SOLOPOS.COM - Isharyanto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (4/8/2015), ditulis Isharyanto. Penulis adalah Doktor Hukum Tata Negara dan dosen di Fakultas Hukum  Universitas Sebelas Maret. 

Solopos.com, SOLO — Hajatan demokrasi lokal di Jawa Tengah berupa pemilihan kepala daerah (pilkada) akan serentak dilakukan di 21 kabupaten/kota. Jumlah calon pemilih di Jawa Tengah sebanyak 15,2 juta orang.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Hingga akhir pekan lalu seluruh daerah yang akan menyelenggarakan pilkada itu telah menyelesaikan tahap pendaftaran kandidat bupati/wali kota dan kandidat wakil bupati/wakil wali kota.

Di wilayah Soloraya ada 17 pasangan kandidat kepala daerah dan kandidat wakil kepala daerah yang akan berlaga di pilkada. Seluruh kabupaten/kota di kawasan ini didominasi pasangan kandidat yang diajukan partai politik.

Hanya di Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali yang ada pasangan kandidat kepala dan wakil kepala daerah dari jalur perseorangan atau independen. Tampaknya sejak awal Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan hanya memberi perpanjangan waktu pendaftaran selama tiga hari bagi daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon atau hanya ada pasangan calon tunggal.

Lebih dari itu, pilkada akan ditunda dan diikutsertakan pada gelombang kedua pada 2017. Penyelenggara pemilihan umum (pemilu) tidak akan memberi toleransi kepada daerah karena berkaitan dengan waktu yang mepet.

Jadwal pelaksanaan pilkada serentak yang disusun KPU memang memprioritaskan alokasi waktu yang paling sesuai dengan UU tentang Pilkada. Artinya, pilkada serentak gelombang pertama harus selesai pada 2015.

Asumsinya, setiap partai politik memiliki kader yang siap dicalonkan atau mencalonkan diri, kapan pun kontestasi pilkada dilaksanakan. [Baca: Partai Politik]

 

Partai Politik
Sampai dengan tahap pendaftaran calon kepala dan wakil kepala daerah ini, dengan penghargaan yang tinggi terhadap mereka yang berjuang lewat jalur perseorangan, tampak bahwa peran partai politik sangat dominan.

Tidak berlebihan bila kemudian ada analisis hipotetis bahwa pertarungan pemilihan kepala daerah di Soloraya  sebenarnya adalah pertarungan para tokoh lokal, yang pantas disebut sebagai oligarki lokal.

Mereka yang bertarung dalam pilkada adalah “orang kuat” di daerah yang pada setiap periode pemilu menguasai jaringan dan sumber daya politik. Mengapa jaringan dan sumber daya menjadi penting? Secara realistis kandidat kepala daerah tidak mungkin mencukupi pembiayaan pencalonannya seorang diri.

Biasanya seorang kandidat kepala daerah akan mengumpulkan biaya dari berbagai pihak atau sponsor dengan konsesi-konsesi ekonomi politik yang disepakati di awal atau disepakati kemudian. Konsekuensi logis dari pola pendanaan seperti ini tentunya adalah pada tingkat independensi sang kepala daerah terpilih terhadap pemilik modal.

Ketika hanya ada dua pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah yang bertarung, akan terjadi persaingan sengit yang menghadapkan partisipasi publik dengan kekuatan kapital. Sejalan dengan itu, peluang partisipasi rakyat menjadi kecil karena ancaman dominasi kapital yang begitu besar dalam keseluruhan proses pemilihan.

Seleksi para kandidat kepala dan wakil kepala daerah dilakukan sepenuhnya oleh pengurus partai politik. Adanya kewajiban mendapat ”rekomendasi” dari pengurus pusat partai politik makin mempertinggi voting block yang dimiliki oleh pengurus pusat.

Besar kemungkinan kandidat kepala dan wakil kepala daerah yang akan meraih dukungan pencalonan resmi dari partai politik hanyalah kandidat yang memiliki jaringan dan pengaruh yang kuat secara organisasi ke setiap tingkatan kepengurusan partai politik.

Kecil peluang bagi kandidat kepala dan wakil kepala daerah yang tidak memiliki jam terbang yang cukup di dalam partai politik, apalagi di luar partai  politik, untuk dapat menancapkan pengaruhnya dalam waktu singkat.

Oleh sebab itu, kandidat kepala daerah pada umumnya tidak memiliki keleluasaan untuk menentukan pasangan (kandidat wakil kepala daerah) dan orientasi politiknya. Sekali lagi, beberapa orang elite partai politik menjadi penentu akhir dari output yang dihasilkan oleh mesin penyaring calon kepala daerah.

Dari prosedur ini tampak bahwa peranan partai politik menjadi penting sebagai ajang perebutan tiket maju sebagai calon kepala daerah dari partai politik. Tiket partai politik yang terbatas menjadi rebutan para politikus yang hendak maju dalam pilkada, sehingga tak mengherankan bila banyak menimbulkan gesekan.

”Rekomendasi pusat”, sekalipun kadang-kadang berhenti di tataran normatif, menjadi kata sakti untuk menjadi pemutus akhir. Keputusan calon yang diusung partai politik dalam pilkada bergantung pada pimpinan pusat maka rekomendasi pengurus partai di tingkat lokal seringkali ”dianulir”. [Baca: Koalisi Cair]

 

Koalisi Cair
Fenomena selanjutnya adalah koalisi partai politik dalam pilkada kali ini amat cair. Hal ini sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh partai politik. Pengurus partai politik sadar tidak semua calon kepala dan wakil kepala daerah punya elektabilitas yang tinggi di suatu daerah.

Perolehan suara atau kursi dalam pemilu legislatif bisa menjadi daya tawar berkoalisi untuk menentukan posisi calon kepala dan wakil kepala daerah. Di sini pemilu legislatif terakhir bisa menjadi pegangan, tidak saja untuk mengukur keterpilihan pasangan calon, tetapi juga untuk mengukur kekuatan koalisi di DPRD dalam rangka mendukung roda pemerintahan.

Partai politik selalu memiliki harapan mendapatkan suara dan kursi lebih besar dalam pemilu legislatif. Ini murni problem psikologis. Ada kecenderungan bahwa elite partai politik masih memupuk harapan karena “nasib orang siapa tahu.”



Lagi pula kalau mengikuti secara kaku pembelahan kaukus politik menjadi Koalisi Indonesia Hebat dna Koalisi Merah Putih seperti dalam pemilihan presiden tahun lalu bisa disebut “kalah sebelum perang.”

Akibatnya proses pembentukan koalisi berlangsung terburu-buru, kurang dari satu bulan. Terdapat koalisi pengusung pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah yang terbentuk beberapa jam sebelum pendaftaran pasangan calon ditutup.

Idealnya koalisi harus dirancang secara matang disertai hak dan kewajiban setiap peserta koalisi secara terperinci, detail, bila perlu disertai pula ketentuan-ketentuan sanksi bagi partai politik yang tidak konsisten dan tidak mampu menjaga komitmen.

Jangan menerima partai politik yang bergabung dalam koalisi hanya dengan keputusan yang diambil secara oligarkis, hanya kemauan elite di pengurus pusat. Keputusan partai politik yang hendak bergabung dalam koalisi harus diambil dalam mekanisme yang demokratis, minimal dalam rapat kerja nasional yang melibatkan semua komponen strategis dari partai politik itu, dari tingkat elite hingga grassroot.

Dengan proses pembentukan koalisi yang terburu-buru, sulit diharapkan terbentuk koalisi solid. Partai-partai politik tidak mungkin menyusun platform politik sebagai dasar pengikat koalisi; sebaliknya, mereka terjebak pada tawar-menawar politik yang bersifat transaksional. [Baca: Perhatian]

 

Perhatian
Menghadapi pilkada serentak di wilayah Soloraya ada dua hal yang perlu diperhatikan.  Pertama, faktor partai politik sebagai mesin politik dalam pemilihan ternyata belum mati.

Partai politik sebagai pintu masuk perekrutan calon kepala daerah masih memainkan peran yang cukup signifikan. Masih bekerjanya mesin partai politik yang cukup efektif untuk meraup suara juga cukup terbukti dalam beberapa pilkada di sejumlah kabupaten/kota.

Kedua, faktor figur calon kepala daerah. Agaknya figur calon kepala daerah juga akan sangat menentukan dalam pemilihan. Dalam pilkada di sejumlah kabupaten/kota menunjukkan bahwa suara partai di pemilu legislatif tak bermakna dalam pilkada bila ternyata kandidat yang diusung tidak populer di mata rakyat atau pemilih.

Satu hal lain yang tak kalah pentingnya untuk dicermati adalah pola perilaku pemilih, terutama di daerah-daerah yang terdapat variasi pemenang pemilu serupa dalam 10 tahun terakhir. Ternyata di daerah-daeerah seperti itu rakyat atau pemilih mudah mengalihkan pilihan.

Oleh karena itu, penting kiranya bagi para aktor politik untuk mencari tahu faktor apa gerangan yang memengaruhi konsistensi pilihan rakyat atau pemilih tersebut. Sesungguhnya rakyat atau pemilih memiliki nalar politik sendiri yang tak jarang sulit dipahami oleh aktor-aktor politik dalam pemilihan umum.

Tahapan pilkada secara formal masih berlangsung hingga diketahui hasilnya setelah pemungutan suara pada 9 Desember yang akan datang. Sebagai tahapan demokrasi yang diharapkan mempercepat demokratisasi di tingkat lokal maka pilkada di Soloraya menjadi batu uji untuk menilai seberapa besar demokratisasi itu berlangsung.

Pilkada akan menjadi api politik yang bagus, memanaskan budaya  berdemokrasi modern, manakala diikuti dengan kesadaran partai politik untuk bersedia melakukan pembenahan secara radikal dalam hal perekrutan dan kaderisasi calon pemimpin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya