SOLOPOS.COM - Rumongso agilrumongso@yahoo.com Guru SD Djama’atul Ichwan Solo

Rumongso agilrumongso@yahoo.com Guru SD Djama’atul Ichwan Solo

Rumongso
agilrumongso@yahoo.com
Guru SD Djama’atul Ichwan
Solo

Status seseorang di media sosial mampu menembus dinding kekuasaan. Wartawan dan kolumnis sekaligus penyair Goenawan Mohamad menulis status di akun Facebook bahwa di Facebook dan Twitter orang-orang mengungkapkan diri mereka untuk dilihat oleh orang banyak: ”aku sedang di sini”, ”aku sedang makan ini”, ”aku….”

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Dalam Facebook semua serba telanjang. Bahkan ada yang berseloroh andai patut saat pemilik akun sedang buang air dan lupa menyiram WC maka mereka juga akan menulis status bahwa ia lupa menyiram WC. Orang berlomba–lomba mengungkapkan momen privat mereka di dinding/wall Facebook. Di di dinding Facebook orang bisa saling berkunjung, memberi komentar, melihat dan dilihat. Wilayah privat sudah tidak ada lagi. Sebagian benar, sebagian bohong.

Ketelanjangan orang dalam Facebook melahirkan narsisme. Permasalahan timbul saat ada orang menulis status secara jujur, tidak fitnah, tidak asumtif, tidak galau lalu menjadi sumber berita di koran dan disikapi dengan pendekatan emosional oleh pejabat yang terusik dengan bahasa khas mengadakan kunjungan silaturahmi kepada penulis akun Facebook. Kalau Anda memahami semiotika bahasa pejabat, wabilkhusus pejabat Indonesia, maka kunjungan silaturahmi itu bisa bermacam makna.

Ia bisa menjadi kunjungan tulus yang mampu melancarkan rezeki dan memanjangkan umur sebagaimana sering dikatakan para alim ulama, juga bisa wujud dari upaya menekan, mengintervensi pejabat kepada bawahan. Masing–masing memiliki tafsir yang berbeda. Namun, jika seseorang pejabat seumur–umur tidak pernah berkunjung kepada seseorang lalu tiba- tiba datang saat terusik, pastilah ada yang aneh. Dalam kasus ini narsisme penghuni jagad Facebook melahirkan paranoia.

Setelah kunjungan pejabat itu, pemilik akun lalu nyetatus lagi bahwa silaturahmi itu di samping memanjangkan usia dan melancarkan rezeki juga bermanfaat untuk menekan dan mengintervensi. Inilah uniknya jejaring sosial itu yakni nglurug tanpa bala. Ia menertawakan keadaan, bercanda dengan diri sendiri sebagai katarsis kehidupan yang sumpek. Mungkin tampak nyinyir.

Inilah cara rakyat kecil melakukan perlawanan lewat guyon parikena model punakawan dalam jagad pewayangan. Lewat cara ini penguasa tidak bisa mengklaim sebagai pemilik sah kebenaran. Media massa tidak bisa disalahkan jika mereka mengangkat sebuah berita berdasarkan status seseorang di Facebook atau Twitter. Berita itu pasti disusun setelah mengadakan investigasi ke berbagai narasumber, plus verifikasi dan pengecekan silang.

Sebuah media tidak akan menggadaikan kredibilitas dan independensi dengan menyiapkan berita bohong yang bersumber dari jejaring sosial. Jika sebuah media lalu mengekspose, itu karena mereka [media] selalu berada dalam barisan rakyat. Seseorang yang menulis status di jejaring sosial yang diangkat untuk menjadi berita tersebut tidak lantas dituduh telah memberi tahu media tentang sebuah hal. Karakter sosial media itu terbuka, jadi siapa saja bisa memberitakan tentang berbagai hal.

Nyinyir dan Crigis

Jagad Facebook adalah besar dalam jagad kecil atau sebaliknya. Penghuni jagad Facebook memiliki aturan dan kaidahnya sendiri. Silakan berkunjung, silakan memberi komentar! Kalau pemilik akun suka dengan komentar pengunjung akan diam. Kalau tidak suka,  pemilik akun akan menghapus komentar itu. Penghuni jejaring sosial/social media mempunyai karakter cerdas, nyinyir, crigis, terbuka dan jahil. Mereka menulis tanpa pretensi apa pun kecuali demi kebaikan bersama.

Kalau Anda ingat dengan kasus Prita Mulyasari yang mendapat dukungan luas dari warga jejaring sosial, atau kasus kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang dilawan oleh penghuni Facebook, inilah wujud dari kombinasi karakter itu. Tidak ada yang memimpin sebab semua memiliki porsi dan posisi yang sama. Tidak ada sikap saling sikut di antara mereka.

Pemahaman saya akan kekuasaan pastilah sangat kecil dan terbatas. Posisi yang rendah menjadikan pemahaman itu semakin memperoleh pembenar. Namun, sebuah kebenaran tidak akan mampu direduksi, ditekan, dipelintir, dibelokkan oleh sebuah kekuasaan seberapa pun tingginya kekuasaan itu. Intervensi dan upaya seorang pejabat menekan akan melahirkan perlawanan dari mereka yang ditekan. Kekuasaan yang paranoia seolah hidup di alamnya sendiri yakni alam sesama pemilik kekuasaan itu.

Sangat aneh saat solusi ditawarkan: jika melihat sesuatu hal yang tidak berkenan di hati, tolong sampaikan langsung baik lewat telepon atau SMS. Jabatan itu membuat seseorang menjadi berjarak. Kalau ada seorang guru rendahan–seperti saya–tentu sangat kurang ajar jika saya tiba–tiba mendekat dan meminta nomor telepon genggam seorang pejabat tinggi pemilik kekuasaan agar saya memiliki akses kepadanya. Kekuasaan itu tidak mampu mereduksi sikap kritis seseorang. Mengedepankan hakikat kekuasaan untuk melihat sebuah kasus akan melahirkan perlawanan baru sebagai bentuk pembelaan diri seseorang. Ketersinggungan adalah soal bagaimana hati itu dikelola.

 

Berbagi

Dalam dunia Facebook yang telanjang, nyinyir, kita sebenarnya bisa saling berbagi. Menulis status di dinding adalah arena berbagi. Saya membatasi diri dalam pertemanan di jejaring sosial dengan memilih kawan yang darinya saya bisa belajar banyak hal yang tidak saya mengerti dan mengasah kecerdasan. Produk dari belajar di jejaring sosial itu adalah sikap peduli namun bukan marah. Jangan heran jika seorang presiden tertarik untuk menjadi bagian dari warga dunia maya lewat akun Twitter dan membuat akun Facebook.

Mestinya ini menjadi momentum bagi pejabat–pejabat di bawahnya untuk ikut menjadi arus besar perubahan zaman itu. Tidak usah takut di-bully sebab seseorang akan dibully jika mereka alay dan lebay di jejaring sosial. Seorang presiden yang di-bully oleh kalangan warga media sosial pasti akan memperoleh pembelaan dari masyarakat media sosial yang lain jika ternyata presiden benar. Buat apa takut?

Menjadi masyarakat media sosial pasti akan menjadikan para pemilik kekuasaan memiliki pemahaman yang lengkap dan menyeluruh/komprehensif terhadap sebuah hal. Mereka juga bisa mengabarkan diri kepada khalayak tentang apa yang sebenarnya terjadi di pusat–pusat kekuasaan. Ajaklah para jurnalis hebat yang menulis kritis di jejaring sosial itu menjadi kawan, ajaklah aktifis hak asasi manusia (HAM), aktivis lingkungan, aktivis agama yang dicap radikal, aktivis kampus dan mereka yang berada di luar poros kekuasaan itu untuk bergabung lalu dengarkan dan rasakan apa yang mereka rasakan.

Dunia baru akan mereka temukan. Dunia yang sangat cerdas dan terbuka sebab mereka mampu melihat apa yang tidak dilihat oleh pejabat, mampu melihat hal–hal yang tak kasatmata yang sebenarnya sangat nyata namun tertutup oleh laporan yang asal bapak senang/ABS. Jangan memusuhi mereka jika ada yang menulis dan membuat muka pembacanya mbrabak, marah, sebab kebenaran itu selalu terasa pahit bagi penguasa yang lalim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya