SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (30/1/2016), ditulis Bandung Mawardi. Penulis adalah kritikus sastra yang tinggal di Solo.

Solopos.com, SOLO — Konsorsium 100 pengusaha sepakat membangun lapangan golf seluas 100 hektare di perbatasan Kecamatan Kalijambe (Kabupaten Sragen) dan Kecamatan Nogosari  (Kabupaten Boyolali), Jawa Tengah.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Rencana pembangunan lapangan golf ini dimulai sejak 2012. Warga di sekitar lokasi bakal lapangan golf mendukung dengan cara bersedia menjual lahan mereka. Berita itu mengandung optimisme pengusaha, pemerintah, dan warga. Lapangan golf jadi idaman bersama.

Ekspresi dan sambutan pembanguan lapangan golf tampak berbeda dengan episode lapangan golf masa Orde Baru. Dulu pembebasan tanah untuk lapangan atau padang golf sering bermasalah. Golf juga jadi sasaran kritik berkonteks kesejahteraan, ekologi, dan birokrasi.

Zaman telah berubah. Lapangan golf kini terkesan memberi dampak ekonomi dan layak diharapakan turut memajukan daerah.  Berita hampir serupa muncul dari Sulawesi Tengah. Semula kita mengenali Pasha “Ungu” adalah artis, bersenandung lagu-lagu romantis.

Biografi berbelok arah, Pasha ingin jadi pejabat. Ikhtiar besar dilakukan melalui pemilihan kepala daerah di Palu, Sulawesi Tengah, 9 Desember 2015. Predikat pejabat diperoleh Pasha setelah bekerja keras dengan modal besar. Kini ia menunggu jadwal pelantikan sebagai Wakil Wali Kota Palu.

Pasha bakal berumah di Palu, tak lagi di Jakarta. Pasha senang bermain golf. Pasha merasa sulit menuruti kemauan bermain golf di Palu. Pasha berkata, ”… lapangan golf di Palu belum sebaik di Jakarta dan Bogor.” Apa arti golf? Pasha belum resmi dilantik menjadi pejabat tapi sudah kebingungan urusan golf.

Barangkali golf itu penting dalam melaksanaan amanah kekuasaan. Kebiasaan bermain golf sepekan sekali di Jakarta atau Bogor sulit dilaksanakan di Palu. Golf masuk daftar hal genting. Ia ingin membuat program lapangan golf. Di pelbagai kota, para pejabat sedang bersaing membuat taman, merawat sungai, dan menanam pohon, tapi Pasha terobsesi lapangan golf.

Argumentasi Pasha, ”Mengelola lapangan golf secara profesional bisa mendatangkan keuntungan ekonomi, juga membuka lapangan pekerjaan baru buat masyarakat sekitar” (Tempo, 11-17 Januari 2016).

Pejabat bermain golf adalah cerita fenomenal masa Orde Baru. Soeharto bersama para pengusaha, artis, dan tokoh tenar mengisahkan diri di lapangan golf. Bermain golf jadi representasi kerumitan politik di Indonesia.

Kemiskinan mendera rakyat, pejabat gandrung bermain golf. Lahan di kota dan krisis ekologi tak diurusi secara bijak, pejabat tak peduli. Di kota-kota, lapangan golf bercerita kekuasaan, keberlimpahan harta, keparlentean, dan teater bisnis. Indonesia kaya cerita golf bergelimang skandal dan manipulasi.

Puluhan tahun silam, Darmanto Jatman menggubah puisi berjudul Golf untuk Rakyat. Puisi ini menghajar nalar buruk rezim Orde Baru. Puisi itu pantas kita ingat agar kritis atas rencana membangun lapangan golf di perbatasan Sragen-Boyolali dan impian Pasha.

Ini perkara pembangunan lapangan golf di awal PJPT II di Indonesia:/ Den Mantri Jerohan ngendika: Golf dapat meningkatkan/ kesejahteraan rakyat!/ Sedang Mantri Kanuragan bilang: Golf pertanda masyarakat/ kita sudah lebih sejahtera./ Lha ya berapa banyak lapangan golf mesti dipasang/ untuk menyejahterakan 200 juta rakyat!/ Berapa tumbal mesti dikorbankan/ untuk mengempiskan kantong-kantong kemiskinan!

Ucapan-ucapan itu serius. Dulu, pembuatan lapangan golf dan bermain golf turut menentukan kesuksesan pembangunan nasional. Soeharto bermain golf. Indonesia harus jadi negara makmur, dibuktikan peningkatan jumlah lapangan golf.

Pada masa 1980-an dan  1990-an, pejabat dan pengusaha memberi restu agar pembangunan lapangan golf terus dilaksanakan di desa dan kota. Di Jawa dan Bali, jumlah lapangan golf mencapai 100 unit.

Masalah golf adalah masalah akut. Penggusuran sawah atau tanah milik warga jadi lumrah. Kebutuhan air untuk merawat rumput lapangan golf sering merugikan kepentingan warga. [Baca selanjutnya: Kerugian Alam]Kerugian Alam

Lapangan golf itu ”perampokan lingkungan”, mengganggu alur ekologis, dan wujud diskriminasi nasib. Tenaga kerja di bisnis lapangan golf tak pantas jadi kompensasi pelbagai kerugian alam, tata sosial, ekonomi, dan politik (T. Whitten, R.E. Soeriaatmadja, dan S.A. Afif, Ekologi Jawa dan Bali, 1999).

Lapangan golf dan kebijakan pejabat bermain golf sulit dipastikan membahagiakan warga atau mencipta kemakmuran dan kesejahteraan di Indonesia. Kita cuma ingat golf pernah jadi khotbah ironi Indonesia di masa lalu.

Selebrasi demokrasi untuk memilih pemimpin memang tak selalu menghasilkan kebahagiaan. Pemimpin gampang lupa amanah, bergerak tanpa nasihat bijak dari warga.

Kita mendingan membaca nasihat dan sindiran dalam puisi Darmanto Jatman agar tak menuruti ambisi para pemimpin baru: Sementara Mantri Pagupon pesan: Silakan bikin padang golf mister,/ asal jangan gusur rumah rakyat.

Golf cenderung mengandung 1.000 tuduhan dan kerugian ketimbang mengajak kita masuk ke cerita bergelimang kebaikan. Golf pernah menabur trauma. Apakah urusan golf masih bakal jadi pembuktian kerja pemimpin hasil hajatan demokrasi di Indonesia?

Indonesia bukan “lapangan golf” untuk para pejabat, artis, pengusaha berlimpah harta dan bingung mengartikan waktu senggang. Kini, keinginan membangun lapangan golf disokong warga.

Kita mesti mengusut sekian argumentasi ekonomi, sosial, dan politik agar rencana pembangunan lapangan golf seluas 100 hektare di perbatasan Sragen-Boyolali tak terlalu merugikan dan merusak. Kita mengandaikan obsesi lapangan golf bakal menular ke pelbagai kota dan kabupaten berdalih ”sudah” makmur dan saingan gengsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya