SOLOPOS.COM - Arif Saifudin Yudistira arif_love_cinta@yahoo.co.id Pengasuh MIM Kartasura Bergiat di Bilik Literasi Solo

Arif Saifudin Yudistira  arif_love_cinta@yahoo.co.id  Pengasuh MIM Kartasura Bergiat di Bilik Literasi Solo

Arif Saifudin Yudistira
arif_love_cinta@yahoo.co.id
Pengasuh MIM Kartasura Bergiat di Bilik Literasi Solo

Beberapa waktu lalu, seorang kawan saya yang lama merantau di Sulawesi Tenggara mengisahkan pengalamannya ihwal birokrasi dan sistem pemerintahan di sana yang tak bisa dilepaskan dari urusan uang. Para pejabat di wilayah itu tak bisa lepas dari jaringan suap-menyuap. Suap-menyuap dilakukan secara halus dan sistematis.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Uang imbalan dan jasa untuk memuluskan proyek selalu menjadi hal penting bagi para pengusaha yang ingin memasarkan produk atau jasa mereka ke wilayah tertentu. Yang lebih mengejutkan, kawan saya itu justru mengatakan hal wajar dan merupakan warisan perpolitikan di Jawa.

Sepenggal kisah dari kawan saya itu adalah kisah perpolitikan kita hari ini. Bila beberapa waktu lalu setelah pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko resmi memenangki pemilihan gubernur, Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) mengatakan berpolitik adalah mengabdi, urusan uang bagi kader PDIP tak menjadi soal.

Menurut Megawati, kader PDIP yang siap berpolitik dalam konteks mengabdi akan dibantu kolega-koleganya asalkan mampu mengemban amanah dan berkualitas. Ungkapan Megawati itu membuka harapan bagi para politikus muda untuk berpartisipasi dalam perpolitikan Indonesia. Akan tetapi, realitas perpolitikan seperti menunjukkan wajah lain.

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto pernah mengatakan,”Silakan pakai nama saya, asal tahu diri kepada partai”. Kata-kata ”tahu diri” ini menurut penafsiran saya adalah memberi imbalan kepada partai dalam bentuk bantuan, uang, dan sebagainya setelah berhasil meraih jabatan atau kekuasaan dengan ”kendaraan” partai itu. Kata-kata ”tahu diri”menjadi sangat kontras jika kita melihat kembali jati diri berpolitik yang semestinya berjuang untuk rakyat, bukan untuk partai.

Ini tidak berbeda dengan apa yang dikatakan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto. Ia mengatakan partainya terbuka kepada semua orang yang akan mendaftarkan diri  sebagai calon anggota legislatif (caleg), akan tetapi harus tahu diri dan menjamin massa yang mendukungnya akan memenangkannya.

Berpolitik seolah tak bisa dilepaskan dari uang. Uang dalam politik seperti barang yang absurd dan abstrak, tapi hampir tiap hari kita mendengar kasus korupsi dan kasus para politikus kita masuk tahanan atau penjara gara-gara kasus korupsi. Nilai uang miliaran rupiah menjadi sangat murah dalam logika para politikus kita.

Mungkin selama ini kita hanya berprasangka kebutuhan para anggota DPR dan para politikus kita memang kebutuhan yang serba berkelas dan serba mahal. Pada kenyataannya, belanja para politikus kita memang benar-benar membuat kita tersentak. Lembaga Survei Nielsen Indonesia menyampaikan hasil penelitiannya tentang kenaikan belanja iklan partai politik (parpol) yang naik 56% dibanding tahun pemilu sebelumnya, belanja iklan partai politik dan pemerintah daerah mencapai Rp2,72 trilliun (Koran Tempo, 23 Agustus 2013).

Dari jumlah yang sekian itulah kita patut curiga dari mana mereka mendapatkan uang sebanyak itu. Kita memang tak mendapatkan informasi yang akurat mengenai bagaimana pengeluaran dan belanja partai politik dan politikus itu. Yang pasti, kita mengetahui belanja yang mengalami kenaikan fantastis itu tak sedikit pun berimbas kepada rakyat selaku konstituen mereka.

Berpolitik adalah berbelanja dan merayakan konsumsi. Jargon itulah yang sangat sesuai dengan situasi perpolitikan kita hari ini. Berbelanja dan menghabiskan uang untuk kepentingan pribadi lebih mereka utamakan ketimbang berhemat dan berpikir untuk urusan rakyat. Itu pun mereka lakukan sebelum mereka menjadi legislator maupun pemimpin.  Iklan seolah adalah urusan yang paling pokok dan paling penting dalam urusan politik kita hari ini.

Iklan seperti penyihir yang akan merubah nasib calon anggota legislatif kita. Mereka percaya melalui televisi seolah-olah mereka bisa mengubah segalanya. Televisi menjadi pintu masuk mereka untuk menjadi pejabat dan birokrat di negeri ini. Mereka tak menganggap uang dengan nilai fantastis itu berat. Mereka menganggap itu sebagai modal dan alat untuk berkuasa. Kata ”berkuasa” jelas berbeda dengan ”mengabdi”.

Bila untuk iklan saja sudah sedemikian besar nilainya, kita patut waspada ketika mereka menjabat jelas jauh lebih boros dalam urusan anggaran. Wajah para politikus yang ternyata koruptor sudah sedemikian banyak, dan memang jarang yang korupsi untuk pembelanjaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pseudopolitik

Dunia perpolitikan kita memang seperti yang disebut Edwin O’Connor dalam novelnya The Last Hurrah. O’connor menyebut politik dengan istilah ”olahraga tontonan”. Maksudnya politik adalah sejenis olahraga yang memerlukan profesionalitas sehingga akhirnya hanya menjadi tontonan (Postman,1995:134). Kita seperti menonton adegan dalam perpolitikan kita mirip adegan sinetron.

Itu adalah adegan yang penuh dengan huru-hara dan keriuhan, lengkap dengan kepura-puraan. Itu menampilkan wajah romantisme dan kepedulian, tapi semu. Semu itulah ciri dari wajah politik kita hari ini. Akhirnya kesemuan itu sekadar menjadi tontonan kita. Tontonan dalam berbagai kasus politikus yang korup dan juga konflik para politikus yang seolah sedang bersidang.

Ada pula tontonan para politikus atau legislator yang tidur ketika rapat yang semestinya membahas nasib rakyat. Yang ada dalam perpolitikan kita adalah pemilu-pemilunan, pemimpin yang terpilih pun sekadar pemimpin yang berstatus laksana boneka. Mereka digerakkan sejumlah orang atau kelompok yang benar-benar berkuasa dengan bersenjatakan kapital atau uang.

Dunia politik kita seakan enggan menciptakan pemimpin. Pemimpin tak dihadirkan dalam kosa kata perpolitikan kita hari ini. Urusan politik kita hari ini memang tak menciptakan pemimpin, tetapi lebih sering mengejar kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi identik dengan apa yang dialami Haji Agus Salim, seorang politikus, diplomat ulung, dan pejuang revolusi kemerdekaan kita.

Majalah Tempo edisi 12-18 Agustus 2013 mengangkat sosok negarawan sekaligus seorang politikus sejati ini. Ia patut disejajarkan dengan Sjahrir. Rosihan Anwar menyebut Sjahrir orang yang sudah mendahului zamannya. Agus Salim dikenal sebagai pejuang dan politikus yang cerdik, dan tak pernah melenceng dari prinsip-prinsipnya.

Jargonnya adalah ”memimpin adalah menderita”. Jargon ini menjadi laku hidup yang ia jalani. Prof. Willem Schermerhorn, ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, menyebut Agus Salim sebagai pemimpin, pendiri negara, yang selama hidupnya selalu melarat dan miskin.

Iklan televisi yang dijadikan andalan dan senjata politikus kita memang alat yang paling masif untuk mendongkrak popularitas dan citra. Media ini disebut Neilposman(1985:135) sebagai bentuk komunikasi paling istimewa dan paling mudah disebarluaskan melalui stop kontak listrik. Para politikus dan calon anggota legislatif kita jarang yang keluar untuk sibuk-sibuk berkampanye seperti dahulu kala.

Mereka lebih suka duduk manis melihat hasil survei dan memantau efek dari iklan yang menampilkan mereka di media massa. Melalui bahasa politik yang manis, latar yang pas, mereka menampilkan sosok diri mereka seolah sebagai ratu adil yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang adil, tenteram, dan makmur.

Rasanya puluhan tahun lalu kita mendengar kata-kata dan janji-janji mereka yang sama, akan tetapi negeri ini tetap belum berubah hingga hari ini. Politik bagi mereka adalah iklan. Politik menampilkan sesuatu yang meyakinkan, menenteramkan, dan membahagiakan, meskipun di baliknya terasa ada berbagai kebohongan yang belum ditampakkan. Politik kita memang semakin membosankan.

Politikus dan para petinggi negara seolah saling bersaing visi dan misi mereka tentang politik. Akan tetapi, yang mereka tampilkan tak jauh berbeda, yakni citra dan harapan yang semu. Melalui iklan mereka seolah menampilkan ciri politik mereka. Iklan diam-diam menjadi wajah politik mutakhir kita. Berpolitik itu beriklan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya