SOLOPOS.COM - Undung Wiyono, Penulis naskah wayang orang Alumnus Sastra Jawa Universitas Indonesia Tinggal di Jakarta

Undung Wiyono, Penulis naskah wayang orang Alumnus Sastra Jawa Universitas Indonesia Tinggal di Jakarta

Masyarakat wayang orang dikejutkan dengan dengan wafatnya Asmorohadi, Selasa (28/5), di Rumah Sakit Husada Jakarta dalam usia 73 tahun. Dia adalah seorang maestro wayang orang dan ketoprak, seorang aktor seni tradisi yang piawai betul dengan penguasaan karakter, antawecana  dan kemampuan penyutradaraan teater tradisi wayang orang.

Dia seorang pakar dan narasumber bahasa dan sastra wayang yang kaya sekali dengan perbendaharaan kosa kata bahasa dan satra wayang dalam berbagai ragam sastra seperti paribasan, bebasan, saloka, prenesan dan bahasa-bahasa sastra pedalangan yang formulais dan sastrais.

Tlutur….duka mendalam, dunia wayang orang benar-benar kehilangan seorang yang  begitu kaya bothekan dan hafalan bahasa sastra wayang yang runtut. Dia sosok pakar dalam penguasaan antawecana yang tiada duanya. Dia diangkat sebagai dosen empu Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dalam mata kuliah antawecana karena kepakaran dan kesenimanannya yang mumpuni itu.

Asmoro dan almarhum Joko Purnomo adalah dua seniman seangkatan yang pernah membawa RRI Solo kuncara dalam pamor dan wibawa seni tradisi di jagad wayang. Asmoro yang mantan pegawai dan seniman kondang RRI Solo ini juga terkenal dengan kreativitas sanggit-sanggit wayang. Naskah-naskahnya dikenal dengan bahasa yang indah dengan dramatisasi yang diperhitungkan matang.

Selain unsur wulang yang kental, garapan lakon prenesan adalah salah satu keunggulan Asmoro yang jarang dimiliki seniman lain. Tidak mudah untuk bisa menulis cerita prenes, selain  harus mempunyai pengalaman hidup yang kaya dan beragam juga penguasaan nilai-nilai etika dan estetika dalam kebudayaan Jawa yang kompleks. Tanpa penguasaan konvensi seni yang mantap, tidak mungkin mampu membuat kreativitas dan sanggit yang semu dan nges.

Bagaikan Bhisma yang gugur di medan Kurusetra, Asmoro mengembuskan napas terakhirnya ketika sedang menjalankan misi kesenian Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat oleh Komunitas Kusuma Handrawina. Komunitas ini pentas di Gedung Kesenian Jakarta yang rencananya akan digelar selama dua hari, 27 dan 28 Mei. Malam pertama pementasan almarhum masih sempat ndhapuk sebagai seorang resi bernama Jati Pramana dalam Lakon Mahatma Rukma Kirana (Pandawa Lelana). Lakon itu gubahan KRMH Kusumo Budoyo yang tak lain adalah nama almarhum sendiri. 

Asmoro malam itu tampil sebagai pendeta yang muncul di panggung dengan balutan busana serba putih, jubah pendeta dengan riasan pendeta bagusan dengan kumis lemetan yang berwibawa dan malam itu dia kelihatan tampan sekali. Cahaya wajahnya begitu kuat memancar. Penguasaan panggungnya dan kemampuan bahasanya jangan ditanya,… indah sekali. Dengan piawai dan mentes (bernas) ia memberikan wejangan kepada Pandawa. Dia juga sempat bergurau dalam balutan bahasa sastra yang tinggi dengan Wasi Bantala yang memerankan Kresna dan Wahyu Santoso Prabowo. Rupanya itulah kancah medan perjuangannya yang terakhir.

 

Harapan Perbaikan

Ketika dialog dengan Pandawa, inilah kata-kata terakhirnya yang menyiratkan harapan akan sebuah perbaikan masyarakat dan negara melalui seni yang mempunyai fungi sebagai tontonan dan tuntunan.  Ketika itu, Begawan Jati Pramana sebagai ulama menasihati Pandawa sebagai umaro. Dalam peran sebagai resi itu dia berkata, ”Di atas langit masih ada langit, keangkuhan, kecongkaan dan sesombongan (adigang, adigung, adiguna) akan hancur karena kesahajaan. Kelebihan dan potensi yang dimiliki seseorang seyogianya digunakan untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dunia (mamayu hayuning bawana).”  Sungguh mulia.

Harapannya di atas juga berlaku untuk dirinya sendiri. Bukan asal omdo atau omong doang bukan pula hanya jarkoni (bisa ujar ora bisa nglakoni). Apa yang diamanatkan di atas juga dilakukannya sendiri. Dengan kesenimanan dan kepakarannya, dua tahun terakhir dia begitu intensif membina dan menggalang serpihan-serpihan wayang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan bergabung dalam Komunitas Kusuma Handrawina yang diprakarsai SISKS Paku Buwono XIII dan pendirinya adalah KGPH Benowo, KRAy Adipati Nani Soedarsono, Kanjeng Ratu Paku Buwono  dan Hari Sulistyono.    

Asmoro Hadi mempunyai dedikasi yang tinggi untuk membangkitkan kesenian wayang orang di kalangan keraton. Dua kali pentas di Gedung Kesenian Jakarta menjadi bukti ketulusan darma baktinya. Pada 24 dan 25 Juli 2011 dengan sukses  menulis naskah dan menyutradarai lakon  Kebar Eram Kawuryan (Sengkuni Kembar Lima) di Gedung Kesenian Jakarta. Lakon itu menggambarkan berbagai faset simbolis sifat-sifat Sengkuni sebagai biang penghasut yang culas, motivator ulung sekaligus sebagai pengatur strategi yang piawai. Pada 27 Mei lalu, dia mengantarkan sebuah karya gubahan terakhirnya yang berjudul Mahatma Rukma Kirana (Pandawa Lelana) di gedung yang sama. Rupanya itulah karya terakhir yang dia rungkebi sampai titik darah penghabisan.

Dia gugur di medan tugas bakti, kancah untuk membuat wayang orang lebih kuncara  dan kembali mendapat apresiasi masyarakat. Dia gugur di pangkuan keponakannya Wasi Bantolo seorang dosen ISI Solo dan seniman generasi penerus yang juga menggeluti seni tradisi dan wayang orang. Apa yang terjadi seolah-olah menggambarkan Kresna yang mengantarkan Resi Bhisma di medan Kurusetra ketika Perang Bharatayuda yang dengan tersenyum menyambut kematiannya. Seakan semua itu pralampita (perlambang) agar regenerasi itu berjalan dengan mulus dan alami.

Doa kami: lepasa parane, jembara kubure, mugi antuk jatining pramana. Ini sesuai nama begawan yang dia perankan malam itu. Baju Resi Jati Pramana yang serba putih seolah menjadi isyarat akan ketulusan baktinya. Sugeng tindak Pak ”Bisma” Asmorohadi. Insya Allah, Wasi Bantolo dan kami–generasi muda wayang orang–akan meneruskan darmamu. (undungwiyono@yahoo.com)

 

 

 

 

 

In Memoriam Asmorohadi—upper

 

Bhisma Pralaya di Seni Tradisi

 

Undung Wiyono

 



Penulis naskah wayang orang

Alumnus Sastra Jawa

Universitas Indonesia

Tinggal di Jakarta

 

Masyarakat wayang orang dikejutkan dengan dengan wafatnya Asmorohadi, Selasa (28/5), di Rumah Sakit Husada Jakarta dalam usia 73 tahun. Dia adalah seorang maestro wayang orang dan ketoprak, seorang aktor seni tradisi yang piawai betul dengan penguasaan karakter, antawecana  dan kemampuan penyutradaraan teater tradisi wayang orang.

Dia seorang pakar dan narasumber bahasa dan sastra wayang yang kaya sekali dengan perbendaharaan kosa kata bahasa dan satra wayang dalam berbagai ragam sastra seperti paribasan, bebasan, saloka, prenesan dan bahasa-bahasa sastra pedalangan yang formulais dan sastrais.

Tlutur….duka mendalam, dunia wayang orang benar-benar kehilangan seorang yang  begitu kaya bothekan dan hafalan bahasa sastra wayang yang runtut. Dia sosok pakar dalam penguasaan antawecana yang tiada duanya. Dia diangkat sebagai dosen empu Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dalam mata kuliah antawecana karena kepakaran dan kesenimanannya yang mumpuni itu.

Asmoro dan almarhum Joko Purnomo adalah dua seniman seangkatan yang pernah membawa RRI Solo kuncara dalam pamor dan wibawa seni tradisi di jagad wayang. Asmoro yang mantan pegawai dan seniman kondang RRI Solo ini juga terkenal dengan kreativitas sanggit-sanggit wayang. Naskah-naskahnya dikenal dengan bahasa yang indah dengan dramatisasi yang diperhitungkan matang.



Selain unsur wulang yang kental, garapan lakon prenesan adalah salah satu keunggulan Asmoro yang jarang dimiliki seniman lain. Tidak mudah untuk bisa menulis cerita prenes, selain  harus mempunyai pengalaman hidup yang kaya dan beragam juga penguasaan nilai-nilai etika dan estetika dalam kebudayaan Jawa yang kompleks. Tanpa penguasaan konvensi seni yang mantap, tidak mungkin mampu membuat kreativitas dan sanggit yang semu dan nges.

Bagaikan Bhisma yang gugur di medan Kurusetra, Asmoro mengembuskan napas terakhirnya ketika sedang menjalankan misi kesenian Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat oleh Komunitas Kusuma Handrawina. Komunitas ini pentas di Gedung Kesenian Jakarta yang rencananya akan digelar selama dua hari, 27 dan 28 Mei. Malam pertama pementasan almarhum masih sempat ndhapuk sebagai seorang resi bernama Jati Pramana dalam Lakon Mahatma Rukma Kirana (Pandawa Lelana). Lakon itu gubahan KRMH Kusumo Budoyo yang tak lain adalah nama almarhum sendiri. 

Asmoro malam itu tampil sebagai pendeta yang muncul di panggung dengan balutan busana serba putih, jubah pendeta dengan riasan pendeta bagusan dengan kumis lemetan yang berwibawa dan malam itu dia kelihatan tampan sekali. Cahaya wajahnya begitu kuat memancar. Penguasaan panggungnya dan kemampuan bahasanya jangan ditanya,… indah sekali. Dengan piawai dan mentes (bernas) ia memberikan wejangan kepada Pandawa. Dia juga sempat bergurau dalam balutan bahasa sastra yang tinggi dengan Wasi Bantala yang memerankan Kresna dan Wahyu Santoso Prabowo. Rupanya itulah kancah medan perjuangannya yang terakhir.

 

Harapan Perbaikan

Ketika dialog dengan Pandawa, inilah kata-kata terakhirnya yang menyiratkan harapan akan sebuah perbaikan masyarakat dan negara melalui seni yang mempunyai fungi sebagai tontonan dan tuntunan.  Ketika itu, Begawan Jati Pramana sebagai ulama menasihati Pandawa sebagai umaro. Dalam peran sebagai resi itu dia berkata, ”Di atas langit masih ada langit, keangkuhan, kecongkaan dan sesombongan (adigang, adigung, adiguna) akan hancur karena kesahajaan. Kelebihan dan potensi yang dimiliki seseorang seyogianya digunakan untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan dunia (mamayu hayuning bawana).”  Sungguh mulia.

Harapannya di atas juga berlaku untuk dirinya sendiri. Bukan asal omdo atau omong doang bukan pula hanya jarkoni (bisa ujar ora bisa nglakoni). Apa yang diamanatkan di atas juga dilakukannya sendiri. Dengan kesenimanan dan kepakarannya, dua tahun terakhir dia begitu intensif membina dan menggalang serpihan-serpihan wayang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan bergabung dalam Komunitas Kusuma Handrawina yang diprakarsai SISKS Paku Buwono XIII dan pendirinya adalah KGPH Benowo, KRAy Adipati Nani Soedarsono, Kanjeng Ratu Paku Buwono  dan Hari Sulistyono.    

Asmoro Hadi mempunyai dedikasi yang tinggi untuk membangkitkan kesenian wayang orang di kalangan keraton. Dua kali pentas di Gedung Kesenian Jakarta menjadi bukti ketulusan darma baktinya. Pada 24 dan 25 Juli 2011 dengan sukses  menulis naskah dan menyutradarai lakon  Kebar Eram Kawuryan (Sengkuni Kembar Lima) di Gedung Kesenian Jakarta. Lakon itu menggambarkan berbagai faset simbolis sifat-sifat Sengkuni sebagai biang penghasut yang culas, motivator ulung sekaligus sebagai pengatur strategi yang piawai. Pada 27 Mei lalu, dia mengantarkan sebuah karya gubahan terakhirnya yang berjudul Mahatma Rukma Kirana (Pandawa Lelana) di gedung yang sama. Rupanya itulah karya terakhir yang dia rungkebi sampai titik darah penghabisan.

Dia gugur di medan tugas bakti, kancah untuk membuat wayang orang lebih kuncara  dan kembali mendapat apresiasi masyarakat. Dia gugur di pangkuan keponakannya Wasi Bantolo seorang dosen ISI Solo dan seniman generasi penerus yang juga menggeluti seni tradisi dan wayang orang. Apa yang terjadi seolah-olah menggambarkan Kresna yang mengantarkan Resi Bhisma di medan Kurusetra ketika Perang Bharatayuda yang dengan tersenyum menyambut kematiannya. Seakan semua itu pralampita (perlambang) agar regenerasi itu berjalan dengan mulus dan alami.



Doa kami: lepasa parane, jembara kubure, mugi antuk jatining pramana. Ini sesuai nama begawan yang dia perankan malam itu. Baju Resi Jati Pramana yang serba putih seolah menjadi isyarat akan ketulusan baktinya. Sugeng tindak Pak ”Bisma” Asmorohadi. Insya Allah, Wasi Bantolo dan kami–generasi muda wayang orang–akan meneruskan darmamu. (undungwiyono@yahoo.com)