SOLOPOS.COM - Budayawan Halim HD tampil membacakan easi-esai karya Eduardo Galeano yang digelar di Balai Soedjatmoko, Solo, Selasa (31/1). (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Gagasan kali ini ditulis Halim H.D. Penulis adalah networker kebudayaan.

Solopos.com, SOLO — Apakah sesungguhnya hakikat dari posisi-fungsi sebuah galeri publik? Jawaban pertanyaan ini sungguh tak segampang mengemukakan pertanyaannya.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Kita mesti melacak suatu sejarah kehadiran kesenian modern di negeri ini melalui pengaruh kebudayaan kolonial yang dibawa oleh bangsa Eropa ke Nusantara.

Perkembangan dalam dunia kesenian modern sangat kuat dipengaruhi perkembangan industri dan ekonomi akibat revolusi industri di Inggris yang telah mengubah bukan hanya sosok kesenian tapi juga posisi, fungsi, serta berbagai segi lainnya, termasuk di antaranya ruang kesenian.

Kita tidak bisa menolak pengaruh sejarah sosial yang masuk ke dalam wilayah Nusantara khususnya seni rupa yang berkaitan dengan posisi dan fungsinya dalam masyarakat urban.

Sejak revolusi industri yang paling menarik adalah ketika  orang kaya baru (OKB) dengan kecepatan peningkatan ekonomi yang dahsyat menciptakan suatu bentuk gaya hidup, khususnya di Amerika.

Anda bisa membayangkan, betapa rentang waktu antara 1920-1940, 1940-1960, dan 1960-1980 merupakan tiga periode penting pembentukan kebudayaan Amerika dan peranan  OKB Amerika memborong karya-karya seni rupa Eropa sebagaimana kasus keluarga Frick yang hingga kini memiliki koleksi ribuan karya.

Selain itu ada enam kolektor raksasa yang namanya sampai  kini dianggap sebagai acuan, misalnya Smithsonian, Barnes, Gillette. Ini sebagaimana diuraikan Peter Watson dalam bukunya Wisdom & Strength: the Biography of A Masterpiece Renaissance (Douleday, New York, 1989) dan The Devil and Dr. Barnes: Portrait of an American Art Collector (Howard Greenfeld, Viking, New York, 1987).

Melalui dua pakar sejarah seni rupa ini kita bisa mendapatkan gambaran yang menarik lebih jauh bahwa perkembangan seni rupa harus diiringi juga perkembangan galeri (dan museum) dan mesti didukung oleh sistem sistem manajemen yang kuat.

Perkembangan seni rupa juga harus didukung oleh kuratorium yang mumpuni yang memiliki visi sesuai dengan zaman. Melalui kuratorium yang dimiliki galeri (dan museum) tak jarang melahirkan berbagai kajian yang berujung lahirnya suatu teori.

Greenberg sebagai kritikus dan lalu digantikan oleh Calvin Tompkin (penulis buku From Post to Neo), misalnya, adalah bagian dari perkembangan seni rupa dan galeri (serta museum) sebagai ruang publik.

Beriringan dengan itu pula, lahirlah para penulis dan jurnalis spesialis rubrik kebudayaan yang mengkhususkan ke dalam kajian seni rupa. Art Now dan Art In America adalah dua majalah populer bulanan yang punya rubrik khusus seni rupa.

Selain itu ada The New Yorker dan The Village yang menjadi acuan untuk berita seni rupa dan kajiannya. Fenomena seni rupa itu menarik untuk kita bandingkan dengan lingkungan kita, khususnya memperbandingkan perkembangan pada suatu kota.

Perlu kita ingat sejak era 1960-an, khususnya awal tahun 1970-an, terjadi Amerikanisasi dalam sistem pendidikan dan orientasi nilai estetika seni rupa di Indonesia. Hingga kini, seni rupa kita masih menjadi pengikut Amerika-Eropa.

Peta Masalah
Kini kita melacak persoalan posisi-fungsi galeri sebagai ruang publik di Solo, seperti yang ditulis oleh Putut H. Pramono (Mewujudkan Galeri Kota, Solopos, 25 Maret 2015) berkaitan dengan keinginan Solo City Creative Network (SCCN) menjadikan ruang di Pasar Gede Harjonagoro sebagai galeri dan sekaligus warisan budaya (culture heritage).

Keinginan itu sudah tentu berhadapan dengan sejumlah masalah yang kerap kali tak diperhitungkan secara matang. Sejumlah pijakan diajukan oleh Putut, dan saya kira ada yang benar, walaupun juga perlu dikiritik berkaitan dengan sistem manajerial yang terbuka dan kokoh hubungannya dengan pendanaan berkaitan dengan program.

Jika kita tengok melalui perbandingan, misalnya, dengan Kota Jogja yang memiliki Jogja Museum Nasional (JMN) dan Galeri Jogja yang bekas Bisokop Soboharsono, perbandingan masalah ini akan menguak masalah kedua ruang publik seni rupa Jogja iti.

JMN tak memiliki sistem manajemen, sementara Galeri Jogja memiliki manajemen dan kurator namun tak mendapatkan dukungan dana yang memadai. Lalu kita tengok Galeri Nasional (Galnas) di Jakarta. Galnas ini mirip kasusnya dengan Galeri Jogja, bahkan ironisnya kasus Galnas pernah berulang kali mencoreng wajah kita.

Misalnya ketika Deutz Bank milik Jerman ingin membiaya Cai Guo Chang, perupa kontemporer Tiongkok kelas dunia yang diundang oleh bank terbesar di Eropa itu, Galnas justru lebih senang menyewakan ruangnya untuk kegiatan pameran lainnya.

Saat itu Deutz Bank  telah bersedia mengeluarkan dana Rp8 miliar-Rp10 miliar untuk mendatangkan perupa kondang itu. Kegagalan Galnas ini tersebab masalah program dan jadwal pameran.

Kita bandingkan dengan Galeri Cemeti yang memang meletakan posisi dan fungsinya sebagai galeri yang bersifat eksploratif-eksperimental yang sepanjang 25 tahun telah melahirkan seratusan perupa kontemporer Indonesia sejak 1989 dan menjadi ruang dialog karya kontemporer antarbenua.

Galeri Solo
Solo memang pernah menjadi sejenis arena bagi pertumbuhan seni rupa kontemporer pada 1990-an ketika Taman Budaya Surakarta (TBS) dikelola almarhum Murtidjono.

Setelah itu, seperti pernyataan mantan jurnalis kebudayaan, Efix Mulyadi, Solo kini menjadi sejenis ”kuburan seni rupa”. Pertanyaan kita, jika ada Galeri Solo sebagai galeri kota, bagaimana dengan sistem pendidikan senirupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan Universitas Sebelas Maret (UNS)?

Adakah produk lembaga pendidikan tinggi ini mampu mengisi ruang publik itu, atau mungkin galeri kota itu hanya akan menjadi arena reproduksi?



Pada sisi lainnya, galeri kota di mana pun di berbagai negeri, mesti didukung oleh anggaran memadai agar bisa membiayai manajemen yang tangguh serta kuratorum yang mumpuni.

Manajemen yang tangguh dan kuratorium yang mumpuni ini mendukung upaya menyusun program yang eksploratif dan visioner agar tidak menjadikan galeri kota hanya sebagai arena ruang yang bisa disewa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya