SOLOPOS.COM - Halim H.D. (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (18/1/2016), ditulis networker kebudayaan Halim H.D.

Solopos.com, SOLO — Imajinasi ironis yang ada di dalam kepala saya melayang-layang dan lalu membayangkan jika saja Muhammad Kusrin (Solopos, 15 Januari 2016) yang berasal dari Desa Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar, bermukim di Taiwan, Thailand, atau Tiongkok.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Sangat mungkin Kusrin yang memiliki “kenakalan kreatif” yang ditimba dari pengalaman hidupnya, dan mampu mengembangkan pengalaman itu ke dalam bentuk teknik elektronika yang piawai sehingga dia mampu merakit televisi yang lumayan andal dan sangat mungkin bisa dikembangkan ke dalam bentuk-bentuk lain yang lebih canggih, akan mendapatkan dukungan pemerintah.

Sayangnya, Kusrin tinggal di negeri yang memosisikan “kenakalan kreatif” sebagai hal yang harus dicurigai dan tanpa penyelidikan mendalam hasil karya Kusrin justru disita. Kusrin menjadi sejenis kambing hitam dari mereka yang sok sadar hukum namun tanpa dasar hukum yang jelas.

Dasar hukum jells yang saya maksud adalah mempertimbangkan proses dan kapasitas kreatif seorang warga negara yang sedang berkembang dan suatu hari akan menjadi model bagi warga lainnya. Kusrin tidak mendapatkan fasilitas sosial berupa dukungan secara yuridis agar bisa dilindungi dan bisa pula mengembangkan kreativitasnya.

Saya ingin memperbandingkan hal ini dengan kondisi di Guangzhou, Tiongkok, yang saya kunjungi sebulan yang lalu. Saat itu saya berkesempatan berkunjung ke Tiongkok menghadiri pembukaan peristiwa senirupa internasional di Guangzhou Triennial #5 yang akan diubah menjadi Biennial #1.

Dalam kunjungan itulah saya bertemu dengan wakil konsul jenderal Indonesia di Guangzhou. Wakil konsul jenderal ini menjelaskan bagaimana industri kecil yang diinisiasi oleh warga Tiongkok mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah setempat.

Jika Anda berkunjung ke Guangzhou dan Anda mau memesan berbagai rakitan laptop dan produk elektornika lainnya atau berbagai jenis pakaian bermerek, Anda hanya tinggal mendatangi sejenis deretan kios berukuran 4 meter x 4 meter dan di situ Anda akan bertemu dengan kaum muda yang tekun merakit berbagai bentuk dan jenis barang elektronika.

Sambil guyonan mereka akan bertanya: mau merek apa? Dan esoknya Anda tinggal mengambil dengan harga hanya sepertiga atau bahkan seprempat dari harga pabrik. Tentang merek ini, banyak orang sering menuding itu sebagai “bajakan”.

Bisakah produk itu dianggap bajakan jika saya memesan sebuah laptop atau jenis barang elektronika lainnya menggunakan nama saya atau nama yang eksentrik sebagai bentuk keisengan dan “kenakalan kreatif”?

Mereka memiliki ribuan stok nama atau merek, seperti yang terjadi di dunia fashion lokal di Baima Market, Guangzhou, yang secara internasional dianggap sebagai wilayah penghasil produk fashion kelas menengah.

Kunjungan saya selama sepekan di Guangzhou melayangkan ingatan saya ke wilayah Tanggul Angin, pinggiran antara Surabaya-Porong-Pasuruan di Jawa Timur yang juga menjadi basis produk fashion dan berbagai jenis tas, jaket, atau apa saja, seperti juga di Cibaduyut di Bandung yang kondang dengan berbagai jenis produk sepatu dan sandal dengan kualitas yang bisa diandalkan. [Baca selanjutnya: Tidak dari Langit]Tidak dari Langit

Jawa Barat dan khususnya Bandung yang memang kondang dengan industri kreatif  dalam bidang fashion sejak 3-4 dekade yang lampau bisa menjadi contoh bagaimana warga yang memiliki keterampilan menciptakan berbagai jenis produk.

Tentu saja ide dan konsep produk mereka tidak datang dari langit. Sistem komunikasi yang kian canggih dan berbagai produk dari mancanegara memasuki wilayah Indonesia adalah bentuk yang langsung menjadi contoh bagi warga yang memilii “kenakalan kreatif” dan mereka menghasilkan “produk baru”.

Jika saya tidak keliru, ratusan miliar rupiah setiap tahun di Cibaduyut, seperti juga di Tanggul Angin, menjadi kontribusi kepada pendapatan daerah. Yang tak kalah penting, terjadi proses transformasi teknik dan pengetahuan yang berbasis lokal dengan mutu internasional.

Bukankah sejak lama berbagai industri otomotif juga memesan produk-produk lokal untuk spare part dan bagian tubuh kendaraan motor dan mobil yang dihasilkan oleh industri di Tegal yang awalnya adalah industri rumahan yang berangkat dari “kenakalan kreatif”?

Kusrin adalah sosok model “kenakalan kreatif” yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Selama ini  mereka yang menganggap dirinya pelaku industri kreatif dengan basis industri elektronika sesungguhnya hanya tukang merakit, agen dari industri mancanegara, yang tergantung kepada desain dan produk dari mancanegara.

Perlu kita sadari bahwa Kusrin sesungguhnya mengolah seluruh barang bekas itu menjadi sesuatu yang “baru”, yang sifatnya recycle, daur ulang, dan sangat mungkin bersifat ekologis. Dan hal terpenting yang perlu kita ingat, Kusrin sesungguhnya memotong ketergantungan dan sekaligus mewujudkan impian sebagai warga melalui “kenakalan kreatif”.

Warga jenis Kusrin inilah yang sesungguhnya sosok model yang ideal yang bisa menjadi model basis sosial yang mampu memotong kondisi konsumerisme yang selama ini menelikung kondisi sosial kita. Kusrin telah  membalikkan kondisi konsumtif menjadi kreatif. Tanpa “kenakalan kreatif”  suatu masyarakat hanya akan menjadi – meminja ungkapan filsuf humanis Erich Fromm – binatang pelahap, yang hanya mengunyah tanpa bisa mengembangkan kreativitas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya