SOLOPOS.COM - Andre Rahmanto andreyuda@yahoo.com Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

 Andre Rahmanto andreyuda@yahoo.com Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan  Universitas Sebelas Maret Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi  Universitas Padjadjaran


Andre Rahmanto
andreyuda@yahoo.com
Dosen di Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran

Banyaknya event budaya yang batal digelar di Kota Solo membuat Pemerintah Kota Solo berencana mencoret sejumlah event yang dinilai tidak relevan dengan dinamika kota (Solopos, 16 Juli 2013). Beberapa perhelatan yang bermasalah tersebut antara lain mundurnya ajang Solo Batik Fashion (SBF) dan Festival Wayang Bocah.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Selain itu, penyelenggaraan event unggulan Solo Batik Carnival (SBC) VI juga dinilai kurang maksimal. Hal ini menambah daftar panjang beberapa event yang batal dilaksanakan pada 2012 yang lalu, di antaranya Solo International Ethnic Music (SIEM), Festival Dalang Bocah dan Solo Investation Tourism and Trade Expo (Sittex). Jika tidak segera diatasi dengan serius tampaknya permasalahan pembatalan event ini akan terus berlanjut dan justru membahayakan citra Kota Solo.

Harus diakui, pada periode kepemimpinan Wali Kota Joko Widodo (Jokowi) citra Kota Solo terkerek. Jika dilacak munculnya event secara masif sebenarnya baru pada era Jokowi. Event merupakan bagian dari upaya pembangunan citra kota yang dilakukan Pemerintah Kota Solo. Dalam Rencana Jangka Panjang Menengah Daerah (RJPMD) disebutkan visi Wali Kota periode 2010-2015 adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memajukan kota dilandasi spirit Solo sebagai kota budaya.

Sedangkan misi yang diusung mencakup sembilan aspek, yang salah satunya adalah pengembangan citra kota dengan menata kawasan wisata, budaya dan perdagangan serta meningkatkan acara-acara bertaraf nasional dan internasional. Jelas bahwa event merupakan satu paket dengan penataan wajah kota yang telah dimulai sejak periode pertama Jokowi menjabat Wali Kota Solo.

Tujuan event adalah mengembangkan brand image atau citra kota, sehingga Kota Solo dikenal sebagai kota budaya. Selanjutnya jika citra sudah terbentuk diharapkan akan berdampak pada pariwisata, perdagangan maupun investasi di Solo. Orang akan memperhitungkan Solo punya potensi yang tidak kalah dengan kota besar lain di Indonesia.

 

Disorientasi

Apakah berbagai event yang digelar tersebut sudah berkontribusi membentuk brand image  atau citra Kota Solo? Sebagian ya, tetapi lebih banyak tidak. Dari 40-an event setiap tahun hanya beberapa yang mampu menarik perhatian publik dan media nasional. Hampir semua event tersebut juga tidak jelas siapa sebenarnya target yang dituju. Ketidakjelasan target membuat event sebagai bentuk komunikasi brand atau citra kehilangan orientasi.

Dari perspektif komunikasi, ibarat orang berbicara mengeluarkan suara tetapi tidak jelas berbicara kepada siapa dan apa maksudnya. Salah satu buktinya penelitian yang saya lakukan dengan responden sejumlah wisatawan di Kota Solo menunjukkan justru sebagian besar di antara mereka tidak mengetahui adanya berbagai event tersebut.

Beberapa partisipan mengatakan kebanyakan event sekadar berorientasi pada segi kuantitas: jumlah penonton. Padahal kebanyakan penonton adalah warga Kota Solo dan sekitarnya, bukan wisatawan yang menjadi target hotel atau biro perjalanan wisata atau travel. Hal ini dapat dipahami karena pendekatan pencitraan yang dilakukan Kota Solo selama ini masih berorientasi produk tetapi belum mempertimbangkan  karakteristik konsu­men (sasaran) pencitraan kota.

Bagaimana komunikasi yang paling cocok untuk memenuhi kebutuhan informasi dan untuk memotivasi konsumen belum menjadi perhatian utama. Penyelenggaraan event budaya sebagian besar masih berorientasi pelestarian atau ekspresi seni kalangan tertentu. Hal ini tentu berbeda dengan prinsip komunikasi branding yang idealnya bersifat outside-in (Shimp, 2000:18), di mana komunikasi terfokus pada kebutuhan konsumen.

Berkaitan dengan tujuan (objective) yang menjadi unsur penting dalam komunikasi brand,  tidak jelas apakah event budaya yang digelar secara intensif tersebut bertujuan sebagai alat branding atau pencitraan ataukah event itu sendiri merupakan produk pariwisata. Jika sebagai alat branding, penyelenggaraan event idealnya memang harus lebih selektif, mulai dari konsep, sasaran penonton, hingga media publikasinya.

Kejelasan tujuan event juga diperlukan untuk mengukur dampak branding, misalnya apakah tujuannya untuk pengenalan (awareness) saja atau mendorong adanya tindakan (action) seperti bertambahnya jumlah wisatawan, bertambahnya jumlah investor dan sebagainya. Ketika sebagian orang menilai event tersebut belum bisa mendatangkan wisatawan tentu pernyataan tersebut kurang tepat jika memang tujuan dari event itu tidak sampai pada tahap tindakan atau hanya membentuk awareness saja.

 

Kolaborasi

Di sisi lain, secara internal komunikasi antara pemerintah dengan nonpemerintah (seniman, budayawan, pengelola hotel, pemangku pariwisata, pemangku sektor perdagangan, pemangku sektor investasi) masih belum cukup kohesif. Meskipun sama-sama memiliki tujuan untuk mempromosikan kota namun antara pemerintah dan pemangku kepentingan (khususnya pariwisata) memiliki keinginan dan prioritas yang tidak selalu sejalan.

Dari pandangan pelaku pariwisata, misalnya, kalender event yang disusun seharusnya tidak begitu banyak. Menurut mereka, event tersebut dapat dipilih beberapa saja yang merupakan unggulan namun benar-benar dapat menarik wisatawan untuk datang. Dengan jumlah yang lebih sedikit, menurut pelaku pariwisata biaya juga dapat dimaksimalkan.

Dari sisi pemerintah, jumlah event yang banyak tersebut selain dimaksudkan untuk mengakomodasi potensi seni dan budaya juga untuk memperkuat efek pemberitaan positif tentang Kota Solo sepanjang tahun. Namun, sayangnya perbedaan kualitas dan news value pada tiap event sangat variatif sehingga beberapa event tidak cukup efektif baik dari segi penonton maupun efek pemberitaan.

Saat ini setelah brand awareness Kota Solo tercapai, kurang jelas brand seperti apa lagi yang ingin dicapai oleh Pemerintah Kota Solo. Sangat disayangkan jika program branding yang termasuk warisan Jokowi menjadi sepi setelah inisiatornya pergi. Event memang hanya salah satu pendukung brand. Seperti kata Anholt (2001), perubahan citra kota membutuhkan waktu lama sebagai hasil kerja kolaborasi pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat.

Tidak ada cara singkat dan keajaiban mengubah citra sebuah kota atau negara hanya melalui iklan, logo, dan slogan, atau event yang masif. Tetapi, jangan lupa, meskipun sifatnya stimulan namun berbagai event tersebut tetap menggunakan dana publik, sehingga harus jelas pertanggungjawabannya. Lebih dari itu, konsistensi dan kualitas event budaya yang digelar akan menentukan apakah pilihan posisi Solo sebagai kota budaya atau spirit of Java masih  bisa bertahan oleh arus perubahan. Kita tunggu!

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya