SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

13-foto bandung mawardi

Bandung Mawardi
bandungmawardi@yahoo.co.id
Pengelola Jagat Abjad Solo

Indonesia memiliki tokoh-tokoh hebat di ranah politik, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, militer, sejarah, dan seni. Mereka memberi kontribusi besar untuk pemaknaan Indonesia sejak masa kolonialisme sampai abad XXI ini. Tokoh-tokoh sebagai pemikir sering terlupakan, ada di pinggiran diskursus Indonesia akibat dominasi politik.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Pelupaan atas tokoh menjadi kelumrahan sejak publik mendapati indoktrinasi bahwa legitimasi ketokohan adalah orang-orang di jalur politik dan militer. Nalar warisan Orde Baru ini belum pudar, masih menghinggapi imajinasi publik dalam mengenali dan menghormati tokoh.

Nicolaus Drijarkara (13 Juni 1913-11 Februari 1967) adalah salah satu tokoh tersebut. Dia pendidik dan filsuf ampuh di Indonesia. Peringatan 100 tahun Drijarkara (1913-2013) tak seheboh peringatan 100 tahun tokoh-tokoh politik dari masa silam. Drijarkara adalah pengisah dan pemberi makna Indonesia yang bergerak dari Kedu (Jawa Tengah) untuk mengindonesia.

Kita pantas mengenang Drijarkara sebagai suluh berindonesia, mengajak publik merenung dan bekerja untuk pemaknaan Indonesia. Ratusan esai telah dipersembahkan, mengurai pelbagai tema: pendidikan, Pancasila, kepribadian nasional, kebudayaan, Jawa dan kejawaan, moral, religi, kesusilaan, seni, dan kebinekaan.

Kita mengingat peran Drijarkara berlatar situasi Indonesia masa 1940-an sampai 1960-an. Drijarkara menulis Indonesia, berikhtiar mengubah Indonesia. Kontribusi sebagai pengajar, pemimpin redaksi Majalah Basis, anggota MPRS dan DPA membuktikan ketekunan Drijarkara menafsir Indonesia.

Modal untuk menulis Indonesia dipelajari Drijarkara melalui pembacaan kepustakaan sastra Jawa, buku-buku filsafat Barat, buku-buku teologi. Olah intelektualitas dan religiositas memberi rangsangan menulis ratusan esai dan renungan-renungan kontekstual demi perubahan di Indonesia. Mudji Sutrisno (2006) menganggap misi Drijarkara adalah humanisasi religius.

Kita bisa merasakan penjelasan-penjelasan itu melalui buku Drijarkara tentang Pendidikan, Drijarkara tentang Kebudayaan, Drijarkara tentang Manusia, Drijarkara tentang Negara dan Bangsa. Drijarkara memang penulis ampuh, menekuni sekian tema untuk jadi undangan permenungan bagi publik. Warisan literer ini telah melintasi waktu, dibaca dan ditafsirkan oleh pembaca dengan pelbagai perspektif.

Ikhtiar menulis Indonesia berbasis humanisme religius tentu mengingatkan kita atas makna Drijarkara bagi Indonesia di masa sekarang. Persoalan-persoalan pendidikan, politik, ekonomi, sosial, agama, dan kultural di Indonesia telah menimbulkan pesimisme, membuat kita ada di naungan keputusasaan. Kita mungkin telah melupakan ajakan Drijarkara: memaknai Indonesia secara inklusif dan pluralis, berpijak humanime religius.

Situasi Indonesia memang tak keruan. Korupsi, konflik agama, kekerasan, dan diskriminasi masih ada tanpa kabar keberakhiran. Perebutan kekuasaan semakin mengganas dengan mengabaikan etika dan mengelak dari adab demokrasi. Partai politik bersaing membohongi publik, menjajakan diri secara picisan.

Kita terjerat dalam absurditas. Seruan-seruan tentang kebangsaan, toleransi, dan demokrasi dari para tokoh hampir tak terwujud, tergerus oleh slogan-slogan kaum politikus. Kita masih memiliki referensi, menilik ke pemikiran-pemikiran Drijarkara agar tak terpuruk ke pesimisme. Drijarkara sejak puluhan tahun silam memberi seruan-seruan agar pemaknaan Indonesia itu beradab dan bermartabat.

 

Fenomena Fundamental

Kita bisa mulai dengan mengingat pemikiran Drijarkara di ranah pendidikan. Drijarkara (1961) menulis bahwa pendidikan adalah fenomena fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. Renungan ini terlupa oleh para penentu kebijakan pendidikan. Kontroversi dan polemik tentang Kurikulum 2013 menjadi representasi dari kegamangan filsafat pendidikan, kebingungan merumuskan orientasi berbangsa dan bernegara.

Pendidikan justru jadi tema dilematis, direcoki oleh kekuasaan dan godaan kapitalisme. Drijarkara telah mengingatkan bahwa pendidikan di Indonesia di masa 1950-an memerlukan konsep-konsep merujuk ke bumi sendiri dan mengolah secara beradab sumber-sumber dari arus pendidikan global. Drijarkara mengutip ajaran-ajaran Mangkunegara IV dalam Wedhatama. Pendidikan itu untuk membentuk kepribadian, mengajarkan ilmu keluhuran. Ajaran ini justru dilupakan oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan.

Pendidikan tampak mengarah ke ilusi-ilusi globalisasi dan kapitalisme. Slogan-slogan kecerdasan sering diumumkan dengan akibat peminggiran tema-tema etika, kepribadian, dan religiositas. Pendidikan telanjur dipahami sebagai dalil meraih kekuasaan, kesuksesan duniawi, dan popularitas. Tulisan-tulisan Drijarkara pun terlupakan, hilang dari polemik pendidikan mutakhir. Ironis!

Kita juga bisa memberi sorotan atas situasi politik Indonesia merujuk ke pemikiran-pemikiran Drijarkara. Politik di Indonesia selalu ramai dengan gosip, persengkongkolan, dan manipulasi. Politik tampil dengan hasrat buruk: korupsi. Kita diajak menerima dalil bahwa berpolitik itu berkorupsi. Politik terus memburuk, kotor, gelap. Para penggerak politik jarang mengajarkan kebajikan, menerjemahkan politik sebagai kebaikan-kebaikan bagi publik.

Mereka malah rajin melukai, mendustai, membohongi. Situasi ganjil ini menjadi tanda seru, mendeskripsikan bahwa kita mengabaikan Pancasila. Berpolitik dengan Pancasila tentu mengurusi adab, kesejahteraan, persatuan, etika, toleransi, religiositas, kemanusiaan, harmoni, pluralisme, dan keadilan. Drijarkara (1967) mengingatkan bahwa agenda memaknai keindonesiaan mesti berpijak pada Pancasila, ikhtiar menjadi manusia Pancasila.

Kita memiliki Drijarkara sebagai tokoh bangsa, mewarisi pelbagai pemikiran melalui tulisan-tulisan dan tindakan. Warisan-warisan itu kita biarkan berdebu, tak terbaca oleh mata kesadaran di masa sekarang. Kita memang masih gampang melafalkan nama Drijarkara tapi lalai memberi tafsiran kontekstual dan mewujudkan dalam agenda berbangsa dan bernegara.

Drijarkara tak cuma nama! Drijarkara adalah keteladanan, bukti dari etos mengubah nasib Indonesia: dari gelap ke terang, dari kegamangan ke pengharapan. Franz Magnis-Suseno (1988) mengakui bahwa tulisan-tulisan Drijarkara itu selalu aktual, orisinal, mendalam.

Pembacaan dan penafsiran atas pemikiran-pemikiran Drijarkara bakal mengajak kita memaknai Indonesia dengan keinsafan. Kita belum terlambat menilik ulang seruan-seruan pemaknaan Indonesia merujuk ke Drijarkara. Warisan tulisan-tulisan Drijarkara adalah bekal pemaknaan Indonesia saat menapaki abad XXI ini.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya