SOLOPOS.COM - Satori Adib Sihwadi Dosen tidak tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata

Satori Adib Sihwadi
Dosen tidak tetap
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unika Soegijapranata. (FOTO/Istimewa)

Pemilihan gubernur (pilgub) di Jawa Tengah (Jateng) tinggal lima bulan lagi. Situasi politik masih sepi. Partai politik (parpol) masih berkutat  menyiapkan figur calon gubernur/wakil gubernur (cagub/cawagub). Hingga kini belum ada satu parpol atau koalisi parpol yang menetapkan cagub dan cawagub yang resmi diusung.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

DPD Partai Demokrat Jateng mengungkapkan sinyal Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, mendukung Gubernur Jateng saat ini, Bibit Waluyo, untuk diusung menjadi cagub dalam pilgub lima bulan mendatang. DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jateng, walau belum tertulis, menetapkan Arif Mudatsir Mandan, sebagai cagub atau cawagub yang akan diusung sambil menunggu perkembangan koalisi yang diprakarsai Partai Golkar.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih menunggu keputusan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Siapa calon yang diusung? Apakah berani mengusung  pasangan calon tanpa koalisi setelah kepercayaan melambung karena kemenangan Joko Widodo (Jokowi) pada pilgub Jakarta? Masih misteri. Pilihan diprediksi akan jatuh di antara tiga kandidat: Rustriningsih, Ganjar Pranowo dan Hadi Prabowo. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) belum menyebut nama, tapi mengusulkan tiga nama kandidat ke DPP PKS.

Mengapa situasi politik masih sepi sementara pilgub 2013 tinggal lima bulan lagi padahal dalam pilgub sebelumnya tidak demikian? Parpol kini mengalami krisis kader pemimpin regional. Ini menjadi salah satu topik yang menarik dalam pembicaraan pengamat politik. Rakyat Jateng sepertinya lebih tertarik mengamati dan membicarakan Jokowi dan gebrakan yang di lakukan. Bila dilakukan survei, pasti rakyat Jateng  menginginkan dan akan memilih cagub yang visi, sifat, ketokohan,  kinerja dan cara kerjanya mirip Jokowi.

Bukan kerja pemimpin yang biasa. Begitu kesan yang terbentuk. Kompleksitas masalah dan ekpektasi masyarakat DKI Jakarta yang tinggi dijawab Jokowi dengan tindakan nyata tanpa banyak bicara. Ia turun langsung ke lokasi untuk memahami dan memetakan masalah. Ia berkomunikasi dua arah dengan bahasa yang sederhana dan santun, menjadikan masyarakat menantikan kehadirannya. Komunikasi dua arah yang efektif diyakini mendorong tumbuhnya partisipasi positif masyarakat dalam mengatasi masalah.

Ada pelajaran berharga  dari pilgub Jakarta  untuk pilgub Jateng yang perlu digarisbawahi. Selain Fauzi Bowo yang kalah dan menunjukan kenegarawanannya dengan secara sportif memberi selamat kepada Jokowi dan bersedia memberi masukan bila dibutuhkan, pemilih di DKI Jakarta lebih rasional dan cair. Mereka memilih lebih figur. Asal parpol tidak menjadi pertimbangan utama. Pemilih lebih percaya pada apa yang dilihat dan dirasakan dari pada paparan angka statistik laporan kinerja. Cagub bisa berstatus kader parpol luar daerah. Jadi, krisis kader partai regional tidak menjadi persoalan bagi pemilih.

Di Jateng, ketika belum ada satu pun parpol menetapkan cagub/cawagub. lebih bijak bila dimaknai sebagai pertanda baik. Bibit Waluyo selaku Gubernur Jateng bisa  fokus bekerja. Dia tidak perlu terganggu hiruk-pikuk situasi politik. Hal ini lebih disenangi rakyat. Dengan waktu sosialisasi yang lebih singkat, bijak bagi cagub yang belum populer dan tidak memiliki kinerja yang baik untuk  berkaca diri  daripada rugi.

Ditilik dari dinamika politik akhir-akhir ini, belum ramainya situasi politik menjelang pilgub Jateng yang tinggal lima bulan lagi  disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak dapat dimungkiri, parpol kini belum menemukan calon sekaliber Jokowi. Parpol butuh sosok semacam dia: pribadi jujur, sederhana dan memiliki popularitas yang dibangun atas dasar kinerja yang diakui oleh masyarakat, memiliki tingkat keterpilihan yang tinggi dan dipercaya mampu melaksanakan program kerjanya setelah terpilih.

Sangat bagus bila parpol tahu diri telah gagal dalam pengaderan calon pemimpin. Tapi, bagi kandidat yang sekaliber Jokowi tidak perlu merasa sungkan apalagi gamang  untuk maju mencalonkan diri. Kesempatan mendaftar masih ada. Kedua, banyak pejabat publik dari parpol yang terpidana karena korupsi dan tingkah laku mereka tidak terpuji. Ini diakui atau tidak menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap parpol dan pejabat publik menurun.

 

Mesin Parpol

Realitas demikian tentu memengaruhi rakyat dalam menentukan pilihan mereka dan akan berdampak pada kerja mesin parpol yang berjalan kurang efektif. Bagaimana bisa mengarahkan pemilih bila kepercayaan rakyat terhadap parpol menurun? Menjadi ajar bila hasil Pemilu 2009 dengan perolehan kursi di DPRD Jateng: PDIP 23, Demokrat 16, Golkar 11, PAN 10, PKS 10, PKB sembilan, Gerindra sembilan,  PPP tujuh, Hanura empat dan PKNU satu pasti tidak akan linier dengan jumlah pemilih yang bakal diperebutkan pada pilgub Jateng mendatang.

PDIP dan Partai Demokrat yang bisa mengusung sendiri cagub/cawagub atau parpol yang harus berkoalisi karena perolehan suaranya di bawah 15 %, fungsinya mungkin sekadar perahu pengantar saat pasangan calon mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jateng. Tentu saja kebenarannya akan terbaca setelah pilgub usai.

Ketiga, gencarnya upaya memberantas korupsi dan media massa yang setiap hari memberitakan kasus-kasus korupsi, menjadikan cagub dan cawagub  berpikir seribu kali untuk tampil kalau tidak mau rugi. Betapa tidak, dalam pilgub secara langsung, konon pasangan kandidat harus mengeluarkan uang minimal Rp100 miliar untuk bisa berkampanye efektif ke seluruh wilayah provinsi. Ongkos ”sewa perahu” yang ditanggung cagub/cawagub konon juga tidak sedikit.

Jelas, modal yang keluar tidak dapat kembali tanpa korupsi. Ekspektasi rakyat akan peran gubernur juga demikian tinggi yang tidak bakal bisa dipenuhi hanya dengan kerja biasa-biasa saja. Parpol sebenarnya menjadi filter pertama dalam perekrutan cagub/cawagub. Parpol yang dilanda krisis kepercayaan perlu mengusung calon yang bersih, visioner, dipercaya dan mumpuni untuk meraih kepercayaan rakyat yang menurun. Ini tanpa perlu mempertimbangkan putra daerah atau luar daerah, sipil atau militer.

Sejarah mencatat Jokowi dan langkah cerdasnya dalam merebut kursi DKI Jakarta 1. Ia mengalahkan incumbent (petahana) yang lebih kuat secara finansial dan didukung oleh partai-partai besar. Ini menjadi bukti bahwa biaya besar tidak menjamin kemenangan dan biaya yang ditanggung pribadi cagub untuk menang dapat ditekan.

Saat proses pencalonan di internal PDIP, Jokowi tidak mengembalikan formulir pendaftaran  yang disyaratkan PDIP, tapi dia dipanggil untuk  mengikuti uji kepatutan dan kelayakan. Akhirnya dia ditetapkan jadi cagub DKI Jakarta oleh PDIP  berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Terbangun citra bahwa  Jokowi bukan sosok ambisius yang gila jabatan gubernur. Dia menyatakan siap diusung menjadi cagub karena penugasan dari partai. Berhasil membangun citra yang positif bagi cagub yang diusung merupakan modal awal yang ditanam di hati rakyat sebelum proses sosialisasi dilakukan. Ini strategi pemenangan yang jitu dan elegan. Sekretaris Daerah Provinsi Jateng, Hadi Prabowo, yang belum mengumumkan diri sebagai cagub tapi digdukung banyak pihak, berpeluang mengulang membangun citra sebagai sosok yang tidak ambisius bila PDIP mengusungnya untuk jabatan cagub atau cawagub.

Catatan pentingnya: Hadi Prabowo dipanggil DPP PDIP bukan karena dirinya mendaftar. Tapi, bila dirinya mendaftar ke DPP PDIP, lalu dipanggil mengikuti uji kepatutan dan kelayakan, citra yang terbangun tidak dapat menyamai  Jokowi saat itu.  Di putaran kedua pilgub, dengan dikepung partai-partai besar, Jokowi-Ahok menyatakan berkoalisi dengan rakyat. Rakyatlah yang akan memilih, bukan partai.

 

Komunikasi Efektif

Komunikasi politik yang dibangun dengan mendatangi rakyat di pasar, masuk gang-gang kampung dan naik kereta rel listrik (KRL)/bus kota ternyata lebih effektif. Pengumpul massa yang memerlukan biaya banyak dihindari. Biaya sosialisasi diri dan kampanye dapat ditekan. Sedikit banyak ini dapat mengatasi pilgub yang berbiaya mahal. Apalagi kinerjanya tidak saja diakui oleh pemerintah dan lembaga internasional tapi juga oleh rakyat.

Pengakuan kinerja oleh rakyat jelas punya nilai lebih tinggi dari penghargaan lainnya. Dan dukungan dari pemilih akan lebih gampang digalang dan didulang. Politik uang ditengarai akan menjadi masalah hukum bagi yang  masih berani melakukannya. Pemilih telah sadar uang ratusan ribu rupiah yang diterima saat ”serangan fajar” sungguh tidak berarti dibanding hilangnya miliaran rupiah yang dikorupsi. Ini sama artinya dengan hilangnya dana yang semestinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.



PDIP selaku pemilik kursi terbanyak di DPRD Jateng hasil Pemilu 2009 dapat mengalami apa yang dialami Partai Demokrat saat pilgub Jakarta bila  calon yang diusung tidak sesuai dengan yang diingini pemilih. Terlebih  bila cagub/cawagub yang dipilih tidak dapat diterima oleh kader daerah yang menjadikan dukungan pecah seperti kejadian dalam pemilihan bupati (pilbu) di Pati. Partai ideologis dengan pendukung yang terbilang fanatik akan diuji dengan semakin rasionalnya pemilih.

Hal-hal di atas sedikit banyak menyebabkan PDIP baru akan menetapkan pasangan calon pada saat-saat terakhir menjelang pendaftaran. Bila benar demikian, ada kehendak PDIP agar calon yang diusung memiliki loyalitas yang tinggi dan siap berkontribusi maksimal terhadap  partai setelah terpilih. Ini tentu akan menjadi catatan tersendiri bagi pemilih. Bukankah setelah terpilih berarti menjadi gubernur untuk semua golongan?

Semestinya loyalitas dan kontribusi gubernur terpilih yang paling utama adalah terhadap rakyat. Tentu tidak sehat bila dalam kehidupan bernegara gubernur punya dua ”atasan”: ketua partai dan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, ada kehawatiran pejabat publik menjadi sumber uang untuk mengisi pundi-pundi partai menjelang Pemilu 2014. Bila parpol dalam mengusung pasangan cagub/cawagub mampu menjawab keinginan rakyat, selain calonnya akan menang, pasti juga memengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Bila sebaliknya, diperkirakan persentase golput akan besar dan jadi  pemenang, mengalahkan perolehan suara cagugubernur terpilih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya