SOLOPOS.COM - Nur Alam Windu Kuncoro, Peminat kajian sosial politik Anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

Nur Alam Windu Kuncoro, Peminat kajian sosial politik Anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah pencabutan subsidi.   Subsidi BBM dianggap membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah selalu menyosialisasikan bahwa subsidi BBM sebagian besar dinikmati kalangan orang kaya. Pertanyaan yang masih mengganjal di benak kita adalah: benarkah selama ini kita merasakan  atau menikmati subsidi itu?
Benarkah sebagaian besar subsidi itu dinikmati orang kaya? Benarkah subsidi BBM membebani APBN? Kalaupun membebani, kenapa ada bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM)? Bukankah jika BLSM kedaluwarsa maka akan tercipta orang miskin baru? Ada apa sesungguhnya di balik kenaikan harga BBM, padahal harga minyak dunia
Mengapa  pemerintah ngotot memaksakan kehendak laksana orang yang adrenalinnya memuncak sampai ke ubun-ubun kepala. Bila dikatakan negara kita demokratis yang mendasarkan pada kaidah mayoritas, pemerintah dengan kebijakan menaikkan harga BBM ini amat sangat tidak demokratis. Menurut survei Lembaga Survei Nasional (LSN), sebanyak 86,1% responden menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM, 12,4% setuju dan 1,5% responden menyatakan tidak tahu. Pernyataan bahwa subsidi BBM hanya dinikmati orang kaya juga masih diragukan kebenarannya.
Lewat iklan dan penerbitan masif, pamerintah selalu mengulang-ulang sosialisasi tentang hal ini. Akhir-akhir ini kita disuguhi iklan dengan fragmen orang naik mobil Toyota Alphard yang menggunakan premium. Pesan yang ingin disampaikan adalah orang kaya pakailah BBM nonsubsidi. Iklan kasus pemilik Toyota Alphard  yang menggunakan premium mungkin dianggap mengusik rasa keadilan. Namun, perlu diingat mereka juga berkontribusi dengan membayar pajak.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, pendapatan negara terbesar adalah pajak. Dalam APBN-Perubahan (APBN-P) 2012 total penerimaan negara dari pajak sebesar Rp1.101 triliun atau sekitar 82% dari total penerimaan APBN. Yang terbesar dari pajak tersebut adalah pajak penghasilan (PPh) nonmigas sebesar Rp445,7 triliun dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp355,2 triliun (buletin Al–Islam edisi 661) . Iklan pemilik mobil mewah disiarkan berulang-ulang untuk menunjukkan subsidi salah sasaran.
Ironisnya pemerintah tak pernah mengeluhkan subsidi untuk para konglomerat, kapitalis atau perusahaan asing, mulai subsidi pajak atau yang disebut dengan tax holiday, subsidi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang nilainya Rp144 triliun, dana rekapitulasi perbankan  yang hampir Rp500 triliun, dana penyelamatan Bank Century senilai Rp6,7 triliun. Kasus paling akhir adalah bantuan dana dari APBN-P 2012 sebesar Rp1,3 triliun untuk korban lumpur Lapindo yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan tetapi diambil alih/disubsidi pemerintah.
Padahal pemilik Grup Lapindo adalah salah satu dari 40 orang terkaya di Indonesia. Namun, dia justru diberi bantuan atau subsidi dari APBN untuk kasus Lapindo yang sejak 2007 sampai saat ini mencapai Rp7,2 triliun. Ironisnya, grup perusahaan tersebut sempat menunggak atau menggelapkan pajak. Jadi siapa sesungguhnya yang menikmati subsidi?
Alasan lain yang sering diungkapkan pemerintah bahwa subsidi BBM akan membebani APBN juga alasan yang parsial, menilai persoalan subsidi dalam perspektif nominal, minus studi neraca APBN secara utuh. Nilai subdidi BBM di APBN 2013 hanya RpRp193,8 triliun atau sekitar 12% dari total APBN. Faktanya, yang membebani APBN adalah utang dan pemborosan APBN.
Pada 2013 pembayaran bunga utang senilai Rp113,2 triliun dan pokoknya Rp58, 4 triliun dan Surat Utang Negara (SUN) yang jatuh tempo pada 2013 senilai Rp71 triliun sehingga totalnya Rp241 triliun atau 21% dari belanja APBN, padahal sebagian besar utang itu hanya dinikmati beberapa orang. Jadi siapa yang sesungguhnya menikmati subsidi?
Dalih lain untuk memperkuat argumentasi menaikkan harga BBM adalah  penghematan subsidi BBM akan dialihkan untuk rakyat miskin, salah satunya BLSM. Tapi, menurut Ichsanudin Noorsy, itu sebenarnya bohong. Terlebih lagi nilai penghematan yang diperoleh pemerintah dengan menaikkan harga BBM sebenarnya tidak banyak, hanya sekitar Rp17,5 triliun (lihat http://www.lensaindonesia.com/2013/05/29/).
Menurut Ichsanudin Noorsy, sebenarnya program BLSM itu dibiayai utang. Buktinya tertera di laman situs Asian Development Bank (ADB) yang menyatakan BLSM bersumber dari utang ADB dengan nama proyek Development Policy Support Program) yang disingkap DSP. Selain itu, juga dibiayai Bank Dunia (World Bank) berstatus utang dengan nama proyek DPLP tahap III. Karena itulah, tahun ini utang pemerintah terus membengkak.
Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah pusat (utang luar negeri dan surat berharga) pada April 2013 telah mencapai Rp2.023,72 triliun, naik sekitar Rp433.06 triliun dari posisi akhir 2009 senilai Rp1.590,66 triliun. Anehnya, walaupun harga BBM akan naik, pemerintah tetap berencana menambah utang baru senilai Rp390 triliun.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Motif Sesungguhnya
Rencana pemerintah menaikkan harga BBM, atau secara lebih luas penghapusan subsidi, tidak lain adalah amanat liberalisasi dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Januari 2000). Ini juga perintah Bank Dunia dengan menjadikannya syarat pemberian utang seperti tercantum di dalam dokumen Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001).
Itulah sebenarnya alasan mendasar semua program pengurangan subsidi, termasuk pengurangan subsidi energi (BBM dan listrik). Dokumen program USAID, Title and Number: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013, menyatakan: tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energi untuk membantu membuat sektor energi lebih efisien dan transparan, dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta.
Pengurangan subsidi, bahkan sampai penghapusan subsidi, bagi pemerintah dianggap amanat bahkan kewajiban yang harus dipenuhi, meski harus memberatkan rakyat. Dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dinyatakan: program utama adalah rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional. Artinya, pencabutan subsidi BBM.
Meski berbagai alasan dikemukakan pemerintah, namun yang pasti, kenaikan harga BBM yang terus didesakkan sejak lama hingga sekarang ini jelas akan sangat menguntungkan swasta, khususnya asing. Sejak awal sudah dikemukakan oleh Menteri ESDM kala itu, Purnomo Yusgiantoro, bahwa kenaikan harga BBM memang untuk membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran minyak dan gas atau migas (Kompas,14 Mei 2003). Selama ini beberapa SPBU non-Pertamina sepi pembeli dan mereka mengalami kerugian besar, bahkan sebagian sudah tutup.
Inilah alasan sebenarnya pemerintah menaikkan harga BBM yaitu untuk mengikuti keinginan para kapitalis sebagaimana yang terungkap dalam dokumen World Bank: utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik. Banyak subsidi, khususnya pada BBM, cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya  (Indonesia Country Assistance Strategy/World Bank, 2001).
Alasan utama pemerintah menaikkan harga BBM adalah bukan karena subsidi tidak tepat sasaran tapi memang merupakan program pemerintah untuk menyempurnakan liberalisasi migas dari sektor hulu dan hilir. Di sektor hulu liberalisasi ini sudah berhasil dengan dikuasainya tambang BBM oleh asing dan swasta dengan hasil 87% tambang migas dikuasai swasta, sedangkan di sektor hilir masih terhambat karena adanya subsidi BBM. Karena itulah, perlahan tapi pasti pemerintah berupaya menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar sesuai dengan kebijakan liberalisasi. Walhasil, kebijakan ini memang layak dan harus ditolak. (nurosolo@yahoo.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya