SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (2/9/2015), ditulis Edy Purwo Saputro. Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Gejolak ekonomi global harus dicermati karena berimbas terhadap perekonomian di dalam negeri. Gejolak politik di Malaysia juga perlu dicermati, terutama efek domino di dalam negeri kita. Paling tidak, hal ini harus dicermati dari terpuruknya ringgit Malaysia (RM) pada akhir pekan lalu yang mencapai RM4.243 per dolar Amerika Serikat (US$).

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Pelemahan mata uang ringgit Malaysia ini juga berpengaruh terhadap kerontokan bursa di Malaysia. Pada saat bersamaan ada demonstrasi besar-besaran di Malaysia pada akhir pekan lalu sebelum perayaan kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus.

Hal ini mengindikasikan efek berantai gejolak ekonomi perlu dicermati agar tak berimbas ke ekonomi domestik yang berakibat pelemahan ekonomi yang semakin parah. Jika dicermati, sebenarnya efek berantai gejolak ekonomi saat ini tidak hanya dipicu krisis di Yunani yang berlanjut krisis di Tiongkok, tapi juga dipengaruhi kondisi makroekonomi dan diperparah oleh iklim sosial politik.

Devaluasi yuan oleh pemerintah Tiongkok pada awal bulan lalu bukanlah satu-satunya efek berantai dari gejolak krisis yang tampaknya akan terus berlanjut sampai akhir tahun. Keyakinan ini dipicu mata rantai yang muncul dari dampak itu sendiri.

Artinya, meredam gejolak ekonomi tidak hanya telah membebani mayoritas negara berkembang, tapi juga menjadi tantangan bagi mayoritas negara industri. Fakta ini secara tidak langsung membenarkan kepanikan para investor dengan aksi jual pada sepekan terakhir tidak hanya dipicu oleh pesimisme ekonomi, tapi juga spekulasi terhadap kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana antisipasi dari gejolak ekonomi ini? Pertama, perlu diwaspadai dampak gejolak ekonomi terhadap daya saing produk. Hal ini tidak terlepas dari kebutuhan sebagian bahan baku industri dalam negeri yang selama ini masih diimpor.

Nilai tukar US$ yang telah menembus batas psikologis Rp14.000 tentu menjadi ancaman serius terhadap daya saing produk domestik. Secara teoritis naiknya nilai tukar US$ berpengaruh positif terhadap nilai ekspor kita sehingga berpengaruh kepada neraca perdagangan.

Ironisnya, selama ini komponen bahan baku masih banyak yang diimpor sehingga kenaikan nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap produk kita sehingga pengaruhnya terhadap neraca perdagangan tidak banyak, yang terjadi justru sebaliknya.

Persoalan lain di balik pelemahan nilai tukar rupiah adalah melemahnya kapasitas produksi dan tentu hal ini bisa berujung pada ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. PHK massal rentan terhadap aspek sossial politik karena gejolak perburuhan, terutama untuk industri yang padat karya, yang sangat rentan memicu konflik sosial.

PHK juga butuh dana yang tidak kecil. Merekrut pegawai baru juga butuh dana untuk pelatihan. Industri tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu sektor industru yang perlu dicermati terkait dampak dari gejolak ekonomi saat ini.

Terkait hal ini, sangat beralasan ketika Presiden Joko Widodo mengumpulkan kalangan pengusaha pada Senin, 24 Agustus lalu, di Istana Bogor dengan agenda meyakinkan mereka tentang kondisi pasar keuangan dalam negeri yang kuat.

Kedua, memberikan dukungan kepada badna usaha milik Negara (BUMN), terutama yang tercatat di bursa. Saat ini ada 29 BUMN yang tercatat di bursa dan dalam sebulan terakhir harga saham BUMN rontok. Pemerintah telah menyediakan dana Rp10 triliun untuk buy back dan program itu telah dimulai pada Selasa, 25 Agustus lalu.

Terkait hal ini Menteri BUMN Rini Soemarno menyatakan pemerintah akan memetakan setidaknya 13 saham BUMN yang menjadi prioritas buy back. Dari 29 BUMN yang tercatat di bursa, ternyata penurunan harga saham terbesar dialami PT Indofarma, yaitu 62,57%, meskipun masih ada sejumlah saham yang trennya positif, misalnya saham PT Waskita Karya. [Baca: Utang]

 

Utang
Ketiga, yang perlu dicermati juga bahwa jatuh tempo utang pada September ini akan memengaruhi nilai tukar rupiah. Kebutuhan terhadap US$ semakin tinggi. US$ ini tidak hanya untuk memenuhi utang pemerintah, tapi juga utang swasta. Jika dicermati, siklus permintaan US$ meninggi pada Maret, September, dan Desember.

Bukan tidak mungkin pada September ini nilai tukar rupiah akan semakin terperosok dan dampaknya terhadap perekonomian domestik kian dirasakan. Sampai akhir 2015 utang jatuh tempo pemerintah mencapai Rp 47 triliun.

Selain itu, utang valuta asing (valas) perbankan juga meningkat. Pada semester I 2015 nilai utang valas perbankan mencapai US$31,7 miliar. Artinya, ketika rupiah kian terpuruk maka utang dalam bentuk US$ jadi meningkat dan tentu ini harus diwaspadai.

Keempat, ketika gejolak ekonomi menguat dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah melemah, ternyata dunia usaha juga tertekan oleh regulasi wajib rupiah sesuai dengan aturan Bank Indonesia (BI) No. 17/3/PBI/2015. Aturan BI tersebut mulai berlaku 31 Maret 2015. Aturan ini mewajibkan semua pihak menggunakan rupiah dalam transaksi yang dilakukan di wilayah Indonesia.

Regulasi ini jelas berdampak serius terhadap dunia usaha yang bahan bakunya harus diimpor, sementara tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin melejit. Artinya, dilema dunia usaha dari situasi ini memberikan dampak yang tidak kecil. Imbas bagi proses produksi dan daya saing tidak bisa dihindari.

Kelima, berpikir rasional merupakan langkah bijak yang harus dilakukan. Berpikir rasional jelas berpengaruh terhadap ekspansi usaha. Artinya, emiten saham pasti mereduksi ekspansi dan tentu hal ini berpengaruh terhadap rencana investasi dan realisasinya.

Oleh karena itu, cukup beralasan ketika pemerintah merevisi target pertumbuhan ekonomi pada 2015 ini karena memang situasinya tidak prospektif. Sebenarnya revisi ini tidak bisa terlepas dari situasi rendahnya daya serap anggaran, baik anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa dampak gejolak ekonomi saat ini telah memicu efek berantai yang perlu dicermati dengan saksama. Kewaspadaan jangan sampai kendur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya