SOLOPOS.COM - Mukhlis Mustofa (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Senandung Ojo Dibandingke yang dinyanyikan Farel Prayoga menjadi katarsis dalam rangkaian Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2022). Nyanyian Farrel mengubah upacara detik-detik proklamasi di Istana yang biasanya sangat formal bermetamorfosis dan menampilkan dua sisi menarik.

Ada kesakralan dan kekhusyukan tanpa meninggalkan kegembiraan menjadikan upacara tersebut sedemikian cair perayaan. Bergabungnya para pesohor negeri untuk berjoget bersama di tengah lokasi upacara menjadi akhir luar biasa dari pesta tersebut. Yang tak kalah penting, lagu yang dibawakan Farel –siswa sekolah dasar asal Banyuwangi ini– menjadi otokritik penyelenggaraan pendidikan pada 77 tahun usia negeri ini.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Headline Solopos edisi 18 Agustus 2022 lalu melaporkan pendidikan sebagai prioritas belanja pemerintah dengan guyuran anggaran Rp608,3 triliun. Hal itu bisa dimaknai sebagai dukungan besar pemerintah bagi kegiatan pencerdasan anak bangsa. Namun, apakah dunia pendidikan kita sudah siap dengan besarnya anggaran yang tersedia?

Sejujurnya, lagu Ojo Dibandingke dapat menyentil berbagai masalah, termasuk dalam dunia pendidikan. Patut diakui, kemampuan Abah Lala dalam menciptakan lirik lagu ini brilian dan tanpa dia sadari dapat diterima semua kalangan.

Mempersepsikan lirik Ojo Dibandingke secara tidak langsung menggambarkan pendidikan negeri ini di tengah gaung Merdeka Belajar. Meski ada slogan Merdeka Belajar, pendidikan kita belum sepenuhnya merdeka. Merdeka belajar berarti pendidikan harus diselenggarakan dengan humanis, egaliter, dan nondiskriminatif. Kondisi ini berpijak pada beragamnya kemampuan manusia dan prinsip bahwa semua anak adalah juara.
Dalam nyanyian itu, Farel dengan cerdas menerjemahkan pesan moral Abah Lala bahwa pendidikan adalah sesuatu sangat berwarna dan peserta didik tidak bisa diperbandingkan.

Dikotomi

Dalam dunia pendidikan Indonesia, kebaruan tidak kunjung muncul, sementara para praktisinya mengalami kegagapan menghadapi dinamika perubahan. Selama 77 tahun sejak proklamasi kemerdekaan RI tidak juga memerdekakan pola pikir praktisi pendidikan. Pendidikan hingga saat ini masih “terjajah” dengan beragam dikotomi dan belum memiliki keberpihakan dalam berbagai kondisi.

Pendidikan teramat kental dengan nuansa kompetisi dan raihan prestasi tertinggi. Dengan demikian, praktik membanding-bandingkan satu komponen dengan komponen lainnya dianggap sah-sah saja. Kondisi pendidikan publik pun kini berada di zona nyaman dengan praktik-praktik dikotomi tanpa ada kekuatan yang mengubahnya.

Penyelenggaraan pendidikan pun dikondisikan serba dikotomis. Dikotomi itu muncul dalam berbagai bentuk, di antaranya sekolah negeri dengan swasta, tenaga pengajar guru PNS dengan non-PNS, hingga pendidikan yang idealis dengan yang realistis. Dikotomi ini lebih mengemuka dibandingkan esensi pendidikan itu sendiri.

Jebakan-jebakan dikotomi dalam pendidikan ini menjadikan berbagai ikhtiar pembaruan kebijakan pendidikan hanya dianggap sebagai penggugur kewajiban, bukan ikhtiar kemajuan tanpa henti. Pendidikan kekinian pun terlihat serba pesimistis, bahkan di tengah slogan Merdeka Belajar. Persepsi ini bukannya tanpa sebab. Dalam beberapa dekade terakhir, perubahan kebijakan pendidikan hanya sebatas pergantian istilah dan tidak menyentuh perbaikan performa.

Ojo Dibandingke juga bisa menjadi sindiran jika upaya memajukan dunia pendidikan tidak didukung dengan kebijakan revolutif. Besarnya anggaran akan menguap sia-sia jika tidak disertai kebijakan pendukung. Terlebih jika edukasi tentang perubahan pembelajaran masih minim.

Persepsi ini bukanlah isapan jempol semata. Hakikat penyelenggaraan pendidikan saat ini juga lebih mengedepankan aspek administrasi. Anggaran besar tanpa kebijakan perbaikan yang efektif justru bisa membuat pendidikan mati suri.

Sesuai amanat konstitusi, anggaran pendidikan 20% belum sepenuhnya terlihat efeknya. Besarnya anggaran pendidikan justru meningkatkan potensi penyimpangan atau fobia pendanaan berkelanjutan. Terseretnya beberapa praktisi dunia pendidikan ke ranah hukum akibat dugaan penyimpangan dana menjadi risiko dari besarnya anggaran. Di sisi lain, ada ketakutan para penyelenggara pendidikan terjerat persoalan hukum dalam mengelola dana pendidikan. Ini bisa menjadikan penyelenggaraan pendidikan jalan di tempat.

Pendidikan masa kini semestinya bukan sekedar membandingkan berbagai komponen, namun memerlukan ikhtiar berkelanjutan. Diperlukan tindakan revolusioner dalam menghadapi pembaruan bidang pendidikan dengan mempertimbangkan berbagai elemen penting.

Pertama, perlu ada penegasan bahwa aspek administrasi bukan yang utama. Pembaruan pendidikan harus menjadi momentum untuk mengubah sikap yang masih mendewakan administrasi. Misalnya penghargaan terhadap guru diberikan berdasarkan kreativitas mereka, bukan sekadar upaya mereka menggugurkan kewajiban membuat rencana pelaksanaan pembelajaran. Potensi dan kreasi guru harus terbangun dengan kompetitif sehingga mereka tidak hanya melakukan kegiatan demi menjalankan kewajiban.

Kedua, prinsip fleksibilitas yang menjadi aspek lanjutan dalam pemberlakuan new normal pendidikan. Prinsip ini penting untuk memastikan kebijakan tidak mematikan elemen pendidikan. Misalnya, masih perlunya peningkatan kualitas layanan internet meski saat ini hampir semua sekolah telah menggelar pembelajaran tatap muka (PTM).

Berikutnya, pemberdayaan pendidikan selayaknya menggunakan prinsip long life education. Di tengah keterbatasan selama pandemi yang belum terselesaikan, tidak layak memaksakan perubahan kurikulum yang justru menambah permasalahan. Toh, Kurikulum 2013 sudah proporsional dan belum lama diberlakukan.

Dalam momentum peringatan Hari Kemerdekaan RI ini, kemerdekaan selayaknya bukan hanya menjadi “kemenangan” satu golongan saja. Prinsip aja dibandingke dalam perayaan kemerdekaan merupakan gerbang utama pengembangan humanisasi pendidikan berkelanjutan. Nalar cerdas intelektual dan kerendahan hati sebagai dasar pendidikan menjadi korelasi penyelenggaraan berkelanjutan.

Prinsip aja dibandingke selayaknya menyebar dalam pendidikan negeri ini. Pendidikan tidak bisa disamakan dalam semua kondisi. Dunia pendidikan sangat dinamis dan masing-masing komponen memiliki keunikan yang berbeda. Jadi aja dibandingke!

Esai ini ditulis oleh Mukhlis Mustofa, dosen PGSD FKIP Universitas Slamet Riyadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya