SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (14/9/2015), ditulis Heri Priyatmoko. Penulis adalah dosen Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Jogja.

Solopos.com, SOLO — Bagaimana kondisi Taman Sriwedari era 1950-an hingga 1970-an? Generasi yang merasakan hidup pada zaman itu akan menjawab,”Kebon Raja (nama populer Taman Sriwedari) merupakan ruang rekreasi yang elok dan merasuk dalam sanubari”.

Promosi Meniti Jalan Terakhir menuju Paris

Pada Minggu atau hari libur lainnya banyak orang pelesiran memadati area permai tersebut. Sebaris pupuh dalam Babad Sala suntingan R.M. Sajid menguatkan ingatan ihwal Kebon Raja Sriwedari.

Kebon Raja winangun Sriwedari, tanam tetuwuhan agung hanggung ngrembuyung rumbaka nglimputi taman myang Segaran (Kebun Raja yang disebut Sriwedari dipenuhi tetumbuhan rindang memayungi Taman Segaran yang asri).

Kawasan yang beberapa hari terakhir diributkan (lagi) terkait hak kepemilikan ini dibuka pada 1899 dengan sengkalan Luwih Katon Esthining Wong. Pembangunan taman menelan ongkos ribuan gulden karena mendatangkan aneka fauna dan flora.

Sinuhun Paku Buwono (PB) X membangun taman guna memulihkan citra politik yang digembosi pemerintah kolonial Belanda. Berderet peristiwa historis lahir dan tumbuh di dalam kompleks Taman Sriwedari.

Pada periode Paku Buwono X (1893-1939), rakyat menikmati hiburan malam Selikuran dan dimanjakan oleh koleksi Paheman Dalem Radya Pustaka sebagai sumber pengetahuan. Kebun binatang yang kali pertamaada di Jawa serta tontonan kesenian wayang orang membubungkan nama Sriwedari di seantero Indonesia.

Kemudian hari, Presiden Soekarno memilih Sriwedari sebagai lokasi Pekan Olahraga Nasional I. Ini merupakan nukilan kisah indah yang bersemayam dalam benak penduduk Kota Solo terkait eksistensi Taman Sriwedari.

Pada 1980-an, kultur melestarikan publik space menjadi barang langka. Privatisasi dan penghancuran nilai sosiokultural menghebat. Kalangan swasta jatuh cinta terhadap Kebon Raja sebagai ladang bisnis, bukan tuk ilmu pengetahuan dan seni.

Masyarakat memprotes kebijakan lembaga pelat merah yang “berselingkuh” dengan swasta dan gagal memahami taman dalam konteks kebudayaan. Protes itu menjadi bukti kuatnya tali batin wong Solo dengan Taman Sriwedari.

Resistensi ketidakpuasan berlangsung beberapa kali kendati hanya berupa letupan kecil. Contohnya saat pendirian Rumah Makan Boga di Taman Kapunjanggan yang diresmikan pada 30 Juli 1987.

Saat itu memang tiada unjuk rasa, tapi pendapat pro dan kontra muncul seiring pembangunan rumah makan ini. Restoran Boga mencaplok lahan yang dipakai untuk upacara malam Selikuran.

Gara-gara digusur, ritual klasik tersebut dipindah ke Joglo Sriwedari pada 1987. Sejarawan Soedarmono dkk (1999) menceritakan pembangunan Pusat Jajanan Serba Asri (Pujasari) yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada 3 Juli 1989 memakan “korban”.

Sembilan keluarga yang semula menempati tanah ini diminta angkat kaki ke Kampung Jagalan. Ini adalah pukulan bagi mereka karena kehilangan mata pencaharian dari berniaga.

Pada pertengahan 1989, masyarakat Solo kehilangan semacam tumpuan spiritual, yakni Gajah Kyai Anggoro, yang dipindah ke Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ). Bagi warga yang teguh memegang tradisi, gajah warisan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu dianggap bertuah dan bisa menyembuhkan penyakit.

Kala anak sedang sakit, banyak orang tua datang mengambil kotoran gajah lalu dikompreskan pada dahi anaknya supaya cepat sembuh. Dengan tiadanya gajah di Taman Sriwedari, fakta mental warga turut terhapus. [Baca: Komersialisasi]

 

Komersialisasi
Taman Kapujanggan mau digarap menjadi tempat rekreasi menarik. Di tengah pulau dibangun restoran kelas internasional, bangunan lama berupa kupel dimanfaatkan untuk permainan elektronik anak-anak, serta rehabilitasi Taman Segaran agar menawan untuk berwisata perahu.

Realitasnya, kupel yang dahulu dipakai acara malam Selikuran malah terbengkalai dan kumuh, demikian pula wajah Taman Segaran. Pada 1992 Taman Sriwedari dikaveling lagi untuk Gedung Graha Wisata Niaga.

Setelah itu, muncul perdebatan seputar pergantian nama Stadion Sriwedari yang diubah menjadi Stadion R. Maladi. Para pemerhati sejarah dan budayawan geram karena nama Sriwedari jauh populer dibanding R. Maladi. Stadion Sriwedari juga telah menjadi ikon kota.

Ahli waris K.R.M.H. Wiryodiningrat yang mengaku sebagai pemilik sah tanah Taman Sriwedari dengan dalil penguat sertifikat No. 887/1965 bekas Recht van Eigendom Verponding No. 295 mengklaim kepemilikan tanah Sriwedari.

Mahkamah Agung penentu keputusan atas hak tanah Taman Sriwedari. Keturunan Wiryodiningrat berencana merenovasi kawasan Sriwedari dan membangun ruang bisnis. Di sebelah timur, kompleks Museum Radyapusaka, hendak dibangun hotel megah berbintang lima.

Wong Solo kembali bergolak. Mereka memprotes rencana itu sebagai simbol perlawanan. Saat Wali Kota Solo dijabat Joko Widodo, ia menerangkan strategi hukum harus ditempuh agar taman ini tetap menjadi milik publik. Yang mau ditindaklanjuti adalah perihal kepemilikan, bukan segi pengelolaan.

Dari tinjauan sejarah, asal usul Sriwedari sebetulnya berada di bawah perlindungan staatblat (hukum negara kolonial) atau rechtblat (hukum kerajaan). Kalau Sriwedari termasuk kawasan yang dilindungi staatblat otomatis milik negara, tidak mungkin milik persorangan.



Jika Taman Sriwedari termasuk kawasan rechtblat, setelah melewati undang-undang pencabutan daerah istimewa, raja hanya tinggal menguasai wilayah keraton. Seluruh tanah Taman Sriwedari itu diratifikasi secara umum menjadi milik negara.

Kendati ahli waris Wiryodiningrat dinyatakan menang, public space ini harus kita pertahankan. Solo telanjur mengalami kelangkaan ruang untuk berekspresi. Sejak kosakata ”pembangunan” dikampanyekan Orde Baru hingga menjelang Reformasi, sederet bangunan kuno dan ruang publik di Solo bernasib tragis. [Baca: Ceroboh]

 

Ceroboh
Sering kali renovasi atau preservasi dikerjakan dengan ceroboh, tanpa menimbang aspek sejarah dan fungsi sosialnya. Jangan sampai pengalaman pahit berulang kembali.

Pada 20 Februari 2007, di Halaman Gagasan ini, saya menjelaskan Kebon Raja bertemali dengan democracy (kerakyatan) dan value (nilai). Democracy artinya ruang ini mestinya bisa dipakai khalayak dari ragam kelas sosial serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia.

Value artinya taman menautkan manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial. Public space selain sebagai tempat rekreasi juga mewadahi interaksi sosial warga. Dengan begitu, kapital sosial terpelihara dengan baik.

Taman Sriwedari juga berelasi dengan sejarah lingkungan dan manusia di sekitarnya. Di dalamnya terdapat mata rantai yang terus melingkari citra identitas Kota Bengawan. Mewadahi pembauran warga kota tanpa dibebani sekat sosial atau perbedaan primordial lainnya.

Tersimpan pula segudang kisah kenangan sebagai dinamika perkembangan kultural. Bila Taman Sriwedari dirusak oleh tangan-tangan jahil, masyarakat tak akan tinggal diam. Merekalah pemilik identitas Kebon Raja yang sebenarnya dalam perspektif sejarah sosial budaya.

Jika Presiden Joko Widodo masih mencintai kota yang melahirkan dan membesarkannya, tentu relung hatinya gusar dan bergegas turun tangan menyelesaikan konflik kepemilikan Taman Sriwedari.

Kalimat “kita masih punya Presiden Jokowi” adalah secercah asa yang mengobarkan semangat juang wong Solo untuk menyelamatkan aset sejarah budaya kota mereka: Taman Sriwedari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya