SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (8/9/2015), ditulis Bandung Mawardi. Penulis adalah pendiri Sekolah Bahasa Indonesia di Pare, Kediri, Jawa Timur.

Solopos.com, SOLO — Bahasa Indonesia bermula dengan undang-undang dan peraturan. Kita diharapkan patuh berbahasa Indonesia demi kedaulatan berbangsa bernegara. Konklusi itu muncul akibat polemik dan kontroversi mengenai penghapusan kewajiban berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Polemik dan kontroversi berbarengan suka cita berbangsa bernegara. Kita sejenak mengingat bahwa peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia patut dilanjutkan 70 tahun bahasa Indonesia jika menilik keberadaan pasal-pasal dalam UUD 1945.

Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara telah disepakati para pemimpin bangsa dalam sidang bernuansa tergesa-gesa dan revolusioner, 18 Agustus 1945. Ketetapan itu muncul saat para pemimpin bangsa bersidang menggunakan bahasa Indonesia untuk berdebat dan bermufakat (Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, 1959).

Kita tak ingin melanjutkan uraian berkaitan negara. Masalah bakal jadi pelik dan dilematis. Kita mendingan ikut mengurusi bahasa Indonesia dari kampung. Sejak 2012, saya sering berkunjung ke Pare, Kediri, Jawa Timur. Selama puluhan tahun, kampung dalam peta geogragfi Jawa Timur itu dijuluki ”kampung Inggris”.

Ribuan orang berstatus pelajar, mahasiswa, guru, dosen, dan pegawai dari pelbagai penjuru berdatangan ke Pare mengikuti kursus bahasa Inggris. Mereka belajar selama sebulan sampai setahun. Konon, agenda belajar bahasa Inggris penting untuk menunjang perkuliahan dan mencari pekerjaan.

Mereka telah memastikan bahasa Inggris bertuah alias mengantar mereka menjadi pejabat, pengusaha, pekerja, pegawai, atau buruh. Bahasa Inggris demi rezeki. Mereka tentu tak bisa memosisikan bahasa Indonesia setara dengan bahasa Inggris. Mereka pasti sadar acara-acara akbar bertema pekerjaan berjudul job fair.

Orang tak bisa berbahasa Inggris tentu sungkan dan malu mengunjungi job fair. Ia mungkin membatin pencari kerja adalah manusia berbahasa Inggris. Bukan kemampuan berbahasa Indonesia dan Jawa. Kini, ada 160-an lembaga penyelenggara kursus bahasa Inggris di Pare.

Julukan sebagai ”kampung Inggris” lumrah berlaku. Ribuan orang belajar bahasa Inggris sejak pagi sampai malam. Di puluhan tempat kursus, berlaku aturan peserta harus selalu berbahasa Inggris selama 24 jam. Di kampung itu, mata kita bisa melihat papan nama, spanduk, poster berbahasa Inggris.

Bendera-bendera Amerika Serikat dan Inggris juga dipasang. Nama-nama tempat kursus tentu berbahasa Inggris. Di warung dan jalan, orang-orang berbahasa Inggris. Situasi itu membuat saya tersiksa dan marah. Air mata tak menetes tapi dendam mulai membara.

Para pembelajar itu berwajah Jawa, Bugis, Sunda, Bali, Betawi, Madura, Papua, Minangkabau, dan Betawi, tapi berlagak menjadi “orang asing” akibat gandrung dan ingin fasih berbahasa Inggris. Barangkali tuduhan ini sembarangan dan picik.

Hari demi hari berganti. Dendam tak jua mau reda. Renungan demi renungan perlahan sampai ke jawaban. Saya berpamitan kepada simbok, istri, dan anak untuk kembali ke Pare demi dendam. Pakaian dalam tas, uang cuma sedikit, dan buku dua kardus menjadi bekal keberangkatan ke Pare, naik bus selama lima jam di rute Solo-Kertosono.

Di Pare, saya dan Uun Nurcahyanti (aktivis budaya literer di Kediri) berkeputusan mendirikan Sekolah Bahasa Indonesia (2012). Pembelajaran dilakukan di gubuk sederhana. Saya bertugas jadi pengajar tunggal untuk tiga kelas. Pembelajaran dimulai pukul 06.00 WIB pagi sampai 22.00 WIB.

Sebanyak 36 orang mengikuti Sekolah Bahasa Indonesia. Mereka angkatan pertama. Mereka sempat diremehkan dengan tuduhan: Orang Indonesia kok belajar bahasa Indonesia. Kaum penuduh sudah menebar “kejahatan”. Kalimat-kalimat mereka mengesankan derajat bahasa Inggris di atas bahasa Indonesia. Dendam pun bertambah dan berkobar.

Bahasa Indonesia sudah asing bagi para pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen. Di Indonesia, mereka sengaja tak mengharuskan gandrung berbahasa Indonesia. Barangkali mereka malas mengikuti mata pelajaran atau mata kuliah bahasa Indonesia saat belajar di SD sampai perguruan tinggi.

Bahasa Indonesia itu dipelajari agar naik kelas atau lulus. Bahasa Indonesia tak terlalu diartikan sebagai referensi pembentukan identitas atau nasionalisme mengacu kaum muda (1928), para sastrawan, dan tokoh-tokoh pergerakan politik kebangsaan. Mereka mungkin melupakan bahwa bahasa Indonesia itu sendi sejarah berbangsa bernegara.

Bahasa Indonesia telanjur diremehkan dari urusan-urusan keseharian sampai kedaulatan. Di Pare, bahasa Indonesia itu ”asing” dan ”rendahan”. Saya menderita tapi tak berair mata. Sejak 2012 sampai sekarang, sekian orang tetap tekun mengikuti Sekolah Bahasa Indonesia.

Pengajaran pokok adalah membaca, menulis, dan bercakap-cakap. Bahasa Indonesia mulai merangsang kemauan mengerti pelbagai hal. Bahasa Indonesia tak melulu pelajaran seperti di sekolah dan universitas.

Buku-buku mengenai sejarah bahasa Indonesia, artikel-artikel bahasa di Tempo dan Kompas, novel, puisi, dan buku-buku masa kolonial jadi bekal belajar bersama.

Pengisahan para tokoh bahasa Indonesia disampaikan demi mengingat sejarah dan pengabdian pahlawan bahasa. Mereka perlahan mengenali Muhammad Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, W.J.S. Poerwadarminta, Sutan Mohamad Zain, Armijn Pane, dan E. St. Harahap. [Baca: Pembaca dan Penulis]

 

Pembaca dan Penulis
Semula, mereka adalah pemilik dan kolektor kamus-kamus bahasa Inggris. Mereka  segera menjadi pembaca dan penikmat Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tesaurus Bahasa Indonesia. Mereka mulai berani pamer buku-buku berbahasa Indonesia di hadapan kerumunan pemuja bahasa Inggris.

Keputusan mengikuti Sekolah Bahasa Indonesia merangsang mereka menjadi pembaca dan penulis. Mereka juga jadi ”cerewet”. Berbahasa Indonesia itu kebanggaan, kehormatan, dan kemuliaan. Bahasa Indonesia tak melulu untuk nilai, kelulusan, atau bersaing mendaftar di job fair.

Bahasa Indonesia masih minoritas di Pare tapi perlahan bergerak sebagai misi literasi. Murid-murid di Sekolah Bahasa Indonesia membikin buletin berjudul Mlaku, berisi tulisan-tulisan berbahasa Indonesia: cerita pendek (cerpen), puisi, esai, dan resensi buku.



Buletin dibagikan secara gratis dan diobrolkan. Belajar bahasa Indonesia merangsang kemauan berliterasi. Sekian orang malah sudah berhasil menulis di pelbagai koran dan menghasilkan beberapa buku. Cerita kecil itu tak seheboh sejarah bahasa Indonesia.

Saya ingat artikel berjudul Bahasa dan Kemerdekaan garapan Radja Tjantik, dimuat di Asia Raya edisi 7 April 1945. Kalimat-kalimat menggebu, tak lupa pamer tanda seru: Bahasa Indonesia, bahasa persatoean, itoelah api jang dahsjat! Bahasa itu mengobarkan nasionalisme.

Bahasa Indonesia membuktikan perlawanan demi kemerdekaan dan kedaulatan. Bahasa itu api tak pernah padam.  Kalimat bertanda seru itu letupan impian merdeka. Kalimat itu pernah ada dalam sejarah Indonesia, sebelum 18 Agustus 1945. Radja Tjantik sempat mengingatkan: Semoea bangsa pendjadjah insaf bahwa tjita-tjita kemerdekaan mendapat tenaga hidoepnja dari keinsafan bahasa.

Sejarah bahasa Indonesia semakin kukuh dengan pengesahan UUD 1945, 18 Agustus 1945. Indonesia sebagai negara memiliki bahasa bersejarah dan berperan sebagai api pengobar nasionalisme. Urusan bahasa Indonesia perlahan semakin penting dan berarti demi kedaulatan.

Bahasa Indonesia adalah milik negara merdeka, tak lagi bahasa rendahan seperti saat dinistakan oleh penjajah. Bahasa Indonesia semakin berkobar dalam sastra, pers, dan pengajaran. Bahasa itu api! Kita masih menganggap bahasa Indonesia berkobar saat menjadi tumpuan nasionalisme, identitas kultural bangsa, dan martabat negara.

Kini, peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia mendapat ”hadiah” penghapusan kewajiban bagi tenaga kerja asing menguasai bahasa Indonesia. Api semakin redup. Kita tentu tak harus selalu menuntut atau menimpakan kesalahan kepada tenaga kerja asing akibat tak wajib berbahasa Indonesia.

Di Indonesia, pemuliaan bahasa Indonesia tak lagi menguat alias merapuh. Di sekolah dan universitas, bahasa Indonesia masih ”direndahkan” ketimbang bahasa Inggris. Orang-orang Indonesia yang bekerja di Indonesia atau di negara-negara asing tetap ”harus” bisa berbahasa Inggris.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya