SOLOPOS.COM - Abdullah Hanif Peserta Program Magister Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogja. (FOTO/Istimewa)

Abdullah Hanif
Peserta Program Magister
Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Jogja. (FOTO/Istimewa)

”Orang yang berpendidikan yang nyopet itu tidak seperti copet, tapi koruptor!” Koruptor sekali melakukan aksinya dapat mencopet ratusan juta hingga miliaran rupiah.” Kemudian ditimpali oleh seorang murid,”Iya, Bang, kita pingin jadi koruptor! Hidup koruptor!”(Alangkah Lucunya Negeri Ini, 2010)

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Narasi dialog di atas saya kutip dari film Alangkah Lucunya Negeri Ini karya Deddy Mizwar. Dialog di atas diucapkan oleh Syamsul (diperankan Asrul Dahlan), seorang sarjana pendidikan yang masih menganggur, ketika memberikan motivasi kepada para pencopet cilik agar mau belajar serius.

Meskipun film tersebut diproduksi pada 2010, namun pesan yang disampaikan (dialog di atas) jelas menggambarkan kondisi riil bangsa kita saat ini. Koruptor hadir sebagai profesi baru ”yang paling banyak diminati”. Terlebih saat kita menelaah vonis hakim untuk terdakwa kasus korupsi di dua kementerian, Angelina Sondakh, beberapa hari yang lalu.

Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Angie—demikian politisi Partai Demokrat ini biasa disapa–hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Namun, vonis hakim hanya memberikan hukuman empat tahun enam bulan penjara serta denda Rp250 juta. Bahkan, Angie sama sekali tidak diminta mengembalikan uang hasil korupsinya. Ia juga masih menerima gaji profesinya sebagai anggota DPR.

Vonis tersebut tentu bagaikan jauh panggang api mengingat nilai dana yang dikorupsi Angie mencapai puluhan miliar rupiah. Sebenarnya fenomena seperti ini bukanlah kali pertama terjadi. Kita masih ingat vonis empat tahun 10 bulan bulan penjara bagi terpindana kasus suap Wisma Atlet, M Nazaruddin. Padahal ia dituntut tujuh tahun penjara.

Terpidana kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom, dituntut lima  tahun penjara, namun vonis hakim hanya tiga tahun penjara. Terpidana kasus  dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) yang dituntut 14 tahun penjaran, namun hanya divonis enam tahun penjara.

Fakta-fakta di atas amat menyesakkan hati masyarakat Indonesia, sekaligus preseden buruk bagi penegakan keadilan hukum Indonesia. Spirit untuk memerangi korupsi yang digawangi KPK justru blunder di pengadilan. Efek jera yang hendak diberikan oleh hukum bagi para koruptor hanya tinggal narasi semata. Besar kemungkinan di masa depan kuantitas koruptor semakin meningkat, mengingat rendahnya hukuman yang diterima. Alangkah enaknya jadi koruptor.

Vonis-vonis di atas juga seolah-olah menunjukkan bahwa hukum hanya memihak kaum beruang. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tidak heran pula jika hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada pertengahan Desember 2012 menyatakan bahwa persepsi publik terhadap kondisi hukum di Indonesia terus memburuk.

Realitas sistem hukum dan peradilan di negeri ini tampaknya juga tergambarkan jelas dalam penelitian yang dilakukan The Asia Foundation dan AC Nielsen yang antara lain menyatakan 49% responden menyatakan sistem hukum tidak melindungi mereka (the legal system does not protect them), 38% responden menyatakan tidak ada persamaan di muka hukum (there is no such thing as equality before the law) dan 57% responden menyatakan sistem hukum masih tetap korup (the legal system is just as corrupt as it has always been problem).

Setidaknya ada tiga faktor penyebab rendahnya konsistensi hukum Indonesia di mata masyarakat yang sekaligus memicu people distrust. Pertama, undang-undang diproduksi untuk memfasilitasi kepentingan kaum elite. Undang-undang yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, sering kali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa.

Kedua, rendahnya integritas aparat penegak hukum. Penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan advokat lebih mementingkan kepentingan pribadi dalam menegakkan hukum. Mereka beramai-ramai mengeruk materi dalam setiap kasus hukum yang dihadapi. Wakil Ketua Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh (2012), mengakui Komisi Yudisial sering menerima aduan tentang perilaku hakim yang banyak melanggar kode etik.

Ketiga, rendahnya gereget bertindak konstitusional dari penyelenggara negara. Lihat saja kasus korupsi yang melanda pejabat parlemen. Padahal, mereka mengampanyekan berantas korupsi, namun ironisnya justru mereka malah melakukannya sendiri.

 

Main Hakim Sendiri

Masyarakat tidak buta melihat kondisi anomali hukum ini. Stigma pun melekat erat pada konstitusi hukum. Imbasnya, masyarakat kini lebih memilih cara instan dalam menyelesaikan masalah daripada memasrahkannya kepada institusi hukum. Masyarakat menganggap hukum hanya berpihak pada kaum elite, mudah dipolitisasi dan bertele-tele. Hal ini didukung oleh rendahnya integritas penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan advokat.

Jika memakai kacamata Emile Durkheim, masyarakat seperti ini menerapkan hukum yang bersifat represif. Hukum yang dilandasi kemarahan kolektif yang muncul akibat tindakan menyimpang dari pemegang penegak hukum. Hukum diorientasikan untuk memberi peringatan anggota masyarakat lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama.

 

Tragedi

Fakta ini bukan pepesan kosong. Akhir 2012 lalu kita disuguhi tragedi berdarah di Ambon yang menewaskan delapan orang. Tragedi tersebut melibatkan warga tiga desa yakni warga Desa Sepa, Kamariang dan Hualoy. Padahal, akar muara permasalahannya amat sepele, hanya lantaran disenggol kendaraan. Masih banyak rentetan kasus lainnya dalam kurun waktu 2012 yang juga diselesaikan dengan main hakim sendiri.

Main hakim sendiri dan tindak anarkistis lainnya memang kini dinilai lebih efektif dan solutif. Masyarakat sudah mulai tidak percaya lagi (people distrust) terhadap penegakan hukum. Pemicunya tidak lain adalah banalitas hukum seperti kasus ketidakadilan hukum bagi koruptor di atas.

Untuk itu, demi kembali mendapatkan legitimasi penuh dari masyarakat, mau tidak mau penegak hukum Indonesia harus bebenah. Mengembalikan kepercayaan publik secara prinsipil perlu memperkuat empat dimensi, yakni kompetensi hukum, transparansi hukum, kepedulian hukum dan reliabilitas hukum.

Harapan rakyat agar hukum tak tebang pilih mutlak harus direalisasikan. Koruptor harus dihukum seberat-beratnya karena termasuk extraordinary crime. Tak bisa dibayangkan bila rakyat secara kolektif tidak menaruh kepercayaan terhadap institusi hukum. Apa bedanya ada atau tidak adanya hukum di negeri kita tercinta ini?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya