SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo. (FOTO/Istimewa)

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo. (FOTO/Istimewa)

Elite pengambil kebijakan pendidikan bakal merancang agenda besar: perubahan mata pelajaran dan jam pelajaran. Perubahan dilakukan untuk menjawab tanggapan publik atas situasi pendidikan mutakhir. Beban mata pelajaran telah mengarah ke represi ilmu dan kemubaziran. Persepsi parsial atas kebijakan pendidikan di Indonesia ini menjelaskan tentang kerancuan kurikulum.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Orientasi atau misi pendidikan sering mengandung jeratan-jeratan ideologis di arus hasrat negara. Penentuan mata pelajaran mengartikan maksud-maksud terang dan terselubung. Serapan mata pelajaran bisa mengajak murid mengembara ke belantara ilmu. Imperatif mata pelajaran oleh negara juga menderaskan ideologisasi berwajah ilmu. Pilihan dan realisasi mata pelajaran bergantung nalar kekuasaan. Kita bisa menilik operasionalisasi ideologis melalui rentetan pergantian kurikulum dan pemaketan mata pelajaran.

Kebijakan menghilangkan mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) dan ilmu pengetahuan sosial (IPS) di jenjang sekolah dasar (SD) mulai 2013 mengandung ambiguitas. Penghilangan mungkin mengakibatkan efisiensi materi pelajaran dan jam belajar. Mekanisme ini mengurangi beban pelajaran murid SD meski rentan menimbulkan jarak hasrat keilmuan. Penghilangan pun turut menerangkan tentang “pembongkaran” ideologis atas imperatif nalar kekuasaan. IPS telah diajarkan sejak puluhan tahun di Indonesia. Mata pelajaran IPS merupakan medium ampuh dalam pengenalan dan pengukuhan hasrat-hasrat ideologis ala Orde Baru.

 

IPS

Kritik dan refleksi atas signifikansi pengajaran IPS di SD sejak lama merebak di publik dan kalangan pengamat pendidikan. IPS tak sekadar nama untuk materi-materi ilmu. IPS memiliki peran ideologis dalam arus penertiban dan pendiktean secara sistematis-berketerusan. Mata pelajaran ibarat siasat mendefinisikan manusia di mata penguasa. Prosedur ideologisasi dalam mata pelajaran berlangsung melalui intensitas-waktu dan aksentuasi-pengertian. IPS pun tersajikan di SD sebagai realisasi ilmu dan ideologi-kekuasaan.

Niels Mulder dalam Wacana Publik Indonesia (2003) menjelaskan bahwa IPS mengandung ejawantah ideologi nasional dengan mengintegrasikan sejarah, masyarakat, individu. Suguhan materi dan ideologisasi berlangsung melalui proses pedagogis tapi bertaburan kekerasan simbolis. Kurikulum, sekolah, guru menjadikan IPS ada di ranah keilmuan semu. Pesan-pesan kekuasaan diajarkan berdalih ilmu. IPS adalah ruang semaian ideologis. Murid dianjurkan mempelajari IPS seperti memeluk doktrin-doktrin untuk menjadi manusia Indonesia secara sah. Pengajaran IPS menghasrati agar murid mengenal lingkungan sosial, geografi, ekonomi, pemerintahan dan sejarah. Murid mesti melahap materi-materi di mata pelajaran IPS dengan “keterpaksaan” dan rezim nilai.

IPS memang tak sekadar nama mata pelajaran. Ideologi merasuki secara halus dan repetitif. Niels Mulder meneliti pemaknaan ideologis IPS di jenjang pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah umum berlatar rezim Orde Baru masa 1990-an. Distorsi sejarah dan undangan pembentukan identitas keindonesiaan justru membuat murid masuk ke “penertiban” ideologi. Pengajaran IPS sejak SD tampak memihak ke “pembakuan” sejarah dan narasi Indonesia agar murid mengafirmasi identitas dan nasionalisme sesuai pamrih penguasa. IPS mereferensikan pembentukan manusia patuh dan tertib di mata negara. Narasi sejarah paling kentara berperan mengontrol dan membentuk mentalitas murid saat meresepsi IPS. Niels Mulder memberi konklusi jejalan ideologis dalam IPS: “Sejarah menjadi berat dan daya imajinasi sejarah tidak dihidupkan. Daya imajinasi sejarah merupakan bayi lahir mati yang tidak mau dikuburkan.”

Pamrih penghilangan IPS di SD oleh pemerintah tentu berbeda dengan pembongkaran ideologis oleh Niels Mulder. Kelanggengan IPS di masa Orde Baru jelas membuktikan keampuhan peluruhan ideologi ke nalar-imajinasi murid. Dunia anak saat belajar di SD jadi momentum “pengaburan” sejarah dan pengekalan ideologi berhaluan pamrih-pamrih penguasa. Konsekuensi mata pelajaran adalah legitimasi kekuasaan. Orde Baru telah tampil sebagai pengisah fenomenal dalam “menertibkan” dan “mematuhkan” jutaan orang melalui suguhan IPS. Kita menerima realisasi pelbagai kebijakan pemerintah dalam mata pelajaran dalam ambiguitas pamrih ilmu dan ideologi.

 

Konsekuensi

Agenda pendidikan di Indonesia abad XXI memang mengarah ke tanggapan globalisasi. Mata pelajaran disuguhkan ke murid demi selebrasi kecerdasan dengan patokan nilai dan amalan. IPS sebagai mata pelajaran memang mengesankan “pengikatan” ke arus kekuasaan. Kita pun mengenali IPS sebagai klaim derajat keilmuan dan ramalan nasib di jenjang SMA. Rezim Orde Baru sanggup membuat demarkasi konfliktual saat publik menganggap murid di kubu IPA merupakan kaum pintar alias pemilik masa depan: profesi dan harga diri. Murid-murid di jurusan IPS justru menanggung stigmatisasi sebagai kaum tak pintar. Mereka jauh dari masa depan. Kita masih mengingat cerita kaum sekolahan dari masa Orde Baru: jurusan IPA melahirkan agen-agen terhormat dalam agenda pembangunan. Kubu IPS mengesankan “kaum minder” dan teremehkan dalam nalar keilmuan dan profesi.

Memori mata pelajaran di masa Orde Baru adalah memori kekuasaan. IPS menjadi representasi dari sebaran dan penguatan ideologis sejak murid-murid mengasah nalar-imajiasi saat SD. Kita mesti mengusung masa lalu untuk meramalkan konsekuensi penghilangan mata pelajaran IPS di SD. Kebijakan pemerintah tampak berdalih efisiensi materi dan waktu pelajaran. Dalih ini bakal menggeret efek kerja guru, produksi buku mata pelajaran, pemunculan mata pelajaran baru. Kita justru ditabukan dari mekanisme ideologis dan nalar kekuasaan ala pemerintah dalam mengadakan atau menghilangkan mata pelajaran IPS.

Pengumuman tentang penghilangan IPA dan IPS memang belum mendapati tanggapan ramai oleh publik. Kita masih menanti pemunculan argumentasi dan narasi produktif atas nasib sekian mata pelajaran di SD. Kita mungkin bercuriga bahwa penghilangan IPA dan IPS bakal menimbulkan “kebodohan”. Mata pelajaran memang tak sekadar urusan nama. Pamrih ilmu, ideologi, iman, identitas selalu berkelindan dalam penentuan suguhan mata pelajaran di dunia pendidikan. Realisasi mata pelajaran menentukan nasib Indonesia untuk mendefinisikan diri sebagai negeri beradab dan bermartabat. Begitu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya