SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi Alumnus JurusanPendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Muhammadiyah Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Bandung Mawardi
Alumnus JurusanPendidikan
Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah
Universitas Muhammadiyah
Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Peristiwa politik menjadi peristiwa berangka. Beberapa hari lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundi nomor partai politik untuk mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Pengundian membuat elite-elite partai politik berdoa dengan kencang demi pengharapan mendapat angka idaman.

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Politik tak cuma berurusan dengan misi dan visi tapi bergantung pada angka. Sepuluh partai politik menginginkan angka idaman berdalih kemenangan dan popularitas. Dalil politik mutakhir di Indonesia: partai politik tergantung pada angka.

Foto-foto di berbagai koran edisi 15 Januari 2013 menampilkan adegan para petinggi partai politik berjajar memegang papan angka sesuai hasil pengundian. Mereka berwajah semringah. Angka-angka merangsang optimisme berpolitik.

Partai politik telah menggenapi lambang dengan angka. Pengenalan partai politik mesti gencar agar lambang dan angka merasuk ke kalbu publik. Peristiwa mendapat angka ibarat mendapat ramalan nasib. Partai politik menjelma dalam angka-angka keramat. Politik menjadi mistik.

Pemaknaan angka diberikan untuk menjelaskan politik. Referensi-referensi digunakan sembarangan demi klaim-klaim mengeramatkan angka. Para elite di partai politik mengartikan angka 1–10 dengan nalar dan imajinasi tak keruan. Komentar-komentar mereka mengarah ke pendangkalan tafsiran.

Politik menampilkan adu tafsiran angka. Angka-angka ditafsirkan mengacu ke Pancasila, Wali Songo, Ronaldo, Messi. Tafsiran politis, ideologis, mistis diajukan ke publik. Angka-angka jadi argumentasi berpolitik mengandung parodi dan ironi.

 

Logis

Pengetahuan tentang angka sudah bertumbuh sejak ribuan tahun silam. Urusan angka sering mengingatkan kita dengan tokoh moncer dalam sejarah filsafat dan matematika: Pythagoras. Kaum Pythagorean menganggap dunia disusun dengan angka-angka.

Mereka pun memiliki pandangan logis dan mistis terhadap angka. Pandangan mistis kaum Pythagorean untuk perbedaan angka genap dan ganjil masih berlaku sampai sekarang. Angka ganjil menempati posisi kanan dengan pengertian maskulin, terbatas, lurus, cahaya, kebaikan. Angka genap menempati posisi kiri dengan pengertian feminin, tak terbatas, keragaman, kejahatan, kegelapan, setan (Annemarie Schimmel, 2004: 25).

Pemaknaan mistis berkaitan dengan tatanan dunia dan kosmologi merujuk ke peradaban di masa silam. Kita bisa mengandaikan para elite partai politik menggunakan referensi itu untuk mengartikan angka-angka di politik. Politik di Indonesia tidak sekadar memerlukan uang dan keperlentean.

Agenda menjadi manusia politik juga mesti memiliki modal pengetahuan angka. Kaum elite politik mungkin sudah khatam buku-buku Plato mengenai politik. Mereka tentu mengetahui buku berjudul Republic. Plato memang memberi pelajaran-pelajaran politik secara filosofis tapi turut mengenalkan berpolitik dengan mistisisme angka.

Politik dan mistik sulit dipisahkan. Dewa, manusia, hewan, tumbuhan tergantung pada tafsiran-tafsiran mistis terhadap angka. Dali S Naga dalam buku Berhitung: Sejarah dan Pengembangannya (1980) mengingatkan bahwa ilmu angka dan pemujaan angka menentukan pertumbuhan ilmu matematika, politik, ekonomi dalam sejarah peradaban manusia.

Kita bisa curiga bahwa para elite partai politik mengerti angka dari memori pelajaran Matematika saat di SD, SMP, SMA. Angka dipahami sebagai tanda untuk berhitung. Mereka mungkin malas mempelajari pengetahuan angka dari rujukan-rujukan filsafat, agama, kearifan lokal. Dunia politik memang sering bergelimang kata sebagai modal memamerkan retorika.

Politik di Indonesia pun memerlukan angka sebagai simbol meraih kekuasaan. Pemujaan angka membuat politik jadi unik dan menggelitik. Mereka menginginkan angka-angka bertuah dengan tafsiran-tafsiran sembarangan. Kita cuma meringis dan memberi tawa kecil atas komentar-komentar mereka mengenai angka berkaitan nasib partai politik di Pemilu 2014.

Pesona angka telah memengaruhi arus peradaban manusia. Angka tak bisa diciutkan demi pamrih politik picisan. Sejarah angka memuat agenda-agenda manusia dalam memahami berbagai hal. Para sarjana, teolog, filsuf, pujangga di masa silam sering bersandar pada angka untuk membeberkan risalah-risalah ilmu, seni, agama.

Annemarie Schimmel (2004) menganggap bahwa buku The City of God (Agustinus), Ihya Ulumuddin (Al Ghazali), Divine Comedy (Dante) dipengaruhi oleh pengetahuan angka. Angka mengandung makna berlimpah.

 

Sihir

Kita mesti mengharap keinsafan para elite politik agar tak ”memuja” angka dengan pemahaman-pemahaman sembarangan. Kita juga harus memberi maklum bahwa mereka sibuk oleh agenda-agenda besar. Renungan angka atau membaca buku-buku Plato, Agustinus, Al Ghazali, Dante mungkin tak ada di daftar agenda kerja harian.

Politik tak memberi waktu senggang. Politik adalah urusan bergerak cepat dan tergesa. Kesibukan membuat ocehan atau tulisan politik tak mengandung refleksi. Politik justru memuat penjelasan-penjelasan manipulatif. Sepuluh partai politik di Indonesia telah memiliki angka.

Mereka lekas bekerja mengabarkan angka ke publik agar tergoda memuja partai politik. Indonesia belum beranjak dari argumentasi politik rasional dan bermartabat. Politik seolah permainan kata dan angka dengan penjelasan-penjelasan tidak sahih.

Kita menghormati intelektualitas kaum elite politik tapi berharap mereka mawas diri dalam mengamalkan ilmu dan mengejawantahkan politik. Angka tidak mesti dikeramatkan demi peruntungan partai politik. Indonesia tak tergantung pada politisasi angka berpamrih kekuasaan.



Dunia politik di Indonesia perlahan imajinatif. Pembelajaran politik diabaikan oleh para elite politik. Mereka terlalu membahasakan politik sebagai perebutan kekuasaan. Angka-angka pun ditafsirkan demi memenuhi nafsu kekuasaan.

Angka adalah sihir politik. Kaum elite politik di Indonesia memang jarang mengajak publik menapaki renungan-renungan pengetahuan. Politik justru menjadi selebrasi pembodohan berpamrih hajatan demokrasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya