SOLOPOS.COM - Flo. Kus Sapto W. (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (7/9/2015), ditulis Flo. Kus Sapto W. Penulis adalah praktisi pemasaran.

Solopos.com, SOLO — Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) telah disikapi dengan berbagai aksi. Sejumlah serikat pekerja (SP) menggelar demontrasi di berbagai daerah Selasa pekan lalu.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Salah satu hasil positifnya adalah pembentukan gugus tugas antara pemerintah dan SP (Solopos, 2/9). Gugus tugas itu akan duduk bersama mencari penyelesaian berbagai permasalahan teknis dan strategis perburuhan.

Sebagian usulan SP dari 10 tuntutan yang dikemukakan adalah penolakan terhadap PHK dan masuknya pekerja asing. Seluruh pihak terkait tentu setuju PHK harus ditempatkan sebagai alternatif terakhir ketika tripartit telah mengusahakan berbagai cara pencegahan.

Dalam situasi pelemahan ekonomi seperti saat ini, penolakan SP terhadap kebijakan PHK sangat beralasan. Sedangkan penolakan terhadap pekerja asing juga menjadi upaya lain untuk memberi kesempatan kerja kepada pekerja dalam negeri.

Fenomena pekerja asing, seperti diulas Majalah Tempo edisi 31 Agustus 2015, memang memunculkan kecemburuan. Pekerja asing sekelas pekerja kasar menerima gaji Rp3–Rp4 juta sebulan. Pegawai lokal maskimal hanya Rp2 juta.

Selain itu, meskipun mekanisme perekrutan pekerja asing salah satunya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 72/2014–yang mensyaratkan ada pekerja lokal sebagai pendamping bagi pekerja asing–tetap saja terdapat banyak penyimpangan dalam tataran praksis.

Saat ini, dari seluruh pekerja asing di Indoensia, persentase pekerja asal Tiongkok tertinggi (23,7%). Diikuti dari Jepang (15,7%) dan Korea Selatan (11,8%). Jumlah pekerja asal Tiongkok sekitar 70.000.

Sepanjang 2015 ini, sudah ada 30.000 ribu pekerja lokal yang terkena PHK. Angka pengangguran masih 7,45 juta orang. Pekerja asing secara objektif harus juga dijadikan pembelajaran positif. Etos kerja dan semangat penyelesaian target pekerjaan sangat tinggi.

Hal ini harus dijadikan inspirasi positif bagi para pekerja lokal. Dalam konsep pemikiran strategis–terlepas dari berbagai persoalan teknis-strategis–bagaimana situasi PHK dan pasar dunia kerja saat ini sebaiknya dipahami?

Disadari atau tidak, pekerja dan pengusaha telah terkondisi dalam sebuah relasi transaksional. Pekerja diupah sesuai capaian kinerja tertentu. Jenis pekerjaan disediakan bagi spesifikasi (produk) pekerja tertentu.

Mekanisme ini telah merasuki hampir keseluruhan kehidupan sosial. Institusi produksi (pendidikan, balai latihan kerja) menyusun seluruh tools proses pendidikan-pelatihan sesuai kebutuhan pasar pekerja.

Nilai-nilai dari semua peranti pembentuk supply and demand itu telah merambah ke ranah sosial. Misalnya, nilai dan makna pertemanan cenderung didasarkan hanya pada pertimbangan rugi laba. Selagi menguntungkan masih berteman.

Kala merugikan diberi jeda. Demikian juga dengan ikatan perkawinan yang tidak jauh berbeda. Saat sehat dan menghasilkan (profit) tetap rekat dan berdampingan. Ketika sakit dan pailit (loss) tidak lagi diapit. Persekutuan politik apalagi. Akankah keseluruhan aspek kehidupan sosial sebatas itu?

Bisa jadi argumen Karl Polanyi benar tentang hal ini (2009). Situasi harmoni sosial (damai) hanyalah fenomena semu. ”Perdamaian” duniawi–terutama yang dikemas dalam mekanisme kapital–sejatinya dicapai dengan menepikan segala nilai hakiki kemanusiaan.

Kebebasan manusiawi diberangus oleh kekuatan besar berkedok otoritas sehingga tercipta kesenjangan lebar. Muncul kelas sosial  miskin dan kaya. Pemegang kekuasaan adalah pemilik modal terbesar. Polanyi mengangggap hal itu sebagai kegagalan kapitalisme. [Baca: Kehidupan Seluruh Warga]

 

Kehidupan Seluruh Warga
Pembandingnya adalah sebuah kearifan lokal kehidupan tradisional di Pulau Trobriand. Kurang lebih identik dengan suku-suku asli di negeri kita. Konkretnya adalah dalam pengumpulan hasil panen atau buruan pada mekanisme adat.

Praktik itu terbukti berhasil memberikan kehidupan bagi seluruh warga, bahkan ketika beberapa kebutuhan tidak bisa dicukupi sendiri sehingga harus barter dengan suku lain. Ini sebuah fenomena sosial yang masih belum bisa dihadirkan oleh manajemen operasi sosial moderen.

Mekanisme sosial semacam itu diyakini bisa eksis ketika spirit berbagi justru tidak dilandasi pertimbangan untung atau rugi. Ini sebuah fenomena sosial yang dianggap telah dikalahkan oleh kekuatan modal.

Kapitalisme di sisi yang lain juga menampilkan sisi-sisi terbaik kehidupan. Fukuyama dalam The Great Disruption (2000) memaparkan sisi baik kapitalisme dalam bentuk kejujuran, keandalan, timbal balik, dan pembebasan masyarakat sosial bawah dari ketergantungan ekonomi terhadap kelas sosial atas (bangsawan).

Penekanan pada kualitas, upah, penarikan produk yang cacat di pasar adalah bentuk-bentuk tanggung jawab positif dalam mekanisme kapitalis. Tentunya ini tidak bisa demikian saja diabaikan sebagai sebuah hasil baik bagi humanisasi.

Manusia dalam sistem kapitalis juga semakin mendapatkan hak-hak manusiawinya. Kini fenomena pasar pekerja sudah sedemikian kompleks, misalnya jika dibandingkan dengan catatan empiris di Jawa. Mas Oli dalam Pekerdja di Djawa Temopo Doeloe (2013) setidaknya mencatat beberapa hal terkait pekerjaan orang Jawa.

Sensus penduduk oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1930 mencatat ada 30.000 jiwa dari 41 juta penduduk Jawa bekerja sebagai rentenir (13,6%). Sebanyak 65% bekerja sebagai pengolah lahan.



Menariknya, bertani adalah pekerjaan pokok yang tetap dijalankan di samping aktivitas lain dalam dua hingga empat  pekerjaan sambilan. Tentu fenomena pekerja di Jawa tidak cukup dipahami dalam periode abad ke-19.

Setidaknya catatan itu menunjukkan ada pengaruh kekuatan modal yang berdampingan dengan pekerjaan mengolah lahan dan pekerjaan sambilan lain dalam mencari tambahan. Apa inspirasi dari statistik pekerja Jawa tempo dulu dikaitkan dengan kondisi pasar pekerja saat ini?

Pertimbangan utamanya tentu di tengah ancaman PHK dan tuntutan kenaikan upah minimum regional (UMR) yang telah menjadi bagian klise bagi pengusaha dan esensial bagi pekerja sebab senantiasa ditawar di satu sisi dan diperjuangkan di sisi yang lain. [Baca: Kebijakan]

 

Kebijakan
Perjuangan di tingkat kebijakan masih terus diupayakan. Terobosan ada baiknya juga dilakukan oleh para pekerja dan organisasinya, misalnya pekerja pemula tidak seyogianya dibiarkan berjuang sendirian.

Pekerja yang lebih senior harus mau ”merugi” dalam sebuah mekanisme kerja. Pemula yang belum banyak punya pilihan ini bisa dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam sistem subsidi silang (working group).

Kinerja kelompok akan mampu menyubsidi kinerja individu yang kurang. Sistem itu menghindarkan pekerja pemula diberhentikan dalam masa percobaan. Contoh konkretnya adalah dalam kegotongroyongan buruh angkut di Pasar Boyolali.

Hasil bekerja dari pagi sampai pukul 12.00 WIB untuk seluruh anggota sama rata, termasuk bagi buruh yang tidak bekerja karena sakit. Selepas pukul 12.00 WIB, masing-masing buruh angkut bebas bekerja untuk pendapatan pribadi.

Para pekerja senior seyogianya juga tidak dijebak dalam penguasaan pemilik modal. Seakan-akan gaji hanya mengikuti deret tambah yaitu ”gaji+n” (persentase normatif kenaikan gaji tahunan). Bagi mereka, layak diwacanakan ada mekanisme remunerasi mengikuti deret ukur perkalian yaitu ”gaji x n” (tak terhingga tergantung kinerja).

Konsepnya adalah perlakuan sebagai semientrepreneur. Implementasinya adalah penggabungan antara franchise dan labourship di dalam perusahaan. Idealnya, di dalam situasi terdampak PHK, mereka akan lebih siap. Toh mereka sudah setengah entrepreneur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya