan Johan Cruyff.

Namun, di sisi lain, kegagalan berulang untuk memenangkan trofi besar membuat De Oranje seolah-olah terjebak dalam limbo kebesaran yang tak terwujud sepenuhnya.

Mereka adalah tim yang sering dipuji, dikagumi, bahkan ditakuti, tetapi jarang sekali bisa mengangkat trofi juara di akhir sebuah turnamen besar.

Konsep total football yang mereka kembangkan harus diakui telah menginspirasi banyak tim dan pelatih di seluruh dunia. Akademi-akademi pemain muda Belanda, seperti yang dimiliki Ajax Amsterdam, telah menghasilkan banyak pemain kelas dunia dan menjadi model bagi pengembangan bakat muda di banyak negara.

John Cruyff, Marco van Basten, Frank Rijkaard, Wesley Sneijder, Christian Eriksen, hingga penjaga gawang Edwin van der Sar merupakan jebolan akademi ini.

Belanda juga telah mengekspor banyak pelatih berkualitas tinggi ke seluruh dunia. Louis van Gaal, Guus Hiddink, dan Ronald Koeman telah meninggalkan jejak mereka di berbagai liga top Eropa dan tim nasional di dunia.



Tantangan bagi Belanda pada masa depan adalah bagaimana mempertahankan identitas sepak bola mereka yang indah dan inovatif, sambil mengembangkan mentalitas juara yang diperlukan untuk meraih kesuksesan di turnamen-turnamen besar.

Diperlukan perubahan pendekatan, salah satunya strategi bertahan yang solid. Ronald Koeman setelah timnya dikalahkan Austria 2-3 dalam pertandingan terakhir Grup D Euro 2024 mengakui kelemahan gaya sepak bola mereka.

Permainan atraktif total football tidak dibarengi dengan pertahanan yang kuat. Koeman menggambarkan posisi pemain bertahan yang dikomandoi Virgil van Dijk, Stefan de Vrij, Nathan Ake, dan Lutsharel Geertruida, dalam laga di Olympiastadion Berlin itu seperti ayam tanpa kepala yang berlarian.

(Versi lebih singkat esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Juli 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya