SOLOPOS.COM - Andri Saptono (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (27/4/2015), ditulis Andri Saptono. Penulis adalah pengkaji masalah sosial kemasyarakatan dan saat ini aktif di Pakagula Sastra Karanganyar.

Solopos.com, SOLO — Istilah bank plecit atau lintah darat dulu lebih masyhur daripada debt collector. Bank plecit ini biasa berkeliling di desa-desa, menawarkan pinjaman dengan cepat dan tanpa administrasi yang ribet, cukup dengan jamiman fotokopi kartu tanda penduduk (KTP).

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Penampilan bank plecit nyaris jadi stereotip sampai sekarang. Bersepeda motor dan berjaket kulit, bertas slempang, sambil membawa buku kecil daftar tagihan kepada para nasabahnya.

Biasanya mereka lebih suka menemui kaum ibu yang bergerombol, entah sedang petan tuma atau sekadar nangga. Begitulah realitas yang terjadi di desa saya dan beberapa desa lain di Karanganyar.

Desa menjadi tujuan bank plecit beroperasi. Seperti di desa saya, sasaran utama mereka adalah kaum ibu dari kalangan menengah ke bawah. Bank plecit ini menawarkan pinjaman uang dengan cara cepat dan tidak berbelit-belit tetapi dengan bunga yang mencekik leher.

Para ibu yang merasa butuh dana atau kesulitan keuangan dengan mudah menerima pinjaman yang berbunga tinggi ini dan dengan demikian masuk menjadi nasabah para ”setan kredit” itu.

Bank plecit hanya mencari keuntungan dan membuat uangnya beranak pinak. Mungkin ada pertanyaan mengapa bank plecit memilih desa?

Penghuni desa adalah masyarakat yang berpendidikan rendah dan tingkat ekonomi yang sering kali kesingsal dengan perubahan zaman. Keadaan ini dimanfaatkan bank plecit untuk memperbanyak nasabah alias menjerat korbannya.

Relasi antara bank plecit dan nasabah bukanlah sama-sama menguntungkan (simbiosis mutualisme), apalagi dengan keyakinan hendak menolong. Bank plecit itu menjerat nasabah dengan gaya hidup suka berutang.

Mereka tak peduli dengan persoalan tolong-menolong atau orang yang kesusahan. Tak jarang bank plecit mengancam hingga menganiaya nasabah jika ada kredit macet. Kaum ibu yang terjerat utang ini sering kali tanpa persetujuan suami, dan berakibat menyalakan keributan di rumah tangga.

Tersebab utang kepada rentenir inilah hampir terjadi perceraian karena suami kaget ternyata istrinya berutang di dan nilainya tak sedikit. Solopos pernah mencatat fenomena ini di Desa Jambon, Gamping, Sleman, DIY.

Di desa itu ada yang memasang pengumuman dengan tulisan “Bank Plecit Dilarang Masuk di Kampung Ini”. Pengumunan ini muncul karena dampak negatif aktivitas bank plecit yang  masuk ke desa tersebut.

Fenomena senada juga muncul di Dusun Tiken, Desa Pulutan Wetan, Kecamatan Wuryantoro, Wonogiri. Di dusun itu ada pengumuman berwujud poster dengan tulisan “Bang [semestinya ditulis ’Bank’] Plecit Dilarang Masuk. Kesepakatan Bapak-Bapak dan Karang Taruna Dusun Tiken”.

Dalam buku sekolah dan prosa sering disinggung lintah darat. Novel Siti Nurbaya karangan Marah Rusli mengetengahkan karakter Datuk Maringgih sebagai seorang rentenir licik.

Pekerjaan sebagai bank plecit atau rentenir umumnya dibenci dan dianggap sebagai pengganggu ketenteraman dalam masyarakat. Kehadiran mereka seakan hendak memangsa orang yang lengah. Barangkali seperti serigala yang hendak menjerat mangsanya.

Paradigma bank plecit atau lintah darat sekarang mengalami pleonasme menjadi debt colector. Hal ini barangkali seperti pelacur menjadi pekerja seks komersial. Pengumuman lowongan debt colector (bank plecit) sering kali muncul di iklan koran dan ikut bersaing dengan bursa lowongan kerja.

Jika dikaji dengan kacamata agama, jelas bank plecit ini haram hukumnya. Selain mereka berpraktik menghimpun riba, mereka juga mencekik leher para nasabah.

Masyarakat yang awalnya antipati dengan bank plecit kini seolah-olah dibisiki bahwa sekarang bank plecit adalah koperasi simpan pinjam yang memudahkan berutang. Ada juga sosialisasi bahwa sekarang tidak ada riba, tetapi bunga atau uang administrasi. [Persoalan Masyarakat]

 

Persoalan Masyarakat
Bank plecit yang kini berubah nama atau sebutannya menjadi apa pun adalah persoalan di masyarakat kita. Masyarakat jelas lebih membutuhkan pertolongan secara terstruktur dan sistematis, bukan pertolongan instan yang malah mencelakakan, seperti misalnya berutang kepada rentenir.

Dari persoalan inilah kita hendaknya bergerak untuk berkarya menumbuhkan ekonomi kreatif di desa. Paradigma desa adalah tempat terbelakang dan ndesa harus diubah menjadi desa yang peka zaman dan berkarya kreatif.

Contoh yang termudah adalah alokasi bantuan tidak hanya pada sarana dan prasarana infrastruktur desa. Fakta menunjukkan pembangunan itu tidak semuanya teralokasikan dengan tepat atau bisa membuat perekonomian langsung bertumbuh dengan cepat.

Andaikan bantuan digunakan untuk usaha bersama, membuat home industry, atau misalnya lokakarya bagi masyarakat desa tentu alokasi dana bantuan dari pemerintah tersebut akan lebih optimal.

Saat pemerintah menggulirkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sering terjadi bantuan hanya untuk memperbagus jalan, membuat gapura, atau mempermegah pos keamanan lingkungan (pos kamling) yang malah tidak berfungsi apa pun.



Ada pula pengajuan proposal kepada, misalnya partai politik atau badan usaha, tetapi hanya untuk membeli perabot bala pecah di kampung. Bantuan demikian tentu akan lebih optimal bila dibelikan kambing kemudian dikelola menjadi peternakan kambing fermentasi atau misalnya untuk usaha kaum ibu.

Tampaknya kesadaran semacam ini belum tumbuh di banyak desa, terutama di Karanganyar. Sering terlihat pembangunan infrastruktur yang maju tetapi pemikiran warga desa masih ndesa yang kesingsal dari derap perubahan zaman.

Yang dibutuhkan sesungguhnya bukan sekadar larangan bank plecit masuk kampung, tetapi menumbuhkan semangat kreatif dan mengurangi gaya hidup berutang kepada para rentenir.

Penanaman pengertian harus sampai pada kesadaran sesungguhnya riba itu berbeda dengan jual beli yang berprinsip mendapat keuntungan dari pihak lain. Utang piutang adalah perkara sosial ekonomi yang tak bisa dihindari namun akan lebih bijak jika bisa menghindari bank plecit.

Industri kreatif jangan hanya berpusat di kota tetapi juga harus digerakkan ke desa-desa, tentu harus disertai penempatan sumber daya manusia unggul di tengah masyarakat desa untuk menggerakkan mereka.

Unsur komunalisme dan sikap gotong royong masyarakat desa bisa menjadi energi untuk membangun ekonomi kreatif. Perekonomian masyarakat akan lebih maju dan tidak kesingsal di tengah derap perubahan zaman yang bergerak cepat ini.

Pemerintah tak boleh lupa mengadakan program padat karya untuk penduduk desa. Kalau pemerintah hanya terfokus pada program pemberian bantuan langsung yang sifatnya sementara, dalam jangka panjang hanya akan membentuk manusia Indonesia menjadi bermental pengemis.

Mereka hanya melulu ingin disubsidi, padahal uang bantuan yang diberikan itu kadang tidak digunakan untuk kebutuhan yang tepat. Sebagian membelanjakan uang bantuan itu untuk membeli gadget baru atau melunasi utang ke bank plecit.

Menumbuhkan ekonomi kerakyatan yang diwacanakan pemerintahan Presiden Joko Widodo memang tak bisa serta-merta terwuujud. Pemerintah tak cukup sekadar mendorong wacana ekonomi kerakyatan di media-media mainstream atau media sosial.

Tentu akan lebih baik bila pemerintah memberikan ”kapak dan cangkul” kepada penduduk desa untuk bekerja daripada memberikan dana bantuan yang sifatnya sementara yang ternyata tidak membuat penduduk desa menjadi lebih produktif dalam bekerja. Wallahu a’lam bishshowab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya