SOLOPOS.COM - Mohamad Ali Direktur Perguruan Muhammadiyah Kottabarat, Solo Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Mohamad Ali
Direktur Perguruan Muhammadiyah
Kottabarat, Solo
Mahasiswa Program Doktor
Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta. (FOTO/Istimewa)

Potret kehidupan keagamaan di Indonesia belakangan ini menampakkan wajah yang semakin paradoksal. Kesalehan beragama belum ditampilkan secara utuh sebagai upaya perbaikan kehidupan, tetapi malah mengarah pada penghancuran kemanusiaan. Corak pemahaman keagamaan eksklusif dan sempit masih menjadi arus utama kehidupan umat.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Keberagamaan eksklusif menganggap hanya pemahaman kelompok sendiri yang benar, sedangkan yang lain dinilai sesat. Keberagamaan sempit menganggap urusan agama sebatas ritual di tempat-tempat ibadah, pada wilayah sosial kemasyarakatan norma-norma agama diabaikan. Korupsi dana pengadaan mushaf Alquran, pembengkakan biaya nikah, penyelewengan dana haji, merupakan contoh teraktual.

Kecenderungan keberagaman yang demikian membuat agama semakin jauh dari spirit humanisme. Padahal tujuan kehadiran agama adalah untuk menjadi penunjuk arah di tengah kebingungan dan cahaya yang menerangi gulita kehidupan manusia. Corak keberagaman tertentu merupakan produk dari proses pendidikan agama.

Apabila ingin menggeser corak keberagamaan suatu kaum (umat/bangsa) perlu dipikirkan perubahan dalam cara mendidik generasi mudanya. Di sinilah terletak urgensi pembenahan pendidikan agama sebagai instrumen untuk merestorasi dan mencerahkan keberagamaan umat.

Pengalaman kehidupan agama di Barat yang gagal membingkai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai produk oleh pikir manusia, merupakan pelajaran amat berharga. Benturan antara doktrin-doktrin keagamaan dengan temuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana tergambar pada penolakan agamawan terhadap teori heliosentris Galileo Galilei, maupun teori evolusi Charles Darwin membuat agama semakin tidak populer di mata mereka.

Fenomena kebangkrutan atau krisis agama itu terlihat begitu nyata, dan fenomena itu masih terus berlanjut sampai saat ini. Tatkala berkunjung ke Swedia selama sebulan penuh beberapa waktu lalu, saya melihat sendiri bagaimana krisis agama itu berlangsung secara mendasar. Rumah-rumah ibadah sepi pengunjung, anak-anak remaja maupun orang tua yang sempat saya ajak bicara hampir semuanya merasa tidak terikat dengan ajaran agama tertentu.

Aturan-aturan bersama atau kontrak sosial yang dibangun di atas pilar demokrasi itulah yang menjadi landasan kehidupan sosial mereka. Sebagai orang yang sejak kecil hidup dalam lingkungan keagamaan yang pekat, terus terang saya terkejut mendengar ucapan mereka yang begitu ”polos”. Sejenak kemudian mereka melempar pertanyaan retoris demikian,”Mengapa rakyat Asia dan Afrika yang berpegang pada agama malah terus-menerus tercabik-cabik konflik, kekerasan dan kemiskinan absolut?”

Seusai perbincangan saya termenung, betapa kaum agamawan sedang dihadapkan pada–dan diuji dengan–tantangan kehidupan yang begitu serius. Tantangan itu berupa undangan untuk memecahkan problem-problem kemanusiaan yang dialami masyarakat dunia ketiga. Andai saja gagal, kredibilitas dan krisis agama di negara-negara maju akan menjalar ke dunia ketiga.

Namun, apabila sukses menapaki tantangan, masyarakat akan kembali pada pelukan agama. Tentu kita berharap alternatif kedua itulah yang akan terjadi. Namun, untuk menuju ke arah itu diperlukan keberanian menggeser rancangan pendidikan agama. Praktik pendidikan agama yang mengutamakan pendekatan deduktif, sebagaimana berlangsung saat ini, sudah tidak relevan lagi untuk menjawab kebutuhan manusia modern.

Oleh karena itu, sudah tiba waktunya untuk memperkenalkan khazanah pengalaman kemanusiaan (pendekatan induktif) dalam proses pendidikan agama sehingga bisa menampilkan wajah pendidikan agama yang lebih humanis.

 

Pengalaman Manusiawi

Sosiolog agama kenamaan Peter L Berger (1991), yang kemudian dipertajam kembali oleh M Sastrapratedja (1994), memperkenalkan tiga ancangan (pendidikan) agama dalam merespons arus modernitas, yaitu deduksi, reduksi, dan induksi. Pola pertama adalah deduksi yaitu menegaskan kembali otoritas tradisi agama. Segala pernyataan tentang manusia hanya dapat dibuat atas dasar wahyu Allah.

Titik tolak pendidikan agama adalah wahyu (kitab suci), ”apa sabda Allah”, di luar itu tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Pendekatan seperti ini oleh Berger disebut antiantropologi, pendidikan agama yang tidak menghargai pengalaman manusiawi.  Ancangan kedua adalah reduksi, di mana wahyu atau tradisi religius ditafsirkan dalam kerangka sekuler dengan tujuan agar bermakna bagi manusia zaman sekarang.

Pola ini juga problematis karena tidak kritis terhadap kategori-kategori modernitas yang sering kali berujung pada pengingkaran agama, mengabaikan makna religius. Ancangan terakhir disebut induksi yang merupakan usaha untuk menyingkap pengalaman manusiawi  dalam tradisi religius. Pendekatan ini berusaha menemukan yang transenden dalam pengalaman manusiawi. Ancangan ketiga inilah yang membuka kemungkinan (pendidikan) agama dan yang memungkinkan ditemukannya kembali Yang Adikodrati.

Pendekatan induktif berbeda dari deduktif karena titik tolaknya adalah pengalaman manusiawi, pun berbeda dari reduktif karena pengalaman manusiawi itu diperlakukan sebagai pengalaman yang khas, yang merujuk pada yang transenden. Kategorisasi Berger ini menarik digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah praktik pendidikan agama yang berlangsung di Indonesia.

Seperti diketahui, Indonesia menganut pendekatan konvensional di mana negara turut serta membina keagamaan warganya. Hal itu terlihat secara kasat mata dengan diwajibkannya mata pelajaran Pendidikan Agama untuk setiap jenjang pendidikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik di sekolah negeri ataupun swasta.

Pola pendidikan agama yang paling menonjol tentu saja adalah pendekatan deduktif di mana konsep-konsep agama yang diturunkan dari wahyu seperti iman, takwa, saleh, kafir dan seterusnya yang didiktekan pada peserta didik untuk dihafal. Melalui pendekatan ini pendidikan agama hanya mampu menyentuh dimensi kognitif karena berisi konsep-konsep abstrak yang jauh dari pengalaman kehidupan.

Kecerdasan dilihat dari kemampuan anak menjawab soal-soal ujian, bukan ditonton dari sikap dan perilaku kehidupannya. Pola pendekatan ini membuat agama terasa semakin kering dan tidak bersentuhan dengan pengalaman kehidupan nyata anak-anak. Pada 1980-an ada upaya untuk memperbaiki pendidikan agama di perguruan tinggi dengan cara melihat relevansi agama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Gagasan ”Islam untuk disiplin ilmu”, atau “Islam dalam persepektif” yang sangat menonjol saat itu merupakan contoh pendidikan agama dengan pendekatan reduktif. Meskipun dikritik dapat memerosotkan nilai-nilai agama, akan tetapi pola ini tampaknya masih terus dipertahankan di sejumlah perguruan tinggi.

Yang menarik adalah pola pendidikan agama yang mampu membuka ruang pengalaman manusiawi, yaitu pendekatan induktif, sejauh ini malah tidak banyak dilirik. Ini bisa dipahami karena kaum positivisme menolaknya dikarenakan berada di luar kawasan kognisi dan afeksi. Namun, belakangan ini beberapa pedagog mulai menyadari urgensinya.

Bila merujuk pada tradisi keagamaan, terdapat titik temu  dengan dunia  mistik, dunia sufi, atau pun dunia transendensi. Perbedaannya, dunia sufi bercorak hierarkis-elitis sedangkan penghayatan transendensi bersifat populer. Noeng Muhadjir (2000:61) menandaskan bahwa secara epistemologi wilayah itu mungkin. Kawasan khaib (materi utama pendidikan agama), tidak hanya untuk diketahui tetapi untuk dihayati hikmah-Nya, berkah-Nya, mencari rida-Nya serta maghfirah-Nya melalui proses penghayatan transendensi.

Metode mengajarnya tidak dengan cara analisis empirik seperti mata pelajaran sains, tetapi melalui pendekatan reflektif. Membuka ruang seluas mungkin bagi anak untuk merefleksikan penghayatan transendensi atas pengalaman kehidupannya. Peran guru adalah mengapresiasi dan mengonfirmasi sehingga refleksi penghayatan transendensi mampu meneguhkan keimanan.



Pengalaman manusiawi untuk menemukan tanda-tanda transendensi termanifestasi dalam seluruh pergumulan sosial: pengalaman bahwa manusia selalu cenderung kepada tertib, pengalaman permainan, pengalaman pengharapan, pengalaman situasi batas, pengalaman humor dan pengalaman dikutuk. Pengalaman-pengalaman itu mengatasi pengalaman sehari-hari dan menjadi pertanda adanya Yang Adikodrati.

Kalau saja pendidikan agama bisa diberangkatkan dari pengalaman manusiawi ini, akan terlihat jelas bahwa agama adalah untuk manusia yang berfungsi untuk memanusiakan manusia. Agama adalah pergumulan iman untuk memperbaiki kehidupan dan menyejahterakan manusia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya