SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Penayangan film Lara Ati di bioskop-bioskop di berbagai kota mulai 15 September 2022 lalu seperti menjawab pertanyaan saya satu dasawarsa silam. Pada April 2012, kalau tidak keliru, sahabat saya Mamiek Prakosa datang ke rumah memberikan persetujuan novel saya Lintang Panjer Rina akan dibuat serial sinetron.

Saya diminta membuat skenario13 seri. Sebelumnya memang saya tanyakan, mungkinkah membuat sinetron atau film berbahasa Jawa? Dengan penuh keyakinan Mamiek menjawab: sangat memungkinkan.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

”Kan, jumlah orang Jawa itu banyak? Nanti saya tawarkan kepada teman-teman produser di Jakarta,” ujar di membuat hati senang. Iseng-iseng saya buka data BPS 2010. Jumlah orang Jawa mencapai 95.217.022 yang berarti 40,22% dari seluruh penduduk di Indonesia.

Kenyataannya banyak media berbahasa Jawa yang tutup usia. Sedangkan yang ada saat ini hanyalah bertahan untuk tidak ikut kapundhut. Dari situ saya mulai skeptis, walaupun tak perlu menangis, bahwa tidak ada korelasi yang meyakinkan antara jumlah penduduk dan mati-hidupnya media.

Penulisan skenario mandek di tengah jalan saat tak ada lagi kontak hingga akhirnya terdengar kabar Mamiek Prakoso wafat pada 3 Agustus 2014. Kini skeptisisme itu muncul lagi dan saya harus menjawabnya sendiri. Pertama-tama yang saya telisik adalah hubungan antara produksi film dengan bahasa.

Sejak kapan film harus dikaitkan sedemikian rupa dengan bahasa? Apakah film secongkak dewa-dewa musik seperti Joseph Machlis (1977) yang berteriak music suggests elusive states of mine?  Musik tak akan pernah dialihartikan ke dalam bentuk kata-kata, itu kredo mereka.

Bagi penganut musik ortodoks yang namanya nada itu utama dan terutama. Tidak usahlah diganggu-ganggu dengan lirik. Film tak sepongah itu. Film menggunakan bahasa gambar, tapi kenyataannya tetap membutuhkan suara, bahasa. Itu sejak pertama kali dibuat pada 1903 di Prancis (Jauhari, 1982).

Disusul oleh Amerika Serikat delapan tahun kemudian dengan film cerita kali pertama, The Life of an American Firemen, garapan Edwin S. Porter. Film terus mengalami perkembangan. Waktu itu film disebut-sebut sebagai gambar hidup. Sebenarnya baru setengah hidup karena baru bisa bergerak-gerak layaknya makhluk hidup, namun belum bisa bersuara atau berbicara, hitam-putih pula.

Itulah yang disebut film bisu yang juga pernah saya tonton waktu kecil lewat layar tancap di lapangan pada 1960-an. Barulah pada 1925, setelah melalui eksperimen yang panjang, sineas Amerika Serikat berhasil membuat film yang bisa ngomong (picture talking) untuk kali pertama lewat film Don Juan, ditayangkan di gedung bioskop di New York.

Tak puas dengan eksperimen pertama, lalu disusul eksperiman kedua lewat film The Jazz Singer yang lebih apik. Dan terakhir, yang dinilai sebagai picture talking paling sempurna, adalah film berjudul Light of the New York, diputar di New York, 6 Agustus 1928. Setelah itu barulah meluas ke seluruh dunia.

Di Indonesia pembuatan film dimulai pada 1926. Film pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng yang digarap Heuveldorp dari NV Java Film Company. Waktu itu Bupati Bandung, Wiranatakusumah, yang punya hasrat kuat mengembangkan kesenian Pasundan terlibat membiayai film tersebut (Biran, 2009). Tentu masih berupa film bisu dan hitam putih.

Kenyataan Pemakaian Bahasa

Pertanyaan mungkinkah, selain yang berbahasa Indonesia, produksi perfilman nasional kita ada juga yang berbahasa Jawa dalam jumlah yang memadai? Jawabannya, kenapa tidak? Lara Ati menggunakan dialog berbahasa Jawa hingga 90% dengan penjelasan teks berbahasa Indonesia di layar bagian bawah.

Ini bukan asumsi yang mengada-ada. Film-film dari luar negeri seperti China, India, Prancis, dan Amerika serikat tetap menggunakan bahasa sendiri-sendiri, dibantu teks berbahasa Indonesia. Begitu pun dalam Lara Ati. Bahasa Jawa Surabaya-nan yang disampaikan ala panggung ludruk membuat para penonton terpingkal-pingkal.

Saya kira bahasa dalam film, meminjam terminologi Ferdinand de Saussure (1916), masuk dalam kategori parole (speech), wujud kenyataan pemakaian bahasa. Tuntutan utamanya adalah a group of people who can all understand each other when they speak (Corder, 1973). Bagaimana sebuah komunitas yang satu sama lain saling memahami saat berbincang.

Dengan menawarkan novel-novel berbahasa Jawa dari pengarang-pengarang legendaris seperti Nona Sekretaris (Suparto Brata), Tunggak-tunggak Jati (Esmiet), atau Tanpa Daksa (Sudharma K.D.) bukan berarti saya berpretensi melakukan gerakan pertahanan bahasa dan budaya semata. Kroeber menyebutnya sebagai nativistic endeavors atau nativistic movement.

Ini masalah bagaimana sebuah film bisa dipahami (dan tidak disalahpahami) oleh penonton. Saya punya dugaan, seandainya Lara Ati disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Indonesia tentu hasilnya tak seoptimal dibanding memakai bahasa Jawa Surabayanan. Orang Jawa mengatakan kurang nges.

Bisa dipahami ketika Sahila Hisyam, aktris kelahiran Bogor (pemeran Farah), dan Tatjana Saphira, blasteran Jawa-Jerman (pemeran Ayu), mengaku kerepotan saat dipaksa harus belajar bahasa Jawa dalam waktu singkat (Nyata, II, Agustus 2022).

Bagaimanapun hingga saat ini bahasa Jawa Surabaya-nan, Mataraman, Banyumasan, masih berfungsi efektif di kalangan mereka (simak: Bram & Dickey, 1986). Makin banyak orang-orang film, produser, mau terjun ke kantong-kantong masyarakat dan budaya di daerah, makin besar harapan untuk melihat warna-warni lokal perfilman nasional kita.

Saya paham, mau ditepis dengan omong kosong apa pun, film tetaplah industri bisnis yang berhitung soal laba rugi. Harapan produser tentu pencapaian derajat ideal: membuat film bemutu seni tinggi (artistic quality), namun tak jeblok dalam pemasaran (commercial quality).

Ya, kira-kira seperti yang dicapai film lawasan The Sound of Music (1965) garapan Robert Wise, yang laris manis sekaligus bermutu seni tinggi. Film Lara Ati terbilang sukses untuk kali kedua bagi Bayu Skak, sineas yang konsisten mengangkat kearifan lokal setelah sebelumnya menggarap Yowes Ben.

Kita berharap setelah Lara Ati sukses di pasar bakal meluncur seri-seri berikutnya yang lebih tajam dan artikulatif. Jika memungkinkan seperti sekuel Naked Gun garapan Peter Segal.

Setelah edisi perdana Naked Gun: From the Files of Polish (1988), dilanjutkan dengan kemasan yang lebih nakal Naked Gun 2 1/2: The Smell Fear (1991), kemudian Naked Gun 33 1/3 The Final Insult (1994).

Bukan tidak mungkin film Lara Ati menjadi tonggak awal lahirnya film-film berbahasa Jawa pada waktu-waktu mendatang. Semoga saja!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Oktober 2022. Penulis adalah doktor bidang kajian seni, esais, sastrawan, dan budayawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya