SOLOPOS.COM - Riyadi riyadi.uns@gmail.com Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Riyadi riyadi.uns@gmail.com Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan  dan Ilmu Pendidikan  Universitas Sebelas Maret

Riyadi
riyadi.uns@gmail.com
Dosen Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret

Konsep pemerintahan Jawa masa feodal menempatkan raja sebagai puncuk pimpinan tertinggi yang memiliki kekuasaan absolut. Absolutisme itu direpresentasikan mulai dari genealogi, legitimasi, hingga suksesi. Segi genealogi, seorang raja berasal dari trah terpilih yang diyakini sebagai rembesing madu, wijiling atopo, tedhaking andhana warih, artinya seorang raja berasal dari garis keturunan yang unggul (konsep patriakat).

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Untuk menjadi raja dibutuhkan lelaku  yang tidak setiap orang mampu melalui dan memiliki sifat kebatinan yang linuwih. Konsep ini pula yang menghadirkan gambaran linuwih pada Ki Ageng Selo yang mampu menangkap petir. Ki Ageng Selo menjadi cikal bakal raja Mataram yang menurunkan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Mataram menempatkan raja pada posisi yang sangat tinggi bahkan diibaratkan kekuasaan raja sebesar kekusaan dewa sebagai pemelihara hukum, pemilik seluruh wilayah kerajaan, serta selalu bersikap adil terhadap kawulanya. Ini dalam konsep Jawa disebut gung binathara, bau dendha anyakrawati, ambeg adil para marta. Hak ekstra istimewa yang dimiliki raja menjadi tumpuan untuk mewujudkan negara yang gemah ripah, tata titi temtrem, kerta tur raharja. Hal ini pula yang mendukung masyarakat Jawa memiliki loyalitas yang tinggi terhadap raja.

Pembangunan legitimasi kekuasaan raja sering kali disusun dengan konsep nonempiris berbasis mitos yang jauh dari nalar logis. Kerajaan Mataram menempatkan Ratu Pantai Selatan (Ratu Segara Kidul) sebagai koalisi politis. Bentuk legitimasi ini juga diturunkan kepada Kasunanan surakarta dengan dibangunnya Panggung Sangga Buwana yang konon diyakini sebagai tempat bertemunya raja dengan sosok yang dianggap memiliki kekuasaan gaib bagi masyarakat Jawa.

Mitos dalam masyakarat Jawa mampu menjadi pranata sosial yang ampuh dalam membingkai kehidupan kultural masyarakat. Dalam beberapa kali suksesi Keraton Mataram serta pecahannya, yakni Keraton Kasunanan Surakarta, sering diwarnai konflik sehingga membuahkan pranata (angger-angger) baru. Hal ini pula yang menjadi salah satu akar retaknya kedaulatan keraton.

Menjadi sebuah pemikiran ketika seorang raja yang memiliki kekuasaan jauh lebih besar dibandingkan pemimpin yang dipilih melalui sistem demokrasi ternyata justru dirundung konflik yang berkepanjangan serta menyita energi elemen-elemen yang terlibat. Untuk menjawab permasalahan tersebut pelu dimulai dengan analisis sejarah munculnya kekuasaan raja dengan kepemilikan kekuasaan yang hampir tidak masuk akal.

 

Ketegasan

Pertama, raja memiliki kekusaan yang absolut sabda pandhita ratu.  Raja memiliki kewenangan sebagai pembuat undang-undang, artinya seharusnya penyelesaian konflik di Keraton Solo cukup mudah diatasi raja dengan kekuasaan dimilikinya. Apa pun kebijakan dan titah raja dalam mengelola kerajaannya hendaknya dipatuhi seluruh kawula, sehingga  penyelesaian konflik seperti yang terjadi sekarang dapat diredam dengan ketegasan raja yang memiliki sabda pandhita ratu.

Dewan Adat yang difungsikan sebagai pengontrol raja dalam menjalankan pemerintahannya justru menghalangi hak raja sebagai pengambil kebijakan tertinggi. Namun sebagai seorang yang linuwih, raja biasanya meminta banyak pertimbangan dari penggawa dalam membuat kebijakan. Bentuk jabatan baru maha menteri seharusnya dirembuk dengan penggawa keraton terlebih dahulu, sehingga tidak sampai mencuat sebagai konflik.

Apa pun keputusan yang diambil raja, pihak yang tidak terakomodasi harus legawa. Di sinilah letak pentingnya ketegasan raja, bukan justru raja disandera kelompok tertentu di lingkungan keraton. Kedua, raja juga memiliki jabatan sebagai panatagama (penata agama). Dalam konsep Islam, panatagama disebut sebagai ulama yang memiliki sifat profetik yang tinggi. Sikap profetik memiliki kecenderungan untuk menghindari konflik serta senantiasa mencari kedamaian dan keselarasan.

Ketiga, sejak pengakuan Keraton Kasunanan Surakarta atas eksistensi Republik Indonesia (RI) pada 1945 serta dicabutnya Daerah Istimewa Surakarta (DIS), tidak terdapat kekuasaan di dalam kekuasaan. Artinya kekuasaan feodalisme dalam ranah politik sudah luruh. Posisi keraton dioptimalkan sebagai identitas sejarah serta pusat kebudayaan Jawa.

Contohnya, masa Majapahit wilayah Surakarta sekarang menjadi bagian Majapahit. Setelah Majapahit runtuh dan digantikan Mataram, wilayah Surakarta menjadi wilayah milik Mataram. Dengan analogi yang sama setelah berdirinya Republik Indonesia  maka Surakarta juga menjadi bagian dari Repubik Indonesia.

 

Dinamisasi Feodalisme

Bila membandingkan feodalisme di Solo (Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat) dengan feodalisme di Inggris dan Prancis ternyata Solo memiliki keunikan tersendiri. Inggris sampai sekarang masih mampu mempertahankan konsep feodalismenya karena feodalisme Inggris bersifat lentur dan mampu menyesuaikan dengan dinamika serta perubahan di Inggris.

Dedangkan feodalidme di Prancis dapat ditumbangkan karena tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan rakyatnya. Solo memiliki nuansa yang berbeda, yakni kedaulatan feodal memiliki kekuasaan terbatas. Pembatasan ini lebih pada pengakuan kultura. Eksistensi Keraton Solo masa sekarang seharusnya tidak lagi pada ranah politis, justru harus lebih ditekankan pada aspek kultural.

Eksistensi keraton menjadi ”pegangan” dan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat Jawa. Dengan posisi yang demikian maka Keraton  Solo memegang peran penting bagi masyarakat dan peradaban. Loyalitas dan pengakuan terhadap raja dibuktikan dengan keriuhan masyarakat Jawa yang senantiasa menghadiri setiap kegiatan yang diselenggarakan keraton. Dalam kondisi konflik di internal keraton seperti sekarang, masyarakat berharap segera tercipta harmoni dan keraton kembali menjadi panutan kultural dan tuntunan, bukan malah menjadi tontonan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya