SOLOPOS.COM - Taufik Murtono (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (27/4/2016), ditulis Taufik Murtono. Penulis adalah dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Solo.

Solopos.com, SOLO — Suatu pagi di pelosok Karanganyar saya agak terkejut melihat warung soto dan kare langganan saya berubah penampilan. Sebelumnya papan nama warung berupa kayu hitam dengan tulisan tangan dengan cat putih seadanya, mirip coretan anak-anak.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Pagi itu papan nama dari kayu tergeletak di pojok warung. Sebagai gantinya tergantung spanduk digital print bertuliskan nama warung dengan deretan huruf cetak tebal. Begitu memasuki warung, saya juga melihat perubahan serupa.

Spanduk digital print memenuhi ruangan. “Biar terlihat lebih modern, Mas,” kata pemiliknya sambil menyajikan soto dan teh begitu saya tanya mengenai perubahan penampilan warung tersebut. Seketika ingatan saya melayang ke masa ditemukannya mesin cetak modern.

Mesin cetak itu yang menggantikan seni tulisan tangan (hand lettering) dengan huruf cetak dan dimulailah apa yang kemudian mendominasi gaya desain modern, form follow function. Wajah desain era modern selalu tampil bersih, efisien, logis, dan industrial, didukung penciptaan jenis-jenis huruf baru yang rapi dengan mesin komputer.

Bentuk desain akhirnya tunduk pada fungsi komunikasi semata. Tak pelak lagi, desain era modern terkesan kaku dan dingin mengacu pada sistem grid yang ketat. Dominasi gaya desain modern yang dikenal sebagai International Style atau Swiss Style memiliki sejarah panjang.

Gaya Swiss tidak hanya berpengaruh pada desain grafis, tetapi juga arsitektur dan interior. Bangunan era modern tampil rapi dan efisien sesuai fungsi. Puncak pengaruh gaya Swiss dalam desain grafis dapat dilihat pada penggunaan huruf Helvetica yang diciptakan Max Miedinger bersama Eduard Hoffman pada 1957.

Helvetica dapat dikatakan satu jenis huruf tanpa kait yang over used karena dipakai oleh sekian banyak merek ternama, dari fashion, otomotif, minuman, peralatan rumah tangga, komputer, telepon genggam, hingga perusahaan penerbangan.

Desainer merek American Airlines (1966) dalam film dokumenter Helvetica(2007) garapan sutradara Gary Huswit, Massimo Vignelli, menyatakan,”Anda dapat menyatakan I love you maupun I hate you dengan Helvetica”.

Baginya jenis huruf era modern ini bagus untuk apa pun karena faktor keterbacaan yang baik. Gaya desain modern dianggap universal, berlaku di manapun, kapanpun, untuk apapun. Jenis huruf bagi Vignelli tidak perlu punya ekspresi, hanya butuh keterbacaan secara sempurna sehingga sesuai untuk segala keperluan.

Pameran hand lettering dan kaligrafi bertema Pitutur Becik oleh Komunitas Surakarya di Balai Soejatmoko, Solo, 16-22 April 2016, menjadi penting di tengah dominasi gaya desain modern saat ini. Surakarya yang terbentuk pada 2014 adalah komunitas pegiat seni hand lettering dan kaligrafi di Solo.

Penamaan Surakarya diambil dari nama Kota Surakarta (Solo), tempat anggota komunitas ini tinggal,  dan ”karya” merujuk arti cipta seni. Hand lettering dan kaligrafi adalah seni menulis dengan tangan secara manual yang cenderung personal, customized, khusus diciptakan untuk tujuan tertentu. [Baca selanjutnya: Tak Bernyawa]Tak Bernyawa

Kekhususan ini tentu bertentangan prinsip dengan gaya desain tipografi modern yang universal. Beragam gaya, teknik, dan media dieksplorasi dalam pameran seni menulis/menggambar huruf ini, seperti blackletter, brush calligraphy, dan copperplate.

Komunitas hand lettering dan kaligrafi saat ini semakin eksis mewarnai kancah desain. Gaya desain mereka banyak digunakan dalam identitas korporasi, logo produk, hingga desain kaus dan dekorasi ruang. Tipografi modern adalah ilmu yang mempelajari bagaimana jenis huruf diterapkan dalam sebuah desain.

Lettering adalah seni menciptakan karakter huruf dengan gambar tangan sehingga sering disebut sebagai seni menggambar huruf. Lettering dibedakan dengan tipografi mengingat keunikan cara membuatnya serta kekhasannya.

Penguasaan teknik lettering secara manual semakin dibutuhkan, mengingat semakin dominannya gaya desain modern dan canggihnya perangkat komputer desain. Kedua aspek itu semakin menjauhkan para desainer dengan teknik menulis/menggambar manual.

Keberadaan komunitas hand lettering dan kaligrafi menjadi angin segar sekaligus kritik di tengah dominasi gaya desain modern yang sepi kreativitas namun ramai dalam kuantitas. Hal ini bisa dibuktikan manakala kita melihat kota yang semakin sesak dengan material digital print.

Keadaan ini terjadi hampir menyeluruh di semua kota di Indonesia. Kota-kota di Indonesia terlihat sama, riuh namun kaku, penuh dengan cetakan huruf-huruf modern. Dominasi gaya desain modern yang mengedepankan logika dan efisiensi begitu adaptif dengan industri dan kapital.

Hal ini menuai dikritik dari desainer seperti Paula Scher (Pentagram Design Consultancy, New York), salah satu narasumber film Helvetica. Paula Scher menyatakan gaya desain modern yang diwakili Helvetica seperti penguasa yang mengharuskan semuanya terlihat rapi dan tertata.

Bila hal itu diterapkan niscaya sebuah desain akan terlihat tak bernyawa. Produk gaya desain modern hanya menjadi repetisi yang membosankan. Seharusnya eksistensi huruf tidak dilepaskan dari situasi manusia penggunanya.

Sebuah kalimat yang tersusun dari rangkaian huruf selain mengandung makna yang mengacu kepada sebuah gagasan juga memiliki kekuatan menyuarakan kesan visual karena huruf mempunyai nilai fungsi dan estetis. Lebih dari itu, bila desainer selalu tunduk dengan logika desain modern, tidak ada lagi ruang untuk bermain, lalu apa enaknya jadi desainer?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya