SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar djauhar@bisnis.com Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Ahmad Djauhar djauhar@bisnis.com Wartawan Jaringan Informasi  Bisnis Indonesia (JIBI)

Ahmad Djauhar
djauhar@bisnis.com
Wartawan Jaringan Informasi
Bisnis Indonesia (JIBI)

Akhir-akhir ini kita makin sering menyaksikan sikap pembangkangan sebagian anggota masyarakat, terutama dalam hal tatakrama berlalu lintas di jalan raya. Gejala ini semakin menasional dan hal itu kian memprihatinkan sekaligus membahayakan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Contoh paling mudah dilihat adalah makin banyaknya pengendara sepeda motor melawan arus lalu lintas. Biasanya tindakan ini ditempuh untuk menuju jarak yang relatif dekat. Bila harus mengikuti ketentuan berlalu lintas yang benar jarak menjadi jauh. Mereka memilih melawan arus karena ketika harus mencari putaran arah yang seharusnya menjadi sangat jauh.

Mereka selain menggunakan trotoar yang seharusnya merupakan fasilitas bagi pejalan kaki juga nekat melintas di badan jalan dengan mengambil lajur mlipir di sisi paling kiri. Hal itu bila dilakukan secara massal jelas menjadi persoalan tersendiri, sehingga tidak jarang menciptakan keadaan mengunci, terutama di saat terjadi kemacetan lalu lintas di lokasi tertentu.

Tindak pelanggaran yang lain adalah mengabaikan rambu larangan, misalnya dilarang berbelok ke kanan atau memutar arah tapi para pengendara kendaraan bermotor terkadang malah berramai-ramai melanggarnya. Tidak jarang, polisi yang sedang berada di lokasi itu hanya dapat memandang dengan kecut para pembangkang tadi.

Jenis pelanggaran lainnya yang dilakukan secara berjemaah adalah tindakan para pengemudi angkutan umum yang berhenti seenaknya di tempat yang seharusnya terlarang untuk berhenti, baik sekadar ngetem maupun menaikturunkan penumpang, tak peduli di tengah jalan sekalipun sehingga penumpang harus menanggung risiko terlanggar kendaraan lain.

Ulah para pengemudi angkutan umum ini juga tidak jarang memicu terjadinya kemacetan lalu lintas. Kalau yang berhenti ngetem hanya satu kendaraan mungkin tidak berpengaruh, tapi tidak jarang lima unit angkutan perkotaan (angkot) berhenti berurutan atau bahkan paralel. Sudah begitu, frekuensinya pun sering. Bagaimana pengguna jalan yang lain tidak terhambat?

Saya masih ingat betapa sebelum era reformasi, pengemudi angkutan umum, terutama bus kota di Jakarta, begitu disiplin. Mereka hanya mau menghentikan kendaraan–terutama apabila ada polisi di sekitar itu–di tempat yang sudah ditentukan, misalnya di halte. Sering terjadi, misalnya, penumpang ingin berhenti di perempatan karena dengan demikian dia lebih dekat ke halte arah lainnya, tapi para sopir tersebut biasanya menolak.

Namun, setelah 1997-1998, masyarakat merasa aturan hukum maupun perundang-undangan di negeri ini seolah-olah tidak berlaku lagi. Tidak sedikit anggota masyarakat yang mencoba-coba melanggar aturan, termasuk seenaknya melintas dengan arah berlawanan saat berlalu lintas.

 

Denda

Di Jakarta dan berbagai kota lain di negeri ini, gejala seperti itu semakin marak. Kendati memperoleh makian maupun umpatan dari pengemudi lain atau pun mereka yang merasa direbut haknya oleh pemakai jalan tidak tahu aturan tersebut, para pelanggar aturan lalu lintas itu terkesan cuek alias tidak peduli. Baginya, itulah kebenaran.

Tindakan para penerabas jalan maupun pelanggar aturan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai pembangkangan atau disobedience terhadap aturan maupun perundang-undangan tentang lalu lintas di negeri ini. Terhadap pelaku tersebut seharusnya diterapkan denda untuk menimbulkan efek jera maupun kepatuhan bagi yang lainnya.

Polisi seharusnya berani menindak para pelanggar tersebut demi menegakkan aturan. Pelanggaran tersebut juga dapat dibaca sebagai ketidakhormatan terhadap wibawa para petugas keamanan. Ini memang dilematis, mengingat masih banyak polisi yang bersedia diajak memilih ”jalan damai” ketika memproses pelanggaran aturan berlalu lintas, sehingga sebagian anggota masyarakat beranggapan bahwa “petugas kan bisa diajak cincai.”

Pelanggaran yang dianggap kecil oleh para pembangkang tersebut bila dilakukan secara berjemaah akan menjadi persoalan bangsa. Aparat keamanan seyogianya tidak membiarkan terjadinya pelanggaran, sekecil apa pun bentuk pelanggaran tersebut.

Disiplin harus ditegakkan karena dari sinilah pembentukan karakter bangsa dimulai. Kalau anak bangsa sering melakukan pelanggaran terhadap hukum, jangan berharap negeri ini akan menjadi benar. Hanya kesemrawutan yang akan kita hadapi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya