SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (16/12/2015), ditulis Heri Priyatmoko. Penulis adalah dosen Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — “Pak Jokowi, ayo bekerja penuh semangat, kendati di sini tiada thengkleng yang nikmat!” Begitulah kira-kira kalimat yang saya ingat ditulis esais Goenawan Mohamad di media sosial selepas mantan wali kota Solo itu dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta beberapa tahun lalu.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Kalimat ”bermain ke Solo bakal kurang sempurna bila belum mencicipi thengkleng” juga acap kali didengungkan para pelancong yang bertandang ke Kota Bengawan. Dalam atlas besar wisata kuliner Indonesia, Solo dan thengkleng laksana spoor dengan rel, susah dipisahkan.

Dari waktu ke waktu, bersama satai buntel, nasi liwet, selat, dan timlo, sepincuk thengkleng memperkuat barisan makanan yang menabalkan Solo sebagai ”kota keplek ilat” serta ”surganya kuliner”.

Senin (14/12) lalu jagat kuliner lokal Solo berduka dengan kematian seorang simpul kuliner jempolan, Ediyem, 66, yang akrab disapa Bu Edi. Juragan thengkleng Pasar Klewer itu meninggalkan warisan resep thengkleng setelah kalah bertarung dengan penyakit hipertensi yang mendera.

Sumbangan Bu Edi bersama bakul thengkleng lainnya ialah menegakkan kehormatan tulang-belulang dan jeroan kambing yang senantiasa tidak direken di ruang dapur oleh tukang mangsak atau koki, alih-alih disantap di meja makan.

Sejak 1970-an Bu Edi setia olah-olah dan menjajakan thengkleng, mulai dari cara diiderke (berjualan keliling) hingga manggrok (menetap) di bawah gapura Pasar Klewer.

Berjubelnya pembeli yang rela dhempet-dhempetan (berimpitan) di dhingklik panjang sebelum warung dibuka dan seringnya kewalahan meladeni pesanan di rumah merupakan secuil bukti thengkleng Solo memang sanggup menggoyang lidah.

Thengkleng bikin orang tak kapok menyantapnya meski mitos penyakit darah tinggi menghantui. Laris manis tanjung kimpul, dagangan thengkleng acap kali ludes saat disajikan pada pukul 13.00 WIB-16.00 WIB.

Berpulangnya Bu Edi ke alam kelanggengan dan kedukaan jagat kuliner Solo memancing saya menelusur ke belakang, menyibak sejarah thengkleng agar terang kisahnya.

Beredar argumentasi spekulatif bahwa hidangan thengkleng muncul seabad silam dari aksi para buruh Laweyan yang memunguti sisa-sisa daging kambing dari mbok mase, juragan batik perempuan yang kaya raya.

Sekelompok buruh tidak mampu menjangkau makanan berkelas itu, lantas mengolah tulang dan jeroan kambing untuk disantap. Selain dangkal dan mengabaikan peristiwa sejarah lokal yang memuat jiwa zaman, analisis tersebut tanpa bersandar data.

Jika ditengok dari lembaran sejarah kuliner Nusantara, kelompok penyuka makanan berbahan daging kambing ialah kaum etnis Arab dan keturunannya. Beberapa perayaan agama Islam dan hajatan komunitas keturunan etnis Arab menempatkan kambing sebagai bahan pokok.

Tidak mengherankan bila kemudian bertebaran warung satai kambing di daerah yang ditinggali komunitas keturunan Arab. Thengkleng lahir dari buah kreativitas wong Solo dalam menghadapi situasi yang mencekik, tepatnya masa penjajahan Jepang.

Mengenai panjang akal (baca: kreativitas) di bidang makanan, orang Solo memang terlatih dan hasilnya sukar diremehkan. Timlo, misalnya. Masakan yang kondang mirasa itu digarap masyarakat pribumi lantaran terinspirasi semangkuk kimlo, hidangan asli komunitas etnis Tionghoa yang dibawa dari daratan Tiongkok.

Wajar bila kuliner yang menjadi makanan khas Solo ini gampang dijumpai di area pecinan. Cerita yang lebih kuno, yakni nasi melahirkan cengkaruk, karak, dan gendar (serta nasi goreng?).

Keragaman makanan itu bermula dari kreativitas orang Jawa yang dipicu welingan (nasihat) leluhur: jangan membuang nasi. Itu adalah upaya menghormati Dewi Sri. Kedatangan penjajah Jepang di Solo memengaruhi kehidupan sosial masyarakat.

Secara resmi invasi Jepang dimulai sejak 5 Maret 1942 dan sejak itulah Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang. Dalam struktur pemerintahan Jepang di Indonesia, kekuasaan tertinggi berada di tangan Saiko Sikikan, statusnya sebagai panglima tentara pendudukan.

Khusus daerah swapraja di Jawa diganti namanya menjadi daerah Kooti. Status Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 31 Maret 1942 disahkan sebagai pemerintahan kerajaan Solo-Ko. Raja tetap berkuasa atas wilayahnya dan secara administratif berada di bawah birokrasi militer Jepang di Jakarta.

Pakar hukum asal Solo, Mr. Soewidji (1973), menuturkan kehidupan sehari-hari bertambah sulit saat itu. Pangan dan sandang kian susah dicari. Sekadar untuk mengatasi kelaparan yang merajalela, bonggol pisang pun dipakai untuk bahan makanan.

Saking beratnya penderitaan, di kalangan rakyat timbul humor sebagai pelepas penderitaan. Saya ambilkan contoh. Ucapan terima kasih dalam bahasa Jepang yang berbunyi arigato gozaimas disalin menjadi kari kathok goceki mas (tinggal celana pegangi mas), sebab semua pakaian sudah terjual habis ditukar makanan.

Ketika ada upacara penghormatan kepada Tenno Heika dengan cara menghadap ke Tokyo dan membungkukkan badan ada aba-aba sae kerit. Aba-aba itu disalin menjadi sae kere, artinya keadaan kere pun lebih baik.

Humor-humor itu merupakan jiwa zaman. Bagaimana rakyat bisa senang ketika sandang pangan susah, tiada pekerjaan, salah sedikit ditangkap dan disiksa, nilai uang merosot, harga-harga melambung?

Budaya keplek ilat para priayi Jawa yang kadung mendarah daging selama berabad-abad pun terganggu. Jangan keliru, lidah orang Jawa berkenalan dengan daging kambing semenjak periode Mataram kuno.



Dalam sejumlah prasasti terdapat istilah rajamangsa yang arti harfiahnya adalah makanan raja. Termasuk dalam kategori ini, yakni kambing yang belum keluar ekornya, penyu, babi liar, dan anjing yang dikebiri. [Baca selanjutnya: Bukan Hanya Rasa]

Bukan Hanya Rasa

Mengikuti teori tantangan melahirkan jawaban (challenge and response), wong Solo, termasuk komunitas etnis Arab, dituntut bersiasat hidup supaya dapat memenuhi kebutuhan perut. Mereka harus menghemat dan menjawab tantangan agar perut tetap terisi.

Mereka tak kehilangan akal. Tulang dan jeroan kambing diolah dengan bumbu yang berbeda. Resepnya juga tidak terlampau sulit dicari alias tersedia di pasar tradisional. Secara umum daftar resepnya adalah kelapa, jahe, kunyit, serai, daun jeruk segar, lengkuas, kayu manis, daun salam, cengkih kering, bawang putih, bawang merah, garam dapur, kemiri, pala, dan kecap.

Walau hasilnya berupa thengkleng, masyarakat Solo tetap dapat menjalankan ritual usus diprada (menghias usus, kiasan dari kebanggaan menyantap kudapan mewah untuk ukuran masa itu). Thengkleng kemudian hari diterima masyarakat dan menambah daftar jenis makanan khas Solo.

Thengkleng bukan hanya citarasa, namun juga filosofi tidak mudah takluk oleh penderitaan hidup. Bukan hanya urusan teknis, tapi juga nilai pengetahuan kuliner yang diwariskan puluhan tahun.

Tak hanya soal pemilihan sisa daging kambing, takaran santan dan bumbu, namun tidak pula menyia-nyiakan bahan pemberian Gusti Allah sekalipun berwujud tulang dan jeroan.

Sebagai produk kreativitas, thengkleng terlampau sulit dicomot industri makanan yang menangguk laba sebesar-besarnya tetapi mengabaikan aspek kesabaran, misalnya mi rasa soto, mi rasa rendang, dan mi rasa satai.

Belum ada mi rasa thengkleng sebab ada nilai filosofis di balik proses pengolahan thengkleng yang butuh kesabaran itu. Di pawon, teman-teman Bu Edi berpeluh memasak thengkleng, sulit dirampas oleh budaya instan ala mesin.

Menyantap thengkleng bukan sekadar enak dan kenyang, namun juga menghayati kisah sejarah lokal dan memikirkan makna yang tersembunyi di dalamnya. Sugeng tindak, Bu Edi. Di surga yang katanya banyak sajian makanan enak, semoga ada thengkleng, dan Bu Edi bisa menjajal rasanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya