SOLOPOS.COM - Fadjar Sutardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan, Rabu (22/4/2015), ditulis Fadjar Sutardi. Penulis adalah perupa pengelola majelis perempuan Maskumambang Mujahadah, Sumberlawang, Sragen.

Solopos.com, SOLO — Membaca perihal kemajuan perempuan sungguh membanggakan. Peran perempuan dewasa ini telah menyeruak di hampir seluruh aspek kehidupan.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Kalau boleh berpendapat, senyatanya peran-peran tersebut masih pekat dikendalikan kepentingan kaum lelaki. Gerakan emansipasi secara ideal gagal dan buntu di tengah jalan.

Di Indonesia, setelah lebih dari 100 tahun R.A. Kartini berpulang ke rahmatullah, selintas dalam benak kita muncul pertanyaan yang mengganggu pikiran kita, misalnya  apakah kita sebagai pewaris nilai-nilai emansipasi masih dapat mengapresiasi karya besar tersebut ke dalam praktik-praktik keseharian dalam kehidupan kita secara jernih?

Apakah kebanggaan kita hanya berhenti di ranah peringatan atas jasa-jasa Kartini ketika pada 21 April kaum perempuan berbondong-bondong merias diri ke salon, berkebaya dan bersanggul, kemudian melaksanakan upacara di kantor-kantor, kampus, atau mengarak anak-anak sekolah untuk menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini dan setelah itu kita lupakan begitu saja?

Dewasa ini perempuan-perempuan bangsa ini terjebak dalam  pendangkalan makna dan praktik nilai-nilai kesetaraan sosial yang disuarakan Kartini,  yakni perihal nilai-nilai kesetaraan sosial.

Perempuan-perempuan bangsa kita yang memiliki otak cerdas dan berpenampilan ayu diarahkan masuk ke dunia politik sekadar untuk memenuhi undang-undang politik kita.

Kita memiliki banyak perempuan menjadi bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, camat, lurah, kepala dinas, dan jabatan lain di institusi pemerintahan dan swasta.

Pendangkalan makna emansipasi telah menimbulkan bias-bias perilaku. Kita selalu luput mendalami nilai-nilai kearifan dan kejeniusan yang diwariskan pendahulu kita.

Kita terlena pada hal serbarasio dan materi yang bisa mematikan akal dan hanya mengunggulkan okol. Kita tidak punya landasan dan parameter nilai dalam melahirkan peradaban di antara kaum laki-laki dan perempuan.

Spirit yang digelisahkan Kartini sebenarnya dapat menjadi penyeimbang yang berkeadilan bagi kebahagiaan jiwa ketika kita mau memosisikan perempuan secara adil.

Kita menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri, setelah 111 tahun Kartini berpulang dalam usia yang masih sangat muda, gaung keagungan Kartini melemah seiring dengan kemajuan yang melupakan hakikat kehadiran perempuan di muka bumi ini.

Kini seakan-akan  tak ada lagi ikhtiar dan usaha dari siapa pun untuk memikirkan alih-alih mewujudkan cita-citanya. Dalam kehidupan faktual laki-laki dan perempuan berjalan sendiri-sendiri. Tak ada komunikasi hati. Tak ada lagi perlindungan dan sikap melindungi.

Konflik kepentingan atas pekerjaan dan profesi  membuahkan korban demi korban secara beruntunan, yakni anak-anak yang tak terurus. Orang tua sibuk dan sibuk sepanjang tahun. Jargon menjadikan generasi saleh hanya menjadi hiasan bibir.

Anak-anak yang mereka lahirkan berlarian mencari identitas di pinggiran jalan, di sudut-sudut kota. Mereka hidup tanpa bimbingan dan pendidikan. Sekolah mereka bukan bertujuan mengolah kehidupan, tetapi sekolah yang melahirkan kepentingan demi kepentingan.

Mendukung Gerakan
Seorang penekun kebudayaan Jawa, Ki Soedjonoredjo, yang  mendalami kejiwaan orang Jawa, mengajarkan  mutiara-mutiara yang  terangkum dalam  konsep luma atau telu ”ma” atau 3M, yaitu madu rasa, madu basa dan madu brata.

Saya mereka filosofinya menjadi malima atau ”ma” lima atau 5M,  yaitu madu rasa, madu basa, madu brata, madu raga, dan madu karya. Dalam pandangan saya ini agar lengkap sesuai semangat dasar agama dan dasar negara kita Pancasila.

Mutiara kata ini saya anggap perlu untuk dibaca ulang, terutama bagi kaum Adam yang memiliki tanggung jawab mendukung seluas-luasnya gerakan kaum Hawa yang disebut emansipasi itu.

Lima M tersebut kalau diurutkan, pertama, hendaknya kita dapat berguru pada pengalaman hidup berkonsep Jawa, yakni  madu rasa. Utang terbesar kita kepada sang pencipta semesta raya ialah pemberian anugerah yang sangat tinggi nilainya, yaitu hati, kalbu, atau rahsa.

Kalbu bertugas mengolah dan memadukan aneka rasa yang kompleks. Dalam bahasa agama terdapat tiga rasa yang unik dan beda-beda fungsinya, yakni ammarah, lawwamah, dan muthmainah.

Ammarah bertugas mengobarkan spirit roh manusia agar memiliki api yang hidup dalam kehidupan. Rasa ini membantu menjaga harkat kefitrahan manusia. Bila ammarah ini diarahkan kepada hal positif, rasa putus asa akan tergantikan dengan harapan dan semangat.

Hati perempuan yang terolah dengan harapan dan semangat ini memiliki mental disiplin yang tinggi, terjaga rasionalitasnya dan mereka tergolong perempuan yang cerdas. Perempuan seperti ini dalam tradisi pencapaian spiritualitas Jawa telah mampu membawa dan menjaga cahaya hatinya (kuat hanggawa damar).

Ammarah yang mengeluarkan api atau cahaya penerang harus selalu dijaga agar tidak padam. Penjagaannya berupa pelaksanaan  sikap  empan papan, tepa selira, unggah ungguh, iguh tangguh, tuju panuju, welas asih, kala mangsa, duga prayoga.

Madu rasa adalah bentuk kesadaran tinggi atau kesadaran batin. Perasaan tersebut oleh Danah Zohar (2002) disebut spiritual quotient yang termanifestasikan dalam praktik nyata berupa rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama tanpa membedakan suku, agama, warna kulit, golongan, pandai bodoh, kaya miskin, derajat pangkat.

Seseorang yang menghayati madu rasa akan mampu ngemong (mengendalikan) gejolak nafsu diri sendiri, maupun ngemong gejolak nafsu orang lain. Mental menjadi matang, tangguh, ulet dan tekun, bertekad kuat, gigih, dan tidak mudah putus asa. Segala sesuatu direncanakan secara matang, memperhitungan segala risiko.

Kedua, madu basa adalah melatih terus-menerus ketajaman kualitas kebahasaan baik lisan atau isyarat. Kaum lelaki memerlukan pengalaman memadu bahasa untuk memahami perempuan karena menurut ciri wanci atau watak perempuan memiliki kepekaan dan ketajaman emosional.

Memadu bahasa bisa dimaknai sebagai memiliki adab, sopan santun, tata cara, kebiasaan mengolah tutur kata dalam pergaulan. Madu adalah manis. Tentu bukan berarti konotasi negatif seseorang yang gemar bermulut manis.

Maksudnya adalah seseorang yang mampu membawa diri, mewawas diri atau mulat sarira. Kehormatan atau harga diri seseorang tergantung pada ucapannya. Madu basa adalah seseorang yang pandai mengolah kata sehingga dalam menyampaikan kritik, penilaian, protes, dan nasihat menggunakan bahasa yang indah, mudah dipahami, tidak menyinggung perasaan orang lain dan mudah diterima oleh orang yang dituju, serasa hadir dan mengalir (kuwat hamikul warih).

Ketiga, mengolah jiwa dengan sabar dan telaten dengan mendalami makna atau konsep madu brata. Madu brata adalah sikap pribadi, sikap eling lan waspada. Eling terhadap sangkan paraning dumadi dan waspada terhadap segala hal yang menjadi penghambat upaya mencapai ketakwaan kepada Allah.

Madu brata juga bermakna proses mencapai keberhasilan hanawung kridha (menelaah kehidupan dari sang adikodrati). Madu brata sepadan dengan sikap hamemayu hayuning bawana. Madu brata bertujuan mewujudkan keselamatan di antara manusia dan makhluk hidup lainnya.

Keempat, memelihara kekuatan fisik anugerah Tuhan dengan mengemban pengalaman hidup dalam madu raga. Istilah madu raga saya peroleh dari perenungan tentang pengabaian tubuh, panca indra, dan keragaan yang menjadi rumah roh manusia. [Mati Raga]

Mati Raga

Pengabaian raga disebabkan rusaknya pola pikir dan pola makan sehari-hari yang terkonsentrasi  hanya menuruti kelezatan-kelezatan bersifat bendawi belaka. Raga dapat terpelihara dengan baik dan semakin sempurna bila manusia sesekali mendalami mati raga.



Mati raga dapat diartikan penghormatan kepada raga agar dapat istirahat dari racun pikiran dan racun makanan. Perempuan yang diwengku atau dinikahi laki-laki merupakan pernyataan sumpah janji suci yang dilegalisasikan oleh Tuhan.

Ketika janji suci itu dilanggar hanya karena menuruti daya sensualitas, praktis yang menjadi korban adalah para perempuan. Mereka merasa tidak dimanusiakan, tak diangkat harkat, derajat, dan martabatnya.

Kartini merasa prihatin atas kejemawaan laki-laki yang menganggap perempuan itu hanya berderajat sebagai kanca wingking. Dari pikiran-pikiran feodal inilah kemudian perempuan yang seharusnya diposisikan pada kedudukan empu ( per-empu-an ) yang bermakna sebagai induk, ibu, pelabuhan, atau fondasi keluarga jatuh menjadi hanya berfungsi sebagai pelayan.

Bila perempuan diposisikan seimbang dengan laki-laki secara ragawi, jasmani, fisik, atau  tubuh yang dipelihara secara konsisten maka kita dianggap memiliki kemampaun kuwat hanjunjung bumi.

Kelima, mewajibkan diri meniatkan laku hidup sebagai laboratorium ibadah suami istri dengan pengamalan nyata untuk merelisasikan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial atau dapat disebut sebagai pengalaman dan pengamalan madu karya.

Madu karya dapat dimaknai membangun konstruksi kekuatan profesi masing-masing secara proporsional. Perempuan selayaknya memiliki pekerjaan yang sesuai dengan kodrat dan wilayahnya.

Ketika perempuan tidak diberi kesempatan bertarung kreasi dalam profesi, dapat dipastikan laki-laki akan menutupi kegagahannya dengan korupsi. Demikian pula ketika perempuan malas-malasan, tidak ada jiwa kompetitif,  dan hidup hanya njagakke asile wong lanang.

Berdasar spirit inilah, pada 1903 Kartini mendirikan sekolah perempuan  dengan muatan kurikulum keterampilan berhitung, membaca, menulis, dan keterampilan kerumahtanggaan, seperti memasak, menjahit, dan pekerjaan lainnya.

Profesi atau pekerjaan yang saling menguntungkan dalam pengelolaan hidup yang bernilai ekonomis dan bermotivasi untuk mengonstruksi keluarga yang tenang dan penuh berkah inilah yang menjadi tuntutan emansipasi Kartini, yakni duduk sama rendah berdiri sama tinggi sesuai kodrat masing-masing.



Madu karya berarti kesatupaduan dalam bekerja untuk beribadah. Pada zaman modern ini bekerja bukan untuk kemuliaan, tetapi hanya semata mengumpulkan uang dan uang demi mencapai tujuan yang dimpikan, yakni kekayaan materi.

Akhirnya makna emansipasi bergeser jatuh ke jurang kebiadaban. Di mana-mana korupsi merajalela dan membudaya. Pencurian, pencucian uang, penggandaan uang, pemalsuan menjadi sesuatu yang dianggap biasa.

Walau banyak yang gagal merekonstruksi kekaryaan secara profesional, banyak orang yang diberi rahmat untuk mengolah diri sebagai sumber produktivitas bagi sesama. Orang-orang ini diberi kesempatan menebar dan menabur kemakmuran ilahi atau disebut sebagai kadunungan kuwat hanyebar wiji.

Andai  mutiara 5M di atas kita renungkan secara mendalam, tentu buah pikiran Kartini dapat menjelmakan peradaban manusia dan bangsa yang mulia.

Nilai-nilai emansipasi yang diperjuangkan akan menjadi inspirasi bagi para pemegang kekuasaan yang didominasi kaum laki-laki di negeri kaya raya ini.

Masyarakat yang diemban tidak akan terjebak dalam kubangan besar yang mengedankan. Yasraf Amir Pilliang (2011) menyebutnya sebagai kubangan-kubangan kegilaan terhadap dunia yang melampaui batas-batas kebudayaan manusia itu sendiri.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya