SOLOPOS.COM - Anik Sulistyawati (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Saat  ini kita tak perlu jadi cenayang untuk mencari tahu kabar, keadaan, aktivitas, status sosial, bahkan kekayaan orang lain. Kini semua itu diobral di media sosial.

Banyak orang seolah-olah berlomba-lomba memamerkan kehidupan mereka kepada publik; makan, olahraga, berwisata, hingga pencapaian dan kekayaan.  Muncul kemudian fenomena flexing, suka memamerkan atau menunjukkan kekayaan atau status sosial untuk mendapatkan pengakuan atau perhatian dari orang lain.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Kini flexing seolah-olah menjadi kebiasaan orang-orang yang tergolong figur publik dan siapa saja yang sedang meniti tangga menjadi orang terkenal lewat media sosial.  Flexing kini bisa menjadi sarana mengintip, bahkan membongkar, praktik-praktik fraud seperti investasi ilegal, pencucian uang, hingga korupsi.

Sejumlah pejabat berurusan dengan aparat penegak hukum setelah istri atau anak mereka memamerkan barang-barang mewah, perjalanan ke luar negeri, dan perilaku hedonis lainnya. Seperti membuka kotak pandora, flexing juga menguak  tabir kasus penipuan berkedok robot trading hingga investasi ilegal.

Selebritas seperti Doni Salmanan, Indra Kenz, dan Wahyu Kenzo hanya sebagian dari sekian banyak kasus penipuan online. Sebelum ditangkap polisi, mereka gemar memperlihatkan kesuksesan semu mereka untuk menjerat banyak orang.

Alasan orang suka melakukan flexing, salah satunya, adalah untuk menunjukkan status sosial dan mendapatkan pengakuan atau penghormatan dari orang lain. Faktor lainnya adalah untuk menunjukkan identitas dan citra diri sebagai orang yang sukses dan berkelas.

Dari aspek psikologis, di balik flexing tampaknya ada keinginan untuk merasa penting, dihargai, dan diakui oleh orang lain atau sebagai cara meningkatkan kepercayaan diri dan merasa lebih baik tentang diri sendiri. Beberapa penelitian menunjukkan flexing dapat berkaitan dengan gangguan mental tertentu.

Sebuah studi yang diterbitkan jurnal Personality and Individual Differences menunjukkan seseorang yang sering melakukan flexing cenderung memiliki tingkat kecemasan sosial yang lebih tinggi.

Studi tersebut juga menemukan bahwa seseorang yang sering melakukan flexing cenderung mengalami kesulitan dalam mempertahankan hubungan interpersonal yang sehat dan bahagia.

Penelitian lain menunjukkan flexing bisa menjadi tanda gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan gangguan kepribadian naratif. Orang yang sering melakukan flexing juga cenderung mengalami tekanan sosial yang lebih tinggi dan merasa tidak puas dengan hidup mereka, meskipun mereka terlihat sukses dari sudut pandang finansial.

Perlu diingat bahwa flexing tidak selalu menunjukkan gangguan mental atau masalah psikologis tertentu. Orang-orang sering melakukan flexing hanya sebagai bentuk ekspresi diri atau sebagai cara menunjukkan apresiasi pada diri mereka sendiri atau orang yang mereka cintai.

Membeli Barang Mewah

Fenomena flexing tak lepas dari budaya konsumerisme.  Di Amerika Serikat budaya  konsumerisme merebak pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Thorstein Veblen dalam buku The Theory of the Leisure Class menjelaskan masyarakat Amerika Serikat pada saat itu memperlihatkan kecenderungan memamerkan kekayaan mereka melalui konsumsi benda-benda mewah dan tanda-tanda status sosial lainnya.

Dalam masyarakat konsumtif orang sering kali membeli barang-barang yang tidak hanya bermanfaat secara praktis, tetapi juga memiliki nilai simbolis yang tinggi untuk menunjukkan status sosial mereka. Dalam banyak kasus, hal ini melibatkan pembelian barang-barang yang jauh lebih mahal daripada barang serupa yang dapat memenuhi kebutuhan secara fungsional.

Profesor psikologi di Knox College, Illinois, Amerika Serikat, Tim Kasser, menyebut konsumerisme adalah ideologi yang mengacu pemahaman bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup dapat dicapai melalui konsumsi barang dan jasa yang tidak selalu dibutuhkan.

Konsumerisme mendorong orang terus-menerus membeli barang-barang baru dan meningkatkan konsumsi mereka, bahkan ketika hal itu tidak bermanfaat atau beralasan. Kasser meyakini konsumerisme dapat menjadi masalah serius bagi masyarakat karena konsumsi berlebihan dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan perasaan tidak bahagia.

Dia juga berpendapat konsumerisme dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin melebar. Pada era media sosial konsumerisme makin eksis karena didukung perilaku flexing.

Siapa pun sebaiknya tetap bijak dan tidak mudah silau melihat flexing yang berseliweran di media sosial. Satu frame flexing tak bisa menggambarkan keaslian situasi atau kondisi seutuhnya dari seseorang.

Sangat penting tidak menilai orang hanya berdasarkan perilaku flexing mereka dengan mempertimbangkan konteks dan motivasi di balik perilaku tersebut. Para pelaku sangat penting menyadari flexing bukan cara bijak meraih kebahagiaan dan keberhasilan dalam hidup.

Ada nilai-nilai lain yang lebih layak untuk diprioritaskan seperti moralitas, integritas, belas kasih,  kerendahan hati, dan menghindari jebakan konsumerisme demi meraih pengakuan. Pertimbangkan ulang ketika muncul kehendak mengunggah pencapaian atau kekayaan di media sosial.

Seluruh agama di muka bumi selalu mengajarkan manusia  untuk menjauhi sifat sombong, tamak, iri, dan tidak mendorong orang lain dengki dengan apa yang kita punya. Leluhur kita, sebagai orang Timur, sering berpesan tentang hidup sederhana, andhap asor, dan tepa selira dengan sesama.

Semua orang berhak mencapai sukses dan tidak ada larangan menjadi kaya, bahkan menjadi crazy rich sekali pun. Alangkah eloknya bila kita tidak lupa diri, selalu rendah hati dan membumi, karena harta kekayaan sejatinya hanyalah titipan dari Sang Pemilik bumi dan matahari.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 April 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya